Sabtu, Februari 02, 2008

Tak Pernah ada Damai, Rugikan Investasi

by noenx’s
MALAM ini sebenarnya pengen menjadi saat istirahat yang paling santai dan nyaman. Menonton televisi menajdi agenda yang sangat cocok untuk menghilangkan kepenatan setelah seharian menghindar dari banjir dan bekerja di balik meja. Sakit kepala dan pantat yang penat seolah ingin direbahkan barang sesaat, sekedar untuk melemaskan urat yang tegang dan mengeras, serta gemelitik jari ini ingin diistirahatkan barang sejenak.
Namun apa lacur, bukan ketenangan yang datang di malam hari. Namun akibat keputusan untuk menonton televisi, justru berita menyedihkan terpaksa harus dilalap mata ini, otomatis
jaringan otak ini memerintahkan memorinya untuk merekam. Sialnya bukan hanya merekam, tapi malah memerintahkan ke bagian tubuh lain untuk sekedar mengekspresikan sesuai kemampuan saat itu juga.
Tayangan banjir di ibukota yang membuat jalan ke bandara macet total, begitu pun di ruas Grogol, Tomang, Gatot Subroto dan Jenderal Soedirman. Pun nun jauh di ujung timur sana, Pasuruan, Lamongan dengan aliran Bengawan Solo-nya juga mendapat “kelebihan” kiriman air yang sebenarnya sudah disangka masyarakat. Tidak ketinggalan daerah kepulauan seperti Batam juga menjadi sasaran angin dan hujan kencang yang secara terminologis adalah setengah badai. Akibatnya jelas, lalu lintas udara dan laut total terganggu dan ribuan calon penumpang pun harus lebih lama mengelus dada seraya meratapi kapan bisa bersua dengan tujuannya di sana. Khusus transportasi, itu seperti melengkapi ketidakberdayaan pengaturan dan tingkat prediksi pemerintah terhadap kuantitas dan kualitas air kiriman dari langit ini.
Di luar itu, ada satu hal yang lantas terlintas di kepala ini. Apalagi kalau bukan masalah ketentraman dan kenyamanan dalam berinvestasi. Lho kok langsung menyebarang jauh dari tulisan di atas, yang biasanya langsung diprotes redaktur ataupun pemred jika tidak ada kalimat atau kata penghubung yang pas untuk memadukan dua peristiwa yang berbeda waktu dan tempat. Beruntung di sini ada kebebasan murni yang bisa digunakan untuk menyuarakan hati baik secara logika, ilmiah maupun kombinasi dari keduanya.
Hal yang paling miris saat melihat adanya tindakan anarkis dari sekelompok kaum intelektual di sebuah kota besar di kawasan Timur Indonesia. Entah karena hasutan atau apa, mereka pun menghancurkan apa yang sebenarnya tidak berhubungan dengan yang tengah mereka protes. Bayangkan saja, apakah ada hubungannya antara seorang cewek yang meninggal karena aborsi dengan barang-barang di toko?dengan mobil?bahkan dengan orang yang hanya sekedar kebetulan lewat?. Sungguh tentu di luar kendali kepala jika hal tersebut bisa terjadi.
Namun nyatanya hal itu terjadi di tengah iklim yang mulai membaik. Kejadian di sebuah kota besar tersebut tentu menjadi catatan dan renungan tersendiri bahwa bangsa ini masih ada yang selalu ingin menyelesaikan perkaran dengan kekerasan dan tindakan anarkis.
Lebih menyakitkan lagi ternyata yang melakukan itu semua adalah kalangan mahasiswa, sebuah komunitas intelektual yang sebenarnya menjadi tidak hanya tulang punggung tapi juga kaki-kaki yang kokoh, untuk perjalanan bangsa ini ke depannya.
Mereka terlihat secara beringas menjarah apa yang dilewatinya tanpa melihat ada atau tidak hubungannya dengan apa yang mereka demonstrasikan ke aparat. Seolah tidak puas, mobil, orang bahkan aparat yang sebenarnya hanya diam malah “dihajar” terlebih dahulu. Secara logika saja, jika hal itu terjadi pada diri Anda tentu reaksi yang bakal dikeluarkan adalah bertahan dengan menangkis. Jika jiwa sudah mulai terancam tentu tingkatannya akan lebih meningkat lagi, yakni mulai membalas serangan tersebut.
Akibatnya jelas berpengaruh di kawasan tersebut. Tidak hanya di kota itu, namun di beberapa kota besar di Indonesia yang notabene sebagian besar di antara adalah sentra denyut nadi perekonomian, minimal untuk daerah sekitarnya dan secara luas di tingkatan nasional sebagai penyangga, masih terdapat juga akto-aktor kekerasan yang seolah tidak bertanggung jawab dan tidak berpikir ke depan jika mereka pun sebenarnya memerlukan hal itu suatu saat.

Jika setiap daerah memiliki tingkat kekerasan yang sama, lalu bagaimana dengan para investor terutama dari luar negeri yang ingin menanamkan modalnya di Indonesia?secara logika, mereka pun akan mengukur kualitas suasananya dengan negara tetangga seperti Singapura dan Malaysia, terus belakangan muncul dengan pesat Thailand dan Vietnam serta Filipina.
Tentu tidak adil kiranya menjustice seluruh kota besar terdapat kekerasan. Namun bukan rahasia lagi jika kecapekan dan ketakutan para investor tidak saja berasal dari prilaku dan kebiasaan masyarakatnya. Namun lebih dari itu, mereka sudah harus mengeluarkan keringat dulu mengharapi premanisme di kalangan birokrasi pemerintahan.
Harus jujur, saat ini masih banyak iklim birokrasi pasar rakyat, terutama jenis pasar pagi. Tawar menawar sampai tingkat terendah pun kadangkala masih dipraktikkan. Jangan melihat kota besar seperti Jakarta, Surabaya, Semarang, Medan, Makassar ataupun Palembang misalnya, beberapa kawasan yang notabene menjadi proyek percontohanpun masih harus berkutat untuk memberantas hal yang sepertinya mustahil untuk dibumihanguskan.
Tentu sangat ironi mengingat tahun 2008 ini pemerintah pusat mentargetkan tingkat kunjungan wisata di angka tujuh juta dan perkembangan ekonomi di atas 7 persen. Tentu jika keadaan masih seperti saat ini, hanya isapan jempol belaka hal itu bisa terwujud.
Di Batam misalnya, meski daerah ini sudah berpredikat kawasan perdagangan bebas dan pelabuhan bebas, namun praktik kongkalikong dan “harus sowan” dulu ke pejabat jika ingin mendirikan sebuah unit usaha, masih terus berlangsung. Pertamuan itupun tidak afdol jika tidak ada kadeudeuh untuk sang pejabat. Meski tidak bisa digeneralisir namun tetap masih ada pejabat yang tidak puas menerima uang dari negara.
Seorang teman pernah bercerita, dirinya ingin mendirikan sebuah perusahaan swasta yang berhubungan cetak, publisher dan media massa. Ia pun bercerita, meski pun bangunan kantornya belum berdiri layaknya standar operasional, di awal pertemuan dengan seorang pejabat dia harus sudah menyetor dana sekitar Rp30 juta untuk memperlicin penerbitan surat ijin usaha. Belum lagi saat hendak beroperasi penuh, makin banyak “cantolan” lain yang harus dibayarnya.
Ia pun mengaku sebenarnya satu sisi dirinya dan para pengusaha lainnya yang berbuat seperti itulah yang salah. Namun ini juga berhubungan dengan mental para pejabat “penjahat” tersebut. Mereka seolah menutup mata dengan aturan perundangan. Buat mereka malah berlaku “peraturan dibuat justru untuk dilanggar”, dan sepertinya itu sudah menjadi mandi wajib kalangan birokrat.
Meski sudah digembar gemborkan untuk tidak melakukan pemungutan yang meresahkan para pengusaha, namun pada praktiknya nyaris tidak ada senyum yang tersungging di mulut para pelayan masyarakat tersebut, jika datang tidak membawa uang. Seolah di wajah mereka sudah tertanam, “Anda datang bawa uang kami senang, Anda datang tak bawa uang, maaf terpaksa kami tendang”. Idiom yang sangat menyakitkan memang. Namun bagaimana lagi itu sudah berlaku di masyarakat luas dan tidak ada pihak yang berdaya untuk menahan dan memberantas, karena hal itu tentu bakal terus terjadi sampai kapanpun, yaknilah itu.
Apa yang terjadi di atas tentu menjadi kelemahan tersendiri bagi kawasan yang tengah gencar-gencarnya mempromosikan diri sebagai kawasan perdagangan bebas dan pelabuhan bebas. Apa yang berlaku di Batam misalnya, bisa menjadi pelajaran serius untuk 10 daerah lainnya yang akan menyusul berstatus FTZ juga.
Jika sudah begini, tentu analisa ekonomi makro menyebutkan, nilai split dan return dari investasi para investor tentu sangat kecil. Apalagi komponen pajak di negeri ini semakin lama semakin banyak, bahkan bisa jadi lebih banyak daripada jumlah penduduk di sebuah daerah.
Image, brand dan entah apa lagi padanan katanya tentu menjadi modal penting tersendiri. Jika sudah terkenal dengan sistem premanisme, tentu menjadi kerugian tersendiri. Nilai ekonomi makro yang ditautkan tidak akan berhasil. Justru sebaliknya, investasi negatif bukan tidak mungkin bakal menimpa. Jika tidak dirunut, dirajut dan coba dieleminir dari sekarang, tentu bakal mendatangkan kerugian tidak sedikit baik dari sisi moral maupun besaran investasi.
Berbicara investasi tentu tidak bisa hanya berjangka satu atau dua tahun saja. Visi malah harus berada di level dua digit ke atas. Nah, tentu sebuah daerah harus berani memanage apa yang sudah ada di dalamnya dan berusaha untuk terus menarik apa yang ada di luar. Jika instrumen di dalamnya sudah hancur dan tidak pernah kenyang, tentu hal yang terjadi malah sebaliknya, yakni semakin ditinggal, dilecehkan dan akibatnya bisa jadi tindakan anarkis akan semakin besar akibat tidak adanya lapangan kerja yang memadai. Refleski ini bukan untuk menyindir atau menjustifikasi, tapi lebih dari itu hanya untuk sekedar saling mengingatkan dan berani untuk berimprovisasi demi langkah yang lebih baik tentunya.


Tidak ada komentar: