Sabtu, Maret 22, 2008

Cristiano Ronaldo:Pemain Paling Menghibur di Premiership

by noenx's
AKSI-aksi impresif Cristiano Ronaldo bersama Manchester United di musim ini tidak hanya berimbas pada posisi Setan Merah di klasemen Premiership ataupun Liga Champions. Namun secara pribadi, pria asal Portugal ini pun terus mencatatkan dirinya sebagai pencetak rekor pengganti George Best dalam soal gol. Lesakan 33 golnya di pelbagai kompetisi sepanjang musim ini membuat namanya semakin melambung.
Penampilannya di lapangan hijau pun mendapat ganjaran setimpal. Ronaldo terpilih sebagai pemain paling menghibur di Premiership musim 2007/2008. Hasil pemilihan ini dipublikasikan stasiun WhoAllTheAtePies.
Menurut situs ini, Ronaldo terpilih berkat kemampuannya menghibur penonton dengan aksinya menggoreng bola, mengoper, teknik tendangan bebas dan tentu kegigihannya dalam menerabas pertahanan lawan..
Namanya mengalahkan beberapa nama beken lainnya di pentas Premiership.seperti striker Tottenham Hotspurs Dimitar Berbatov, gelandang Arsenal Cesc Fabregas, penyerang The Reds Fernando Torres dan Robbie Keane. (persda network/bud)

1. Cristiano Ronaldo (Man Utd)
2. Fernando Torres (Liverpool)
3. Robbie Keane (Spurs)
4. Cesc Fabregas (Arsenal)
5. Mathieu Flamini (Arsenal)
6. Stephen Ireland (Man City)
7. Martin Petrov (Man City)
8. Elano Blumer (Man City)
9. Niko Kranjcar (Portsmouth)
10. Dimitar Berbatov (Spurs)

Senin, Maret 17, 2008

Menguak Potensi Tempatan Menyongsong FTZ (1)

Tak Ingin Hanya Jadi Penonton Belaka


MESKI masih belum jelas terasa realisasi nyata dari sosok Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam, Bintan dan Karimun (BBK), pelbagai ekspektasi tinggi nan sumringah sudah keburu dicanangkan. Seperti halnya sebuah kawasan yang akan berkembang pesat nantinya, satu di antara yang paling menonjol adalah sampai seberapa besar potensi masyarakat tempatan menjadi bagian penting implementasi FTZ BBK ini. Apakah mereka patut mendapat tempat ataukah hanya akan berstatus menjadi tuan rumah di negeri sendiri?
Nah, untuk mengupas potensi, peluang dan pelbagai langkah strategis untuk mempersiapkan era baru itu, Kerabat Masyarakat Lingga, Gerakan Masyarakat Peduli Kepulauan Riau dan Pusat Studi Pemberdayaan Masyarakat mengadakan seminar sehari penuh bertajuk Posisi dan Peran serta Masyarakat Tempatan dalam Zona Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas di provinsi Kepulauan Riau.
Seminar yang diselenggarakan Sabtu (15/3) di hotel Aryadhuta Jakarta, kemarin menghadirkan beberapa tokoh dan pakar seperti Wakil Gubernur Kepri M Sani, Eko Prasojo Guru Besar FISIP UI, Prof Dr H Nen Amran SE, Mec Guru Besar FE Universitas Padjadjaran Bandung, Prof Dr Ermaya Suradinata MS MH Pembina Utama Lemhanas dan Syamsul Bahrum PhD Asisten Ekonomi dan Pembangunan Pemko Batam yang juga Ketua Tim SEZ Batam.
Berikut isi dan temuan menarik dari seminar yang diikuti sekitar 120 orang dari pelbagai elemen masyarakat Kepri yang ada di Jakarta dan Bandung.



SEBUAH kondisi klise memang jika sebuah daerah telah berkembang pesat menjadi sentra ekonomi dan pelbagia kegiatan umum, tiba-tiba saja ada yang kurang. Apa itu?lenyapnya sebuah klan khusus, yakni masyarakat lokal alias orang tempatan.
Tidak bisa dipungkiri memang hal itu lambat laun sudah menjadi budaya dan tradisi yang berakar di Indonesia. Nyaris di semua daerah yang memiliki tingkat pertumbuhan ekonomi pesat, masyarakat tempatan seolah "terpinggirkan", meski secara harfiah itu tidak terjadi, hanya secara fisik semata.
Beberapa daerah telah mengalami itu. Jakarta hampir kehilangan identitas dan entitas Betawi yang notabene adalah "pemilik" ranah ibukota. Dalam skup lebih kecil lagi, di kawasan kampus universitas besar nyaris susah menemukan orang asli yang tinggal di lingkup kampus. Semuanya nyaris menyingkir dan memberikan lahan mereka kepada pendatang ataupun menyediakan rumah kos.
Selain sisi positif, fenomena pluralisme itu jelas mengandung sisi negatif bagi kehidupan bermasyarakat. Hilangnya budaya dan entitas lokal adalah kerugian terbesar yang justru menjadi porsi terbesar dalam kemungkinan dampak negatif yang ada dari perkembangan dan pengembangan sebuah kawasan menjadi sentra kegiatan ekonomi. "Dan sepertinya Kepri jika tidak dijaga, tiga daerahnya, Batam, Bintan dan Karimun bakal menghadapi kenyataan itu,"ujar Eko Prasojo.
Putra asli Kijang, Kabupaten Bintang ini menyorot lebih pada kesiapan masyarakat tempatan untuk menjadi modal penting sebuah pengembangan ekonomi. Jangankan mengarah pada menjadi bagian tenaga kerja dalam level FTZ, perhatian lebih harus tertuju pada kesiapan mental masyarakat itu sendiri. Jika tidak siap, konflik panjang antara masyarakat-pendatang, masyarakat-investor dan masyarakat dengan pemerintah bakal terus berlanjut, yang imbasnya tentu merembet pada ketidakstabilan situasi. "Investor pun bakal kabur lagu, jadi yang paling utama tentu kesiapan masyarakat sendiri, selanjutnya baru keikutsertaan mereka dalam status naker,"tegas tokoh progresif ini.
Seminar ini juga mampu membongkar beberapa poin yang selama ini seolah tabu untuk diungkapkan di wilayah lokal. Prof Ermaya menyebut, ada banyak hal kelemahan yang ada di Kepri, yang seolah kurang disadari di tengah euforia yang belum tentu bakal terealisir dalam rentang dua tahun mendatang.
Beberapa permasalahan yang menggelayuti di kawasan Kepulauan Riau (Kepri) antara lain rendahanya kualitas sumber daya manusia, penanganan kawasan khusus belum optimal secara terpadu, rendahnya aksebilitas yang menghubungkan wilayah kawasan khusus di provinsi Kepri yan tertinggal dan terpencil dengan pusat pemerintahan, terbatasnya sarana dan prasarana baik pemerintahan, perhubungan, pendidikan, kesehatan, perekonomian, komunikasi, air bersih, ketenagalistrikan serta pertahanan dan keamanan.
Padahal di sisi lain, secara kuantitatif, dalam lima tahun terakhir Batam sendiri telah menyumbang pajak penghasilan Rp4,4 triliun ke pemerintah pusat. Belum lagi perputaran keuangan via pengiriman wesel dan prosesi transfer uang melalui perbankan yang menembus angka Rp142 miliar per tahun.
Dampak dari angka kuantitatif tersebut tentu merangsek ke sektor kualitatif. Saat ini PDRB Kepri saja sudah sama dengan Sumbar, tiga kali Jambi dan empat kali Bangka Belitung. Belum lagi pendapatan per kapita yang mencapai Rp23.831.469. Angka ini berarti empat kali Sumbar dan Bangka Belitung, tujuh kali Lampung dan tiga kali lebih besar secara nasional.
Nilai rupiah tersebut tentu tergolong besar bagi sebuah kawasan industri yang terus berkembang. Status FTZ pun menjadi harapan tersendiri bagi pelaku usaha guna mengembangkan sayap bisnis mereka.
Namun sayang, di balik itu semua ada sebuah ironi. Seperti disampaikan di bagian atas, masyarakat tempatan kini seolah terpinggirkan di level penggerak dan penentu. Lihat saja dari jumlah nilai yang keluar melalui wesel pos. Angka Rp142 miliar per tahun itu jelas menjadi volume yang dinikmati masyarakat luar. Masyarakat tempatan?seolah tertelungkup atau enggan berdiri, namun terasa masih sulit bersaing dengan gaya strunggle dan survivor pendatang.
"Itu memang masih sebuah kelemahan, euforia masa lalu dan masa sekarang jelas berbeda, realistis jelas menjadi beban sekarang. Satu sisi kawasan maju, namun di sisi lain nyaris tidak ada tempat untuk masyarakat lokal,"papar Eko.
Kenyataan betapa lemahnya sisi survivor tersebut tergambar dari sedikitnya peserta Balai Latihan Kerja (BLK) Batam yang berasal dari masyarakat tempatan. Dalam forum itu tergambar, dari 200 orang yang saat ini menjadi peserta kursus, tidak ada seorang pun yang berasal dari masyarakat tempatan.
Pembedahan ini membuat semua pihak pun tersentak. Keinginan kuat tidak hanya ingin menjadi tuan rumah di negeri sendiri pun menguat. "Kini saatnya jangan hanya bereforia di level kebijakan, tapi bagaimana kebijakan itu bisa memberi arti lebih pada masyarakat tempatan,"ujar M Sani.
Ia pun berjanji untuk memberikan porsi lebih bagi setiap masyarakat tempatan untuk berada di garda depan implementasi FTZ. Langkah ini akan dilakukan dengan memberikan batas porsi perekrutas tenaga kerja dari dalam dan luar. "Setiap perusahaan bakal diwajibkan untuk memberikan porsi tersendiri bagi pekerja lokal,"janji Sani. (persda network/nurfahmi)

Menguak Potensi Tempatan Menyongsong FTZ (2-habis)

Geliat UKM yang Masih Ditinggalkan
Nasib suatu kaum, ditentukan usaha kaum itu sendiri.
KALIMAT di atas, yang ada dalam kitab suci agama Islam, menjadi dasar pembahasan cukup pelik dalam seminar sehari Posisi dan Peran Serta Masyarakat Tempatan dalam Zona Perdagangan Bebas di Provinsi Kepulauan Riau, akhir minggu lalu.
Satu alasan yang selama ini mendasari ketertinggalan masyarakat tempatan terhadap orang lain yang notabene pendatang, adalah sediktinya kerja keras dan minimnya kreatifitas serta rasa puas diri yang terlalu dini. Hal itu dirasa menjadi penghambat utama yang bisa "membahayakan" posisi putra tempatan, khususnya dalam perburuan kerja di era FTZ.
Padahal jika dihitung secara acak, potensi tempatan jelas tak kalah besar dan luasnya dengan para pendatang. Pengenalan alam, lingkungan dan potensi lainnya, jelas menjadi kekuatan tersendiri masyarakat tempatan yang tidak dimiliki orang lain. Itu yang bisa membuat masyarakat tempatan seharusnya, selalu dua langkah di depan.
"Tapi memang kita mungkin terlena dengan masa lalu, dan itu tidak kita sadari, sehingga masyarakat kita terlalu apatis dan akhirnya hanya menunggu 'bagian' semata, padahal peluang terbuka lebar di era modern ini,"ujar M Sani, Wagub Kepri.
Satu yang pasti, secara kuantitatif sektor Usaha Kecil dan Menengah (UKM) menjadi kekuatan tersendiri.. Kedekatan geografis dengan kawasan Asia jelas menjadi nilai lebih tersendiri. Sayang, sekali lagi sektor ini juga kurang diperhatikan.
Sekedar ilustrasi, di Batam saja kini ada lebih 6 ribu UMKM dan UKM, namun ternyata alokasi dana pembinaan hanya Rp500 juta, turun dari nilai tahun sebelumnya yang masih menyentuh angka Rp1 miliar. Jumlah itu pun ditengerai tidak turun utuh ke level akar rumput alias ada pemangkasan di level birokrasi. "Birokrasi memang masih menjadi alat ampuh untuk korupsi, dan itu sudah terbukti di pelbagai instansi, yang akibatnya jelas menyentuh level masyarakat,"ujar Eko Prasojo, Guru Besar FISIP UI, yang juga pria asli Kijang kabupaten Bintang.
Padahal jika ditilik, nilai kapitalisasi UMKM dan UKM cukup besar. Jika di Kepri saja ada lebih dari 15 ribu UMKM dan UKM, tentu nilai asetnya tak kurang dari Rp300 miliar lebih.
Terleas dari itu, sebenarnya Kepri memerlukan perpaduan sistem dan strategi untuk mempersiapkan tenaga kerja lokal dengan kebutuhan ketenagakerjaan di sera FTZ. Tentu satu syaratnya adalah memperkuat struktur dan infrastruktur pendidikan tinggi bersrtata dan berkeahlian diploma di daerah.
"Jika itu tidak terlaksana, mustahil anak bangsa alias anak tempatan mampu menerabas kekuatan dari luar yang memiliki jiwa bertahan sangat tinggi, ditambah kualitas pengetahuan dan pengalaman yang memang biasanya sudah kalah terlebih dulu,"jelas Syamsul Bahrum, Ketua Tim SEZ Batam.
Saat ini, pengangguran di kota Batam khususnya cukup memprihatinkan. Bagaimana tidak, penggangguran yang berasal dari luar saja sudah mencapai angka 23.500 orang. Angka ini jelas menjadi pesaing berat bagi tenaga kerja tempatan untuk mendapatkan pekerjaan yang layak. Ironisnya, saat ini di level pengangguran tempatan mereka bagaikan api dalam sekam, nyaris tidak bisa berbuat banyak.
Satu terobosan yang berhasil terungkap adalah pemaduan strategi pemberdayaan tenaga kerja lokal melalui pendirian perguruan tinggi negeri bersubsidi yang diperuntukkan bagi masyarakat lokal untuk mempersiapkan mengisi kemungkinan peningkatan pasaran kerja. "Jadi budak melayu tidak kalah dengan yang lain,"ujar Sani.
FTZ dan manajemen ketenagakerjaan bagaikan dua sisi berbeda dari mata uang yang sama, yakni mampu memberikan makna dan nilai. Pemikiran ini menawarkan suatu asumsi, kesuksesan FTZ jelas ditentukan pula keberhasilan mengelola pelbagai substansi dan persoalan ketengakerjaan yang ada dan yang akan datang.
Karena itulah, FTZ dalam prespektif ketenagakerjaan tidak hanya membutuhkan sebuah legel framework bagi menciptakan hubungan industrial yang haromis. Tapi juga memberi makna dan signifikansi atas diterapkannya aturan tersebut sesuai dengan aturan perburuhan internasional.
Memiliki jumlah penduduk 1.338.000, angkatan kerja di Kepri berada di angka 64,2 persen. Hanya 87,8 persen yang bekerja, dan ironisnya tidak sampai 50 persen jumlah tenaga kerja yang berasal dari masyarakat tempatan. Bahkan beberapa bidang pekerjaan sudah memiliki spesifikasi asal tersendiri.
Menurut Eko Prasojo, di Batam sektor keamanan seperti sudah menjadi ikon dipegang masyarakat dari kawasan Timur Indonesia, tukang ban dari Sumut dan sopir taksi dari Sumbar. "Itu idiomnya saja, masyarakat asli kemana?nyaris hanya berperan sangat sedikit, karena memang kualitasnya masih harus terus ditingkatkan,"ujar Guru Besar Fisip UI ini.
"Jadi memang kini saatnya masyarakat tempatan bekerja lebih keras untuk menunjukkan eksistensinya, sekaligus mengisi pembangunan di negerinya sendiri,"tegas Hasbi Armia, Ketua Umum Gerakan Masyarakat Peduli Kepulauan Riau (Kepri). (persda network/nurfahmi)


Senin, Maret 10, 2008

Resesi dan Kemiskinan, Sebuah Catatan Perenungan

INILAH bangsaku, bangsa Indonesia yang memang sangat toleran dan selalu berdiri menjunjung tinggi azas "pertemanan" dan kerikuhan. Sampai rikuhnya, bahkan untuk berdiri dan mencoba mensejajarkan diri dengan bangsa lain, harus menunggu reaksi dari negara lain juga.
Sebenarnya apa yang sesungguhnya terjadi dengan bangsa ini sampai sebegitunya untuk bergerak sendiri pun harus memohon wangsit dari negara tetangga yang kadang kala justru tidak memikirkan apa yang terjadi pada dalam negeri kita.
Padahal kita kaya akan kekuatan kombinasi modern dan lawas. Ada ibu Hj Dzuriah alias bu pendiri masjid Kubah Limo yang marmernya langsung datang dari Italia, langsung juga dengan tukang gergajinya, atau kubah dan dindingnya yang berhiaskan emas dan pertama yang tak terbayangkan dimiliki anak desa. Bahkan kita punya ki gendeng pamungkas yang bakalan menyantet Bush tapi tak jadi karena azar rikuh itu, bahkan kita juga mempunyai mbah Maridjan yang kuat menahan amukan Merapi, seorang diri menerjang kawah Merapi, padahal orang lain sudah pontang panting gak karuan melarikan diri. Yah itulah potret lain bangsa ini, yang tentu memiliki sisi positif: terus belajar dan belajar. Mau bukti?berapa ratus ribu orang berstatus sarjana S1, S2 bahkan S3 lulusan mulai dari University Technologies of Singapore sampai Harvard, dari Universitas Cenderawasih sampai Universitas Indonesia. Ini membuktikan bangsa ini tidak pernah lelah untuk belajar dan terus belajar.
Meskaipun berusaha disangkal dan dibantah, tampaknya pengaruh resesi Amerika Serikat (AS) terhadap perekonomian dunia tidak terelakkan. Langkah Bank Sentral AS (The Fed) yang terus menurunkan tingkat suku bunga, dengan konsekuensi melemahnya nilai tukar dolar AS, tampaknya tidak cukup untuk membendung terjadinya resesi. Laju inflasi saat ini menjadi perhatian masyarakat AS yang sebelumnya tidak sering terganggu inflasi tinggi. Harga minyak yang mencapai rekor hingga melewati USD100 per barel makin membuat AS sulit mengelak dari bayang-bayang resesi.
Dalam konteks perekonomian dunia, memang ada China dan India yang diharapkan dapat menggantikan atau paling tidak mengurangi pengaruh perekonomian AS tersebut. Namun, harus disadari juga bahwa kedua negara tersebut sedang mengalami laju pertumbuhan tinggi dan belum sepenuhnya bisa dianggap sebagai negara maju seperti AS, Jepang, dan komunitas Eropa.
Dengan fakta itu, tidak ada pilihan lain bagi perekonomian Indonesia untuk bersiap siaga mengeluarkan semua jurus yang memungkinkan untuk meredam dampak buruk resesi perekonomian AS. Pendapat yang menyatakan bahwa perekonomian Indonesia tidak akan terlalu terpengaruh oleh resesi AS memang ada benarnya mengingat AS tidak lagi menjadi salah satu negara tujuan ekspor utama maupun sumber investasi asing terbesar di Indonesia.
Meskipun begitu, tetap saja harus diantisipasi kemungkinan pelemahan permintaan ekspor dan menurunnya aliran investasi AS serta harus dicari cara untuk mengompensasi penurunan tersebut. Penurunan permintaan ekspor Indonesia serta penurunan aliran investasi asing sangat vital pengaruhnya bagi perekonomian Indonesia yang saat ini pertumbuhannya masih ditopang oleh ekspor dan konsumsi masyarakat. Menurunnya permintaan ekspor jelas akan mengganggu target laju pertumbuhan 2008. Sementara kurangnya aliran investasi asing akan mengganggu upaya menjadikan kembali investasi sebagai motor pertumbuhan nasional.
Dengan kata lain, pengaruh resesi AS mungkin bisa lebih besar daripada sekadar yang ditunjukkan oleh data ekspor dan investasi asing. Untuk meredam dampak negatif resesi AS tersebut, pemerintah dan dunia usaha harus bahu-membahu mencari cara untuk menemukan pasar ekspor yang sekiranya bisa menggantikan penurunan permintaan ekspor AS. Pemerintah juga perlu mencari sumber investasi asing baru yang bisa menggerakkan perekonomian Indonesia, terutama di sektor pertambangan, infrastruktur, dan manufaktur.
Diversifikasi perekonomian yang menjadi mitra dagang dan investasi asing adalah hal yang memang harus dilakukan oleh setiap perekonomian yang berhadapan dengan globalisasi. Ketergantungan pada sedikit mitra akan sangat membahayakan dan mengganggu stabilitas perekonomian mengingat mitra tersebut dapat dengan mudah berpaling ke perekonomian lain yang dianggap lebih menjanjikan dan bersahabat. Dalam kasus Indonesia saat ini,perekonomian Asia Timur tetap merupakan andalan untuk meningkatkan ekspor dan meraup investasi asing.
China dan India tetap merupakan primadona dan Indonesia harus pandai-pandai meraih keuntungan dari hubungan ekonomi bilateral dengan tiap negara raksasa tersebut. Satu hal yang sudah pasti, kedua negara yang ekonominya tumbuh secara fantastis pada beberapa tahun terakhir ini haus akan energi dan bahan baku. Begitu pula potensi pasar domestik mereka luar biasa besar dengan perkiraan jumlah penduduk 2,4 miliar. Tren yang terjadi saat ini, ditambah dengan realitas ekonomi, memang mengarahkan Indonesia untuk mulai fokus pada ekspor sumber energi primer dan terbarukan ke kedua negara tersebut.
Beberapa perusahaan China sudah bersiap-siap mengalirkan investasinya untuk ikut mengeksplorasi migas dan batubara di Indonesia. Perusahaan India juga mulai melakukan hal yang sama, khususnya di batubara. Terkait dengan makin langkanya sumber energi yang tak terbarukan, perlu kiranya Indonesia mengembangkan secara besar-besaran berbagai sumber energi terbarukan, khususnya yang terkait dengan komoditas perkebunan.
Untuk kepentingan Indonesia sendiri, saat ini perlu segera dilakukan upaya mempersiapkan cadangan energi masa depan dengan komitmen penuh. Pemenuhan kebutuhan energi domestik harus menjadi prioritas utama, tidak peduli apa sumber energinya, sejauh pasokannya terjamin dan harganya wajar. Pada akhirnya, persaingan ekonomi dunia akan kembali pada persaingan mendapatkan atau menghasilkan energi. Indonesia yang kebetulan masih punya potensi yang cukup besar sebagai penghasil energi terbarukan dan tak terbarukan sudah saatnya segera memosisikan diri sebagai produsen energi yang berdaya saing internasional.
Di sisi lain, tidak boleh dilupakan bahwa posisi tersebut juga harus mampu menjamin kecukupan energi domestik yang pada akhirnya dapat segera mengatasi kemiskinan secara lebih cepat dan lebih luas. Permasalahan kemiskinan yang terjadi akhir-akhir ini, ironisnya, sangat terkait dengan pasokan dan harga energi di negara yang seharusnya kaya akan sumber energi ini. Antrean minyak tanah dan kelangkaan premium di beberapa tempat, misalnya, jelas mengganggu kelancaran aktivitas perekonomian dan hanya menciptakan kemiskinan baru di berbagai tempat.
Sudah banyak rencana kebijakan yang akan dilakukan pemerintah terkait dengan kelangkaan tersebut, tetapi eksekusi di lapangan ternyata kurang sesuai dengan harapan. Yang bisa disimpulkan --dan agak mengecewakan-- adalah kurangnya urgensi untuk mencegah proses pemiskinan sebagai akibat resesi ekonomi dunia saat ini. Konversi minyak tanah ke elpiji, misalnya, jelas bukan sekadar proyek temporer untuk mengurangi konsumsi minyak tanah, tetapi lebih jauh lagi untuk mengajak masyarakat lebih efisien menggunakan bahan bakar minyak dan menyehatkan keuangan negara yang sebenarnya bisa lebih difokuskan untuk prioritas lain yang lebih mendesak.
Kunci dalam menghadapi resesi AS, yang juga untuk mencegah kemiskinan lebih besar, adalah adanya sense of urgency dari kemungkinan meluasnya kemiskinan serta komitmen penuh semua pihak di Indonesia untuk mengutamakan sumber energi bagi keperluan domestik.
Tersedianya input energi yang memadai akan menggerakkan perekonomian Indonesia secara stabil dan berpotensi tumbuh cepat. Energi harus diprioritaskan untuk kegiatan produktif, sedangkan untuk kegiatan konsumtif perlu dilakukan penghematan yang signifikan. Apabila energi tersedia dan pemakaiannya efisien, kemiskinan dapat dikurangi melalui perbaikan upah riil masyarakat. Keuangan negara juga dapat menjadi lebih sehat karena tidak hanya habis dipakai untuk subsidi bahan bakar minyak (BBM), tetapi juga dapat dialihkan menjadi subsidi yang tidak kalah penting untuk masyarakat, yaitu subsidi pangan, pendidikan, dan kesehatan.
Semua pihak harus mau mengerti dan ikut menyukseskan program pengalihan subsidi dari subsidi harga komoditas menjadi subsidi individu yang tepat sasaran. Meskipun mungkin tidak populer dan cenderung rumit, harus ada upaya untuk segera memulainya sebelum semuanya menjadi terlambat dan perekonomian Indonesia hanya menjadi perekonomian yang sekadar mencoba bertahan hidup dan tidak bertumbuh cepat untuk menyejahterakan rakyatnya. (*)

Kamis, Maret 06, 2008

Haram Hukumnya Menikah Dengan Gadis Sekantor

Majelis Ulama Indonesia mengeluarkan fatwa baru. Setelah diadakan rapat dan diskusi diantara para pemimpin MUI dan dewan pakarnya, dan juga telah ditimbang berdasarkan ayat-ayat alquran dan hadis nabi yang terpercaya sahihnya, maka MUI mengeluarkan fatwa : "HARAM HUKUMNYA BAGI SEORANG LAKI-LAKI UNTUK MENIKAH DENGAN GADIS SEKANTOR"
Fatwa MUI ini telah menimbulkan perdebatan yang sangat sengit antara yang pro dan kontra. Bahkan banyak pihak yang menyatakan bahwa MUI telah gegabah mengambil keputusan tersebut. Untuk mencari tahu alasan MUI mengeluarkan fatwa tersebut, maka wartawan Republika mewawancarai sekretaris umum MUI Prof.Dr. Din Syamsudin.

Inilah isi wawancara tersebut:
Wartawan: "Pak Syamsudin, bagaimana MUI bisa mengeluarkan fatwa haram untuk menikahi gadis sekantor?"
Prof.Dr.Din Syamsudin: "Emang haram, karena menikahi satu orang gadis aja berat, apalagi satu kantor, kan itu banyak jumlahnya... .


please deh...


Jangan serius amat ya.... kayak aku neh sambil menunggu keputusan sallary yang delay iseng2 ajah ah...

Rabu, Maret 05, 2008

Korupsi BLBI, Alas HItam di Kedai Kopi

by noenx's
ENTAH karena negeri ini sudah tak rupa-rupa lagi atau memang sudah bingung entah mau dibawa kemana. Tabik!. Tapi itu belum cukup untuk menunjukkan ini sebagai hal yang luar biasa. Di balik iklim ekonomi yang semakin membaik dengan taksiran nilai bunga bank semakin rendah, eh..itu ternyata belum cukup untuk mengumpulkan fulus dari hak sendiri. Masih banyak perlakuan korupsi terus menjadi "raja". Tidak hanya kalangan pegawai rendahan, pegawa yang semakin tinggi jabatannya malah semakin mudah untuk melakukan penilepan uang. "Hebatnya" , terkadang ia malah bangga tatkala menyedot uang itu untuk kepentingan pribadi dia, dan mengurasnya dari kantong rakyat. Luar biasa tabik, kalau sudah begini.
Pepatan jawa yang menyebut nila setitik rusak susu sebelanga benar -benar cocok untuk saat ini. Di saat hampir semuanya ingin berubah menuju keadaan yang lebih baik, dalam hal kasus korupsi, malah masih ada yang tega mencederai hal yang sangat memalukan itu. Itu jelas dilakukan oleh segelintir oknum, tapi ya tetap aja menimbulkan prasangka negatif jika semuanya melakukan hal yang sama, paling tidak ya dianggap pernah melakukan, entah kapan itu. Sungguh ironis aparat di negeri ini, apakah mereka benar-benar tidak punya urat malu sedikitpun?ataukah hanya ingin mengeluarkan nafsu "birahinya"?. Entahlah yang jelas beberapa kasus dalam tiga bulan terakhir menunjukkan semakin sablengnya kalangan birokrasi di negeri ini.
Terakhir, tertanngkapnya Urip Tri Gunawan (UTG), Ketua Tim II Jaksa Penyelidik kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI), menjadi sorotan berbagai media cetak dan elektronik di Tanah Air.
Pada satu sisi, berita ini menutupi berita sebelumnya tentang Kejaksaan Agung menutup kasus BLBI Anthony Salim dan Syamsul Nursalim karena tidak menemukan unsur perbuatan melawan hukum. Ini merupakan berita buruk dan merugikan bagi citra pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang menjadikan isu korupsi sebagai leading issue dalam pembentukan citra politiknya. Oleh karenanya, dibutuhkan isu lain yang bobot beritanya atau nilai sensasionalnya minimal setara dengan isu yang terdahulu.
Dilihat dari aspek ini, penangkapan jaksa UTG berhasil meredam kekecewaan publik atas kegagalan pemerintah menangani dua obligor paling kakap dalam skandal BLBI. Namun, pada sisi lain, kita juga melihat sebuah kenyataan atau fenomena gunung es dari tertangkapnya jaksa UTG ini. Sebab, bila dilihat secara keseluruhan, perilaku korup dalam dunia hukum atau yang dikenal dengan mafia peradilan merupakan penyakit kronis aparat hukum kita. Mulai dari pengacara, polisi, jaksa hingga hakim dan panitera, dalam sejarah dunia hukum Indonesia, sudah ada beberapa pihak yang menjadi pesakitan dalam kasus suap-menyuap perkara.
Ini membuktikan bahwa aparat hukum di Indonesia sangat rentan terkena virus korupsi ini. Hanya orang-orang yang benar-benar bermental tahan goda yang mampu bertahan dalam situasi seperti ini. Dalam kasus-kasus megaskandal atau kasus yang nilai rupiahnya berjumlah miliaran atau triliunan seperti BLBI ini, semua aparat penegak hukum akan meneteskan air liur untuk berharap ikut menikmati rupiah atau dolar dalam kasus jaksa UTG. Jadi, sejak awal, kasus BLBI ini memang merupakan kasus incaran semua pihak, khususnya para penegak hukum, untuk ikut andil dalam proses hukumnya.
Maka, tidak aneh jika kasus BLBI sejak pemerintahan sebelumnya selalu menjadi ajang tarik ulur antara pemerintah dan obligor penerima BLBI. Substansi hukum dalam kasus BLBI menempati prioritas yang paling buncit dalam upaya penyelesaian menyeluruh dana BLBI.
Blunder Hukum
Pada 30 Desember 2002, Presiden telah menerbitkan Instruksi Presiden (Inpres) No 8 Tahun 2002 tentang Pemberian Jaminan Kepastian Hukum kepada Debitor yang Telah Menyelesaikan Kewajibannya atau Tindakan Hukum kepada Debitor yang Tidak Menyelesaikan Kewajibannya Berdasarkan Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham yang dikenal sebagai release and discharge.
Inpres No 8 Tahun 2002 inilah yang menjadi titik simpul dari benang kusut kasus BLBI ini. Inpres tersebut berisikan instruksi untuk membebaskan dan memberikan pengampunan terhadap sejumlah debitor/obligor dari proses hukum termasuk aspek pidananya. Padahal, telah diketahui bahwa para obligor tersebut diduga telah melakukan tindak pidana perbankan dengan pemberian kredit yang melampaui BMPK sebagaimana diatur dalam Undang- Undang Perbankan No 7 Tahun 1992 jo Undang-Undang No 10 Tahun 1998 dan penyimpangan dana BLBI yang telah merugikan keuangan negara.
Intervensi terhadap proses hukum oleh Presiden dengan menerbitkan inpres merupakan tindakan inkonstitusional serta dapat dikategorikan sebagai penyalahgunaan kekuasaan (abuses of power) atau melampaui batas kewenangan Presiden dan penerbitan inpres tersebut jelas-jelas bertentangan dengan UUD 1945, UU No 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, UU No 7 Tahun 1992 jo UU No 10 Tahun 1998 tentang Perbankan serta bertentangan dengan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
Keppres Ilegal
Berdasar konsideran huruf a Inpres No 8 Tahun 2002, disebutkan bahwa dalam rangka melaksanakan Ketetapan Majelis Pemusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (TAP MPR RI) VI/MPR/2002 tentang Rekomendasi atas Laporan Pelaksanaan Putusan MPR RI oleh Presiden, DPA, DPR, BPK, MA pada Sidang Tahunan MPR RI Tahun 2002 dan Ketetapan MPR RI No X/MPR/2001tentang Laporan Pelaksanaan Putusan MPR RI oleh Lembaga Tinggi Negara pada Sidang Tahunan MPR RI Tahun 2001, Badan Penyehatan Perbankan Nasional telah melakukan Perjanjian Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham dengan debitor yang berbentuk perjanjian Master of Settlement and Acquisition Agreement (MSAA), MasterofRefinancingand Note Issuance Agreement (MRNIA), dan/atau Perjanjian Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham dan Pengakuan Utang (Akta Pengakuan Utang/APU).
Jadi, dalam konsideran ini tertulis secara eksplisit bahwa MSAA, MRNIA, dan APU merupakan pelaksanaan dari TAP MPR No VI Tahun 2002 dan TAP MPR No X Tahun 2001 yang diamanatkan kepada BPPN. Padahal, fakta hukumnya, proses penandatanganan MSAA, MRNIA, dan/atau APU antara BPPN dengan para obligor telah ditandatangani pada 1999 hingga 2000.
Sementara TAP MPR No VI/MPR/2002 dan TAP MPR No X/MPR/2001 tersebut baru ditetapkan pada 2002 dan tahun 2001. Dengan demikian secara kronologis prosedural, tindakan BPPN yang membuat perjanjian MSAA, MRNIA maupun APU bukanlah atas mandat atau menjalankan perintah TAP MPR sebagaimana yang ditulis dalam konsideran Inpres No 8 Tahun 2002. BPPN membuat MSAA, MRNIA maupun APU semata-mata adalah dalam skema bisnis dan sebagai konsekuensi pengalihan hak tagih dari Bank Indonesia kepada pemerintah, dalam hal ini Menteri Keuangan yang kemudian membentuk BPPN.
Jadi, Inpres No 8 tersebut merupakan inpres yang secara formal mengandung cacat hukum dan mestinya batal demi hukum sebagai dasar untuk membebaskan obligor dari jerat hukum melalui realease and discharge.
Kerugian Negara
Pasal 4 UU No 31/1999 menyebutkan bahwa "pengembalian kerugian kekuangan negara atau perekonomian negara tidak menghapuskan dipidananya pelaku tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 3. Jadi, walaupun para obligor tersebut telah secara keseluruhan mengembalikan dana BLBI yang telah diselewengkan dan dibawa kabur ke luar negeri, tetap saja hal itu tidak bisa menghapuskan unsur pidana. Apalagi pengembalian dana BLBI ini hanya 10 persen saja.
Bila kesimpulan tim BLBI Kejaksaan Agung menyatakan bahwa tidak ditemukan unsur melawan hukum, hal itu karena penyelidik hanya berfokus pada proses pengembalian dana BLBI. Proses ini adalah berupa penyerahan aset dan dana cash dari obligor yang tentu saja berdasarkan prosedur hukum perdata. Dan bila melihat kasus BLBI tersebut dari sudut pandang hukum perdata, para penyelidik tinggal tidur saja,lalu kemudian kasak-kusuk dengan penerima dana BLBI seolaholah bisa membantu membebaskannya dari jerat hukum, lalu mengumumkan tidak menemukan unsur pidana dan si penyelidik terima uang setoran dalam jumlah miliaran rupiah. Inilah yang terjadi dalam kasus BLBI ini.
Namun, bila tim penyelidik BLBI mau sedikit bekerja keras, dalam arti melakukan strategi dan pendekatan yang berbeda, yaitu melihatnya dari sudut pandang "digunakan untuk apa dan disalurkan ke mana dana BLBI dan bagaimana proses keluarnya dana BLBI dari bank penerima", para penyelidik tidak perlu sampai berbulan-bulan bekerja tetapi hanya menghasilkan kesimpulan yang sudah disimpulkan oleh pemerintah sebelumnya.
Pesan untuk Pak Hendarman, jangan larut dalam kasus jaksa UTG. Lakukan dengan pendekatan pidana, jangan berfokus pada proses perdata pengembalian dana BLBI. Mudah-mudahan pendekatan baru ini akan membawa hasil yang optimal.


Sabtu, Maret 01, 2008

Konsep ABCD bagi Tukang Ojek (2-habis)

by noenx's
HASIL yang dilakukan komunitas tukang ojek yang seolah tidak mengenal lelah untuk terus memberi penyuluhan tentang HIV/AIDS tersebut, menurut Novi, memang terbukti di lapangan. Paling tidak dari daya tarik alias atensi tersendiri yang diberikan para WPS di lapangan menunjukkan hal positif.
Ia melihat, ternyata kemampuan para tukang ojek sebagai media penyampai bisa diandalkan menjadi satu di antara agen efektif untuk memberi keterangan dan hal positif lainnya yang mampu memberi kesadaran tentang bahayanya beberapa tindakan yang bisa menyebabkan seseorang terkena virus HIV.
Sementara itu Direktur Eksekutif YBS, Harmoni, mengungkapkan pihaknya saat ini memang terus menerus menjadikan tukang ojek sebagai sasaran tembak utama program sosialisasi HIV/AIDS, terutama di kalangan pekerja seks.
Meski saat ini sistem pelatihan tidak seperti dulu yang mengumpulkan para tukang ojek dalam satu wadah acara guna memberikan materi secara langsung, namun obsesi lembaganya terus berkelanjutan dengan lebih intens turun ke lapangan menyambangi para tukang ojek.
“Perhatian kita terutama ditujukan pada tukang ojek yang tidak terkoordinasi alias selalu berpindah-pindah alias tidak memiliki pangkalan tertentu. Biasanya kita adakan itu saat mereka berada di pasar,” ujar Harmoni.
Tentang jumlah tukang ojek yang telah mengikuti pelatihan yang digelar lembaganya, pria setinggi 175 cm ini tidak tahu persis. Namun pihaknya telah melakukan pelatihan sebanyak tiga gelombang dengan rataan peserta 30 orang per gelombang.
“Namun itu bukan jumlah aslinya, karena di luar itu kita juga memberi penyuluhan, semacam pelatihan, terhadap tukang ojek di beberapa tempat yang jumlahnya tidak bisa diketahui secara pasti, yang jelas kita sudah cukup banyak memberi pelatihan terhadap tukang ojek di kota Gurindam ini,” sebut Harmoni.
Saat ditanya kemungkinan tukang ojek tetap berfungsi sebagai agen, Harmoni menyebut kemungkinan fungsi itu tetap ada karena tidak adanya pengawasan secara terus menerus terhadap aktifitas mereka setiap harinya.
Hanya saja ia percaya jika kelompok-kelompok tukang ojek yang telah ia beri pengertian tentang bahaya HIV/AIDS tidak akan menjadi agen. “Jaminannya memang tidak ada sama sekali, namun dari prilaku mereka kita percaya mereka akan berbuat yang positif, itu juga demi kepentingan lingkungan mereka kan,” imbuh Harmoni.
Ia menyebut tukang ojek yang memiliki pangkalan tetap menjadi objek paling bagus untuk menjadi agen penyuluh HIV/AIDS. Pemberi semangat bagi mereka tidak lain adalah perhatian yang kontinyu atas kinerja mereka. “Dan itu terus kita lakukan,” katanya pendek.
Bagi para tukang ojek tersebut, penyemangat terbesar untuk bekerja maupun mensosialisasikan tentang HIV/AIDS datang dari lingkungan keluarga. Hal itu sudah terbukti pada Madi, yang memiliki keluarga mendukung penuh aktifitasnya, baik sebagai tukang ojek maupun sekaligus penyuluh. Contoh nyata ada pada Ana, istri Madi.
Saat pertama kali suaminya memutuskan untuk berprofesi sebagai tukang ojek dan mangkal di sebuah kawasan lokalisasi besar di kota Tanjungpinang, Ia mengaku setengah keberatan Namun setelah diberi pengertian mendalam dari suaminya, tak urung justru kemudian berbalik mendukung.
“Sebelumnya dia sudah mengatakan dan menjelaskan kepada saya tentang pekerjaan dan posisinya setiap hari. Jadi saya tidak perlu khawatir karena saya percaya dengan suami saya, toh yang penting dia mendapat pekerjaan dan hasil jerih payah yang halal,” katanya.
Rasa ikhlas dan penuh percaya pada suaminya ia terapkan dalam kehidupan sehari-hari. Meski mengaku hidup serba pas-pasan, namun rasa bangga menyelinap di dada wanita ini. Selain sebagai tukang ojek, kapasitas suaminya yang sekaligus sebagai penyuluh “dadakan” bagi virus HIV dan penyakit AIDS menjadi warna tersendiri, ternyata suaminya masih bisa berguna bagi orang lain.
“Pokoknya gak masalah dia mau berpangkalan di manapun, yang penting tidak menyalahgunakan kepercayaan saya, karena saya sudah percaya 100 persen pada suami,” tutur Ani.
Penuturan Ani tersebut menandakan betapa kepercayaan dan kesetiaan bisa mendatangkan sebuah manfaat, yakni tidak akan adanya perselingkuhan yang menjurus pada gonta-ganti pasangan dalam berhubungan seksual. Jika ini bisa dilakukan, tidak hanya dalam lingkup tukang ojek namun secara keseluruhan keluarga Indonesia, bisa menjadi penghambat persebaran HIV/AIDS. (persda network/nurfahmi)

Konsep ABCD bagi Tukang Ojek (1)

by noenx's
KOORDINATOR Klinik Batu 15, Novira Damayanti menyebut data klinik yang ada ditempatnya menyebutkan saat ini cakupan layanan BCC sudah di level pada WPS langsung mencapai 100 persen pada tahun 2005 dan WPS tidak langsung mencapai 90 persen. Tahun ini sudah mencapai 100 persen. Namun di beberapa lokalisasi cakupan layanan ini sudah 100 persen sehingga meminimalisir kemungkinan adanya IMS, HIV/AIDS.
Secara umum terdapat gambaran proporsi jumlah ODHA pada sub populasi rawan HIV di kota Tanjungpinang. Pada pelanggan Pekerja Seks (PS) mencapai 4 persen, pasangan pelanggan PS justru 0 (nol) persen, WPS langsung mencapai 9 persen, WPS tak langsung mencapai 7 persen dan waria sebesar 23 persen.
Mengenai keberadaan tempat atau lokasi persebaran ODHA di kota Gurindam, beberapa wilayah sudah terdeteksi. Wilayah kota sangat dominan seperti di kawasan Batu 3, Suka Berenang, Batu 6 dan kawasan pusat keramaian malam seperti kedai kopi dengan prilaku seperti halnya manusia sehat biasa, sehingga hampir tidak ada orang atau pelanggan yang tahu jikalau WPS tersebut sudah mengidap virus HIV, bahkan mungkin sudah pada tahap AIDS, meski mungkin masih dalam stadium I.
Di kota Tanjungpinang sendiri terdapat beberapa kategori pelanggan Wanita Pekerja Seks (WPS), di antaranya terdapat golongan penduduk setempat, pendatang WNI, pendatang WNA dan tidak terdeteksi dari mana asal muasal pelanggan tersebut.
Prosentase tertinggi asal pelanggan menurut jenis WPS langsung dipegang kategori penduduk setempat yang mencapai 61,5 persen. Sedangkan prosentase tertinggi asal pelanggan WPS tak langsung, termasuk di dalamnya WPS panggilan/eksklusif, adalah pendatang WNA yang mencapai angka 69,4 persen.
Sementara khusus kategori pelanggan lokal, prosentase tertinggi pemakai WPS langsung ditunjukkan oleh jenis Pegawai Swasta yang mencapai 20,2 persen dan terendah diisi golongan PNS dan pengangguran yang sama-sama memiliki nilai 0,4 persen. Kategori WPS tak langsung, persentase pelanggan tertinggi dipegang pegawai swasta dengan 10,3 persen dan terendah didapat golongan pelajar/mahasiswa dan pegawai swasta yang sama sekali tidak memakai WPS tak langsung.
Data tambahan yang didapat dari YBS menyebutkan saat ini keseluruhan WPS langsung di Batu 15 sudah menggunakan kondom 100 persen. Maksud pemakaian 100 persen tersebut didasarkan pada survei melalui perlakuan semacam absensi di setiap rumah dan saat WPS tersebut keluar dari lingkungan lokalisasi. Bagi mereka yang keluar terlebih dahulu selalu melapor melalui “pintu absensi” guna menunjukkan kondom.
“Mungkin kita tidak tahu apa yang dilakukan mereka di luar sana atau pas melayani tamu di dalam rumah, namun paling tidak ternyata selama kita berada di sana dan kita rutin melakukan pemantauan, tercatat mereka selalu menggunakan kondom, sehingga kita berani mengklaim mereka semua menggunakan alat pengaman tersebut,” jelas Novi.
Sementara dari sampel WPS tidak langsung di kota Tanjungpinang terdapat nilai tidak pernah menggunakan kondom sebesar 12 persen, kadang-kadang sebesar 55 persen dan selalu menggunakan sebesar 33 persen. Jumlah ini termasuk sangat riskan sehingga menyebabkan kriteria kemungkinan adanya prevalensi IMS semakin tinggi.
Dari hasil penelitian Infeksi Saluran Reproduksi di kota Tanjungpinang dengan responden sebanyak 97 WPS di lokalisasi dan 149 responden WPS di tempat hiburan menyebutkan pekerjaan pelanggan yang paling sering dilayani terdiri atas polisi/TNI dengan rataan 1,5 persen, PNS juga 1,5 persen, pegawai swasta hanya 0,5 persen, ABK di lokalisasi sebesar 16 persen sedang di tempat hiburan hanya 1 persen.
WPS tempat hiburan paling banyak melayani tamu orang asing yakni sebesar 92 persen sedangkan WPS lokalisasi hanya melayani 2 persen. WPS lokalisasi paling banyak atau paling sering melayani orang yang justru tidak diketahui asal muasalnya oleh WPS.
Tindakan pencegahan HIV/AIDS bisa dengan menjabarkan slogan yang disosialisasikan sebagai upaya pencegahan penularan HIV yang dikenal dengan prinsip ABCD. A (Abstinence), yakni tidak melakukan hubungan seksual sama sekali. terutama bagi yang belum menikah, B (Be Faithful), yakni tidak berganti-ganti pasangan dan saling setia kepada pasangannya, C (Condom), yakni jika kedua cara di atas sulit, harus melakukan hubungan seksual yang aman yaitu dengan menggunakan alat pelindung atau kondom dan D (Don’t Share Syringe), yakni jangan memakai jarum suntik atau alat yang menembus kulit bergantian dengan orang lain, terutama di kalangan IDU’s.
Bagi tukang ojek seperti Madi dan Andi, apa yang disebut dengan konsep dan prinsip ABCD memang tidak secara detail diketahuinya. Saat dijumpai, keduanya mengaku bersama teman-temannya tidak terlalu paham dengan apa, kepanjangan dan definisi detail dari prinsip ABCD tersebut.
Namun saat dijelaskan tentang prinsip tersebut, Andi dan Madi sependapat kalau apa yang telah mereka lakukan juga mengacu pada ketentuan tersebut. “Yang jelas setiap kita ngobrol dengan WPS, yang berhubungan dengan HIV/AIDS, selalu menyebutkan atau menyuluh tentang keempat hal tersebut, meski sebenarnya saya tidak tahu betul apa kepanjangan dari ABCD itu, namun apa yang kita lakukan jelas sesuai dengan prinsip tersebut,” ujar Madi. (persda network/nurfahmi budi)

Teman Baik, tak Selalu Bicara Uang (5-habis)

by noenx's
SETELAH beberapa pertemuan dan berbincang itulah, ia merasa apa yang telah dilakukannya selama ini sangat berbahaya dan menyebabkan penderitaan yang sangat panjang bahkan telah mengancam jiwa orang lain. Nurlita-pun kini semakin tegas pada konsumen untuk selalu menggunakan kondom saat berhubungan seks, meski pada awalnya sempat diprotes para pelanggannya karena terbiasa tanpa hambatan apapun.
Tapi justru karena beban itulah, lama kelamaan dirinya mulai tertarik untuk menjadi penyuluh sedikit demi sedikit seolah membantu kegiatan para tukang ojek tersebut. “Memang tukang ojek bagi saya tidak disangkal lagi mampu memberi sesuatu yang lebih bagi kehidupan saat ini, meski sebenarnya saya tahu umur sudah tidak panjang lagi,” imbuhnya trenyuh. (persda network/nurfahmi budi)

Teman Baik, tak Selalu Bicara Uang (4)

by noenx's
KARENA itulah ia merasa peran tukang ojek sangat berguna bagi dirinya dan para WPS lainnya. Biasanya para tukang ojek tersebut memberitahu lewat omongan saja, tapi kadang Riana dan kawan-kawan diberi stiker atau lembaran tulisan yang berisi pengetahuan tentang HIV dan AIDS.
Sama seperti Riana, tukang ojek bagi seorang Nurlita yang positif terkena HIV, adalah tidak hanya sebagai tukang antar saja ke pelanggan yang di luar kompleks. Namun lebih dari itu mampu memberi pengetahan tentang arti hidup meski terkena virus HIV.
Menyinggung kapan tahu jika sudah terjangkiti virus tersebut, Nurlita menjelaskan sekitar tahun 2000-an sepertinya, ia memang merasa tidak sehat, banyak keringat, sering pusing-pusing, panas terkadang muntah-muntah dan terasa semakin lemas. Karenanya ia memeriksakan diri ke dokter. Eh...ternyata bagai petir di siang bolong dokter mengatakan kalau dirinya positif terkena virus sangat berbahaya tersebut.
“Namun saya sempat tidak patah arang, saya minta dicek kesehatan total namun ternyata memang hasilnya sama saja. Sejak saat itu saya pasrah namun tetap bekerja seperti biasa melayani tamu meskipun sebenarnya saya tahu hal itu bisa membahayakan orang lain, tapi saya terus mau hidup darimana, sayapun butuh uang juga. Jadi tetap saja saya beroperasi melayani pelanggan,” jelas Nurlita, wanita asal Jepara, Jawa Tengah ini.
Lalu bagaimana Nurlita melayani konsumennya?Ternyata ia tetap saja melayani seperti hal WPS biasa lainnya. Namun tidak seperti saat berada di kota Batam, kini ia sudah berubah, meski tidak mau berhenti menjadi seorang WPS.
Ia mengaku saat ini sudah berubah. Perubahan itu tampak dari keharusannya untuk memakai alat pengaman kondom. Biasanya ia membawa sendiri untuk teman kencannya atau kalau tidak selalu memberi peringatan pada pelanggan untuk memakai kondom, meski dirinya tetap tidak memberi tahu kalau mengidap HIV.
“Masih terasa berat dan sesak di dada,” ujarnya lirih dengan raut muka yang dipaksanya untuk selalu ceria dan tersenyum, tapi guratan sedih dan menyesal tetap ada di bola matanya yang masih bening.
Wanita ini mengaku perubahan yang ada pada dirinya terutama dalam melayani pelanggan didapat dalam jangka waktu cukup lama. Itupun ia rasakan dulunya sebagai sebuah siksaan, karena “aksi balas dendamnya” terasa terhambat.
Nurlita berusaha merubah gaya hidupnya karena memang keinginannya agar penyakit yang diidapnya tidak bertambah parah, pasalnya ia masih tetap berusaha untuk pergi ke klinik, apalagi hal tersebut juga untuk menjaga alat reproduksinya tetap bersih.
“Namun di sisa hidup saya, jika tidak bisa disembuhkan juga, saya tidak ingin bertambah parah, jadi berkeinginan menggunakan kondom, termasuk teman kencan saya, harus, kalau tidak saya justru bisa menolak secara halus meski tetap sebisa mungkin membujuknya supaya tetap memakai jasa layanan seks saya,” jelas Nurlita, yang merasa dirinya berubah sejak enam bulan setelah tinggal di kota Tanjungpinang.
Mengenai asal kesadarannya untuk merubah pola hidup dan pelayanannya ke konsumen, wanita ini mengaku situasi dan kondisi di lingkungannya sekarang-lah yang membuatnya mampu merubah segalanya.
Satu di antara yang paling dominan merubah pola pikirnya tentang “balas dendam” dan kesehatan justru datang dari pergaulannya dengan tukang ojek. Selain merasa enak dan aman serta nyaman untuk diajak ngobrol kesana kemari, teman-teman tukang ojeknya mampu menghadirkan nuansa lain terutama mengenai virus HIV dan penyakit AIDS.
Ia membuktikannya sendiri. Saat pertama kali memakai jasa mereka untuk mengantar keluar guna menemui konsumen yang mem-booking, di sepanjang perjalanan tukang ojek tersebut mencoba untuk berbincang tentang segala hal awalnya, namun lama kelamaan mengajak untuk berbincang tentang HIV dan AIDS.
Pertama kali mendengarnya, Nurlita terus-terusan cuek. Namun setelah setiap kali keluar meski dengan tukang ojek yang berbeda dan perbincangan selalu mengarah ke sana, ia-pun seolah tergerak dan tersadar tentang penyakit mematikan tersebut, karena memang tukang ojek tersebut senantiasa mengajak untuk selalu menanyakan kepada pelanggan apakah membawa kondom atau tidak.
“Ternyata teman-teman tukang ojek sangat intens, terutama saat menjelaskan betapa bahayanya jika tidak menggunakan alat pengaman seperti kondom karena bisa menimbulkan penyakit, meskipun kondom misalnya, tidak seratus persen bisa mencegah penyakit, tapi setidaknya bisa mereduksi lebih banyak daripada tidak memakai sama sekali,” jelas Nurlita. (persda network/nurfahmi budi)

Teman Baik, tak Selalu Bicara Uang (3)

by noenx's
MANFAAT lainnya bukan hanya untuk Riana dan Nurlita, tapi juga bisa dirasakan semua penghuni WPS di sini. Mereka sangat dekat dan familiar, para WPS bisa datang kapan saja ke pangkalan, bisa minta bantuan apa saja, terutama bagi yang sudah langganan. Paling utama tentu dari segi keamanan, para tukang ojek tersebut bisa membantu sehingga tidak usah khawatir bakal terjadi apa-apa.
Selain itu karena rata-rata dari mereka sudah berkeluarga, bercerita apa saja masalah yang sedang kita hadapi selalu masuk dan mendapat tanggapan, termasuk cerita tentang kemungkinan untuk menikah dan beberapa hal tentang pengetahuan penyakit kelamin dan tubuh akibat pekerjaan sebagai WPS. “Meski tidak terlalu detail, tapi sudah cukup memberi informasi dasar kepada saya,” imbuh Riana.
Nurlita juga memiliki pandangan yang sama. Tukang ojek mampu memberi warna tersendiri terutama jika dari sisi psikologi sedang mengalami masalah akibat himpitan kurangnya uang, berselisih dengan temannya ataupun mulai berkurang penggunanya. Karena tidak bisa dipungkiri terkadang keinginan untuk keluar dan kembali ke keluarga normal selalu ada, sesuai dengan kodrati wanita untuk berkeluarga.
Mengenai godaan saat berteman dengan tukang ojek, Riana menyebut situasi tersebut terkadang ada seiring dengan tingkat kedekatan yang dirajut setiap harinya. Tapi akhirnya sebagian besar mereka yang diajakanya selalu menolak bahkan justru memberi petuah yang sangat berharga.
Terkadang dirinya juga heran kenapa mereka bisa begitu kuat menahan godaan. “Jadi mereka benar-benar bisa membuat kita kagum dan segan sekaligus hormat,” kata wanita yang maksimal menerima 3 tamu dalam satu malam.
Lalu bagaimana cara Riana melayani tamunya?Wanita berambut ikal sebahu ini menuturkan setiap kali tamu yang datang padanya harus sehat jasmani, wajib membawa dan menggunakan kondom, itu yang sangat wajib karena bisa mencegah kemungkinan terjangkit penyakit menular seksual.
Jika tidak menggunakan kondom, Riana pasti akan menolaknya mentah-mentah. Ia berprinsip lebih baik kehilangan Rp 500 ribu daripada berpenyakitan seumur hidupnya.
Justru setiap kali akan melayani tamu, Riana selalu menyempatkan diri untuk menjelaskan masalah kesehatan jika tamu yang akan menggunakan jasanya tidak membawa dan tidak mau menggunakan kondom. Jika sudah begitu, biasanya sang tamu langsung merespon, jika ingin melanjutkan segera membeli kondom atau justru langsung pulang karena malas mencari dan memasang kondom.
Riana mengaku mendapat sistem dan cara seperti itu dari hasil pergaulannya dengan para tukang ojek yang selalu mangkal di gerbang masuk lokalisasi yang memang sudah terkoordinir rapi. Dari sanalah terkadang Riana mendapat informasi berharga terkait virus HIV dan AIDS.
Menurut Riana, apa yang telah dilakukan para tukang ojek di daerah sekitarnya tergolong berhasil. Pasalnya semua rekan-rekannya kini telah mengerti tentang beberapa hal terkait HIV/AIDS, terutama arti penggunaan kondom.
Bahkan kini teman-temannya yang dulu anti dengan sosialisasi yang dilakukan para tukang ojek sudah berbalik mendukung. “Mereka kini justru pengen tahu lebih dalam tentang HIV/AIDS dan selalu menunggu kabar teranyar. Tak jarang, kita ada diskusi kecil-kecilan,” cerita Riana.
“Mereka memang setiap kali ketemu selalu sedikit demi sedikit memasukkan pengetahuan tentang penyakit itu, jadi lama kelamaan saya tahu juga. Jadi berkat mereka saya tambah ngerti, meski saya WPS tapi berhak untuk hidup sehat. Mereka biasanya bercerita saat saya memakai jasanya untuk mengantar ke tempat tujuan tertentu seperti di hotel atau tempat kos-kosan. Di sepanjang jalan ngobrolnya pasti ada yang nyerempet-nyerempet tentang bahaya HIV/AIDS. Bahkan setiap dua minggu di lingkungan kompleks selalu ada layanan pemeriksaan kesehatan reproduksi, dan biasanya tukang ojek justru yang memberitahu dulu kalau-kalau ada yang mau memeriksakan diri.” jelas Riana. (persda network/nurfahmi budi)

Teman Baik, tak Selalu Bicara Uang (2)

by noenx's
ITULAH yang selalu rutin dilakukan Nurlita dan Riana setiap harinya. Itupula yang juga dikerjakan oleh hampir seluruh penghuni lokalisasi Batu 15, lokasi yang sebenarnya terletak jauh dari jalan utama, namun justru menjadi kompleks ramai dan terbilang bersih dan teratur.
Bagi Riana, kondisi sekarang yang harus dijalani sebagai seorang WPS tentu tidak menjadi tujuan utama yang dulu sempat dibayangkannya. Meski sempat terlintas untuk menjadi seorang TKI, namun jalan hidup membawanya kepada pekerjaan yang berada di luar perkiraannya.
Menjadi WPS, bagi Riana adalah keterpaksaan. Ia harus menanggung akibat sebagai korban penipuan yang dilakukan temannya sendiri. Wanita asal Tasikmalaya Jawa Barat ini harus terjun ke dunia WPS setelah keperawanannya direnggut seorang Apek asal Singapura. Meski sangat sakit, namun justru uang yang menjadi daya tarik seorang Riana.
Setelah peristiwa tersebut, ia langsung berpikir untuk terjun saja langsung karena sudah kepalang basah. “Akhirnya memang aku harus terjun ke dunia ini dan sampai di Batu 15 ini, perasaan tetap pengen keluar, tapi tetap saja belum bisa kulakukan,” ujarnya, saat bercerita seluk beluk kehidupannya hingga ia seolah terdampar di kota Gurindam ini dan menjadi WPS sejak tahun 2001.
Sementara Nurlita cenderung terseret sebagai pelayan nafsu laki-laki ini disebabkan desakan kebutuhan ekonomi saat hidup di Batam. Karena merasa mudah memperoleh uang dengan kenikmatan, Nurlita mengaku mau tidak mau terjun sebagai WPS dan juga wanita panggilan.
Mengenai interaksi dengan tukang ojek, Nurlita dan Riana menjelaskan hampir semua teman-teman seprofesinya sangat dekat dan membutuhkan kehadiran dan jasa seorang tukang ojek.
Tidak hanya sebagai pengantar ke tamu di luar atau berbelanja kebutuhan sehari-hari ke kota, lebih dari itu ternyata tukang ojek bisa sebagai tempat curhat jika menghadapi masalah yang cukup pelik menyangkut kehidupan seperti kangen dengan keluarga di kampung halaman sampai masalah kekurangan uang yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Riana menganggap mereka ada orang-orang yang spesial dan multifungsi. Mereka bisa menjadi teman yang sangat dekat, teman curhat, teman bermain dan bercanda meski terkadang tetap saja ada tukang ojek yang usil dan menginginkan sesuatu yang sebenarnya tidak disukai.
“Tapi yang jelas, mereka (tukang ojek-red) adalah teman baik yang tidak selalu berbicara tentang uang, itulah yang membuat kita bisa dekat dengan mereka dalam keseharian,” tutur Riana, sembari membetulkan letak tanktop merah mudanya yang agak bergeser ke samping kanan. (persda network/nurfahmi)

Teman Baik, tak Selalu Bicara Uang (1)

by noenx's
JARUM jam sisi panjang menunjuk angka 12, sedangkan jarum yang lebih pendek tepat di posisi angka 4. Matahari-pun masih cukup terang menyinari setiap permukaan bumi di kota Tanjungpinang, khususnya di sekitar kawasan lokalisasi Batu 15.
Gardu depan sebagai pintu gerbang selalu tampak sibuk. Obrolan dan cengkrama tukang ojek berbaur dengan senyuman dan celotehan pengunjung warung makanan dan kedai kopi, yang setiap harinya selalu ramai dikunjungi.
Beberapa Wanita Pekerja Seks (WPS) juga mulai menampakkan diri meski hanya sebagian saja yang tampak sudah bersiap untuk “bekerja”. Mereka selalu berbaur dengan lingkungan sekitar, terutama dengan kalangan tukang ojek. Kedekatan mereka sangat tampak dari cara berbicara dan berprilaku, seolah mereka menasbihkan sebagai sebuah simbiosis mutualisme, saling menguntungkan meski terkadang sisi negatif lebih dicondongkan ke tukang ojek.
Di bagian dalam kompleks, kesibukan beraktifitas juga sudah mulai terlihat sore itu. Ditemani semburat kuning matahari, beberapa WPS tampak sudah mulai menata diri dengan bersolek bersama-sama dalam satu rumah. Kompleks Batu 15 ini memang terdiri dari ratusan rumah di lahan seluas sekitar 3 hektar tersebut.
Setiap rumah biasanya diisi 3-5 WPS yang “berdinas” bersama-sama dalam melayani tamu. Namun memang tidak selamanya mereka melayani tamu di dalam rumah tersebut, terkadang ada pula yang menerima panggilan dan melayani tamunya di luar kompleks, seperti harus pergi ke kota Tanjungpinang untuk bertemu klien di hotel ataupun di rumah kos khusus.
Begitupun yang dilakukan Euis Riana yang terkenal dengan panggilan Misye dan Nurlita yang biasa disapa Ayu oleh kawan-kawannya sekompleks. Seperti halnya yang lain, seolah sudah menjadi awalan yang wajib dilakukan, mereka berdua setiap sorenya selalu bersolek dan menyiapkan diri untuk melayani para lelaki hidung belang guna memuaskan hawa nafsunya dengan berhubungan seks.
Setelah diawali dengan mandi, beragam produk kecantikan telah siap menantin mereka sebagai langkah wajib yang harus dilakukan. Produk seperti lotion, lipstik, eyes shadow sampai parfum selalu berada tidak jauh dari tubuh mereka.
Tak berapa lama dandanan mereka langsung berpadu dengan aroma wangi semerbak dari tubuh mereka, meski terkadang justru beraroma menyesakkan bagi siapa saja yang tidak suka dengan aroma parfum.
Setelah itu, sembari menunggu lelaki hidung belang yang menginginkan jasa kenikmatannya, Riana dan Nurlita bersama satu teman lainnya bercengkrama dan bergosip kesana kemari tak jelas juntrungannya. Biasanya mereka lakukan itu sampai menjelang pukul 20.00 WIB.
Selepas itu bisa dipastikan “orderan” tinggal tunggu waktu saja. Jika ada satu teman yang sudah mendapat konsumen, teman lainnya segera melepas dan biasanya langsung menghentikan pembicaraan, berubah menjadi pasang aksi guna menarik perhatian lelaki hidung belang yang lewat di depan rumah tinggal.
Selain rayuan kata-kata, Nurlita dan Riana juga menunjukkan kelebihannya dalam hal kondisi tubuh. Umur mereka yang relatif tidak terlalu tua, Nurlita (28) dan Riana (30), memang masih bisa langsung meningkatkan adrenalin laki-laki pencari pemuasan hawa syahwat mereka. Tak sampai tengah malam, biasanya kedua WPS ini sudah mendapat konsumen masing-masing. (persda network/nurfahmi budi)



Peran Tukang Ojek dalam Sosialisasi Pencegahan HIV/AIDS (8-habis))

by noenx's
KEINGINAN yang sama juga dirasakan Sasmito. Ia juga berkeinginan untuk menerima dan mengikuti materi tentang HIV/AIDS tersebut meski sampai saat ini belum pernah mendengar kabar tersebut.
Tentang teman-teman seprofesinya yang mengadakan kegiatan sosialisasi, Sasmito memberikan apresiasi positif tersendiri. “Ternyata tukang ojek sendiri bisa melakukannya, masa pihak yang lebih besar lagi tidak punya keinginan tersebut,” kata Sasmito, yang sangat berkeinginan untuk mengikuti kegiatan tersebut.
Begitulah sistem kinerja para tukang ojek di kota Tanjungpinang dalam usahanya membantu pemerintah dalam mencegah semakin berkembang dan menyebarnya virus HIV dan AIDS.
Apa yang dilakukan mereka seharusnya mampu memberi inspirasi dan motivasi terhadap pihak-pihak tertentu jika digarap dengan sungguh-sungguh ternyata mata pencaharian yang sebenarnya tidak menjanjikan justru bisa menjadi jembatan sempurna menuju kehidupan yang lebih baik dan sehat.
Sayangnya sampai saat ini Dinas Kesehatan (dinkes) kota Tanjungpinang seolah tidak peduli terhadap program untuk lebih memperhatikan masalah persebaran virus HIV, terutama bagi para WPS-ODHA, yang saat ini sepertinya masih bisa bebas berkeliaran.
Dr Eka Hanasarianto, Kadinkes Kota Tanjungpinang menuturkan saat ini pihaknya memang belum gencar untuk menyisir satu per satu lokalisasi atau tempat yang diduga sebagai tempat mangkal para WPS. “Kita masih sangat kekurangan tenaga lapangan untuk sekedar mensosialisasikan ataupun menyisir guna mencatat beberapa item terkait AIDS,” ujarnya. (persda network/nurfahmi budi)

Peran Tukang Ojek dalam Sosialisasi Pencegahan HIV/AIDS (7)

by noenx's
”PERTAMA kali mereka menolak karena merasa tidak ada masalah saat melayani tamu tanpa kondom, namun kita selalu menjelaskan secara nyata dan kontinyu, sehingga lambat laun mereka sadar betapa pentingnya pemakaian pengaman saat berhubungan seks,” ujar Madi.
Tidak jauh berbeda, Andi mengaku tidak terlalu bermasalah untuk menyebarkan bahaya HIV dan AIDS, bahkan kini ia bersama teman-temannya membuat tempelan-tempelan dan sebaran-sebaran tentang HIV dan AIDS.
Semua piranti yang digunakan tersebut ia dapatkan dari hasil jerih payahnya bersama teman. Tentang materi tempelan atapun selebaran, Andi selalu mendapatkannya dari LSM, baik itu dari LSM YBS ataupun Yayasan AIDS Kota Tanjungpinang.
Selain di lokalisasi, Madi dan teman-temannya juga selalu memberi pengarahan terhadap penumpang setiap harinya, terutama yang berprofesi WPS atau pengguna.
“Setiap saya memboncengkan wanita malam yang berprofesi sebagai WPS saya selalu mengajak ngobrol sedikit demi sedikit dengan mereka. Setelah agak mencair suasananya biasanya saya baru masukkan pengertian tentang penyakit tersebut sekaligus bagaimana simpelnya mencegah tertular dan terjadinya virus tersebut ke tubuh manusia,” tegas Madi.
Efeknya langsung terasa, meski harus tetap pelan-pelan. “Jika sudah seperti itu biasanya sebelum saya antar dia ke tempat yang dituju baik itu rumah kos ataupun hotel, KTV dan tempat hiburan serta tempat prostitusi lainnya saya sarankan dia membawa alat pengaman, jika belum bawa, biasanya saya sarankan pakai kondom saja, sekaligus memberitahu kalau tamunya tidak makai kondom jangan mau karena bahayanya itu tadi,” jelas Madi.
Saat ditanya tentang penumpangnya yang WPS-ODHA, Andi menyebut tetap saja pihaknya terus memberi pengertian dan pemberitahuan jika apa yang dilakukan sangat merugikan orang lain, tentu dengan bahasa yang halus dan tidak menyinggung. Penekanannya lebih dalam terutama menyangkut bahaya penularan penyakit.
Mengenai kesuksesan menjalankan keteraturan di sekitar kawasan Batu 15, Madi mengaku bakal terus berjuang untuk semakin menertibkan dan menyehatkan lingkungan. Begitupun Andi, dengan pengalaman dan pengetahuan yang diberikan selama pelatihan HIV/AIDS, ia bakal berusaha semakin sering berkomunikasi dengan warga, karena ternyata hasilnya sangat memuaskan.
“Jelas masih banyak PR yang harus kita selesaikan. Memang sekarang sepertinya teratur tapi memang setiap orang kan tidak bisa dipastikan apa maunya. Mungkin saja karena merasa terdesak, meski tamunya sudah membeli kondom (meski mungkin terpaksa), ia mau saja melayani dengan ‘langsung’ tanpa penghalang apapun, dan mungkin saja ‘keluarnya’ di dalam karena tanggung alias kepalang tanggung. Nah itu yang terkadang tetap kita pikirkan,” jelas Madi.
Solusi awalnya Madi dan Andi seolah sangat kompak. “Kita tentu tidak bisa mengurusi privasi orang lain, tapi kita usahakan kita bisa tahu dan tanyakan kepada si WPS apakah saat melayani tamu menggunakan kondom atau tidak. Namun sekali lagi variable itu memang tidak terlalu meyakinkan, tapi kita bisa lihat hasilnya dari pemeriksaan kesehatan yang rutin dilakukan setiap dua minggu di klinik. Atau kalau tidak, jika si WPS sudah kita kenal baik kita pasti memperhatikan apakah ada sampah kondom atau tidak setelah mereka berhubungan,” ujar keduanya.
Jika ada gejala WPS tersebut tidak menggunakan kondom, tindakan yang dilakukan adalah menegurnya. “Karena bagaimanapun semua itu demi kesehatan seluruh penghuni, jangan gara-gara satu orang semuanya terkena. Karena yang saya tahu prinsip penyebaran HIV tergolong cepat, apalagi bisa saja tamu yang sama datang di malam berikutnya tapi beda WPS, itu yang sangat riskan bukan, beda dengan yang langganan,” tutur Madi.
Lalu bagaimana sikap para tukang ojek yang berada di luar sistem koordinasi kelompok alias yang bebas secara individu?Ternyata dari perbincangan dengan beberapa tukang ojek tersirat niatan mereka untuk meniru apa yang telah dilakukan rekan-rekannya yang tergabung dalam suatu kelompok atau tempat mangkal.
Satrio contohnya. Bapak tiga orang anak ini mengaku sebenarnya ia sering juga mengantar WPS ke sebuah tempat, namun tidak dalam bentuk langganan penumpang, karena memang dirinya selalu bergerak mencari penumpang baik di pasar, saat pergi-pulang anak-anak sekolah, pegawai pulang sampai malam harinya serabutan mencari penumpang.
“Asyik juga sih sebenarnya mengikuti pelatihan dan berkegiatan seperti yang diceritakan apalagi ini menyangkut HIV/AIDS, sesuatu yang selama ini belum saya ketahui, tapi ternyata belum bisa,” ujarnya. (persda network/nurfahmi budi)

Peran Tukang Ojek dalam Sosialisasi Pencegahan HIV/AIDS (6)

by noenx's
MENGENAI pembiayaan untuk operasional mereka dalam hal di atas, Madi mencontohkan dia dan teman-temannya memang telah mengalokasikan secuil dana untuk kerja mereka, terutama menyediakan poster-poster sosialisasi.
“Kita menyisihkan sebagian pendapatan kita tiap minggu, namun tidak ada paksaan, toh poster-poster itu kan tidak seberapa modalnya, kebetulan kita juga punya teman yang membua poster, tentu kita dapat harganya miring,” ujar Madi, yang menyebut dalam sebulan uang yang terkumpul bisa mencapai Rp 500 ribu.
“Gak masalah tuh dengan langkah itu karena pada dasarnya yang terpenting bagi kita adalah tujuan yang akan kita sampaikan, semuanya demi kemaslahatan masyarakat, tidak hanya kita. Jadi tidak ada masalah kehilangan sedikit harta, daripada nanti terjadi sesuatu yang merugikan kita semua,” terang Paulus, yang mengaku minimal ia memberi iuran berupa materi sebesar Rp 100 ribu.
Saat ditanya bagaimana jika justru ditinggalkan penumpang yang mau masuk ke kawasan, Madi dengan gamblang mengatakan, ”Jelas kita tidak takut karena itulah aturannya di sini dan setiap tamu harus mematuhi apa yang sudah digariskan di wilayah ini. Jika mereka enggan atau bahkan melanggar, silahkan meninggalkan tempat ini. Tentang pelanggan kan berhubungan dengan rejeki, dan kita yakin yang di-Atas pasti sudah menentukan rejekinya, jadi kita tidak perlu takut, apalagi itu demi keselamatan atau kesehatan kita semua. Apa jadinya jika satu saja WPS terkena penyakit mengerikan, tentu semuanya bakal riskan terkena,” ungkap Madi panjang lebar.
Terkait pengetahuan tentang HIV dan AIDS, Madi dan Andi mengaku mendapatkan penjelasan singkat maupun detail dari beberapa pelatihan yang diikutinya. “Saya tahu dari beberapa pelatihan yang ikuti bersama teman-teman tukang ojek se-kota Tanjungpipinang,” kata Madi.
“Biasanya memang berkala. Saya pernah ikut pelatihan tiga hari bersama Yayasan Bentan Serumpun (YBS). Di situ saya diberi kuesioner terlebih dahulu, baru materi oleh beberapa orang diberi materi tertulis sampai di akhir kegiatan diberi tes lagi,” imbuh laki-laki yang sehari-harinya selalu menyempatkan diri untuk berdialog dengan keluarga tentang fenomena-fenomena yang terjadi di lingkungan masyarakatnya.
Sedang Andi mengaku sangat senang dengan pelatihan yang ia dapatkan tentang HIV dan AIDS oleh yayasan. Ilmu dan pengetahuan, meski terbatas, tetap bisa diaplikasikan ke tengah masyarakat meski hanya dari mulut-mulut.
“Jelas senang, apalagi tidak hanya di tempat mangkal saja, namun akhirnya kita terdorong untuk menyampaikannya di lingkungan saya, dan saya juga mengatakan kepada teman-teman sesama pengojek untuk menyebarluaskan hal yang sama,” jelas Andi, yang sependapat dengan Madi.
Nada setuju juga dinyatakan Hamta, teman mangkal Andi. Ia yang mengikuti kegiatan pelatihan gelombang pertama di YBS bersama Andi mengaku mendapat banyak sekali manfaat dari materi yang ia peroleh. Selain kesehatan secara umum, ia juga bisa merasakan betapa banyak hal yang bisa ia petik dari dunia yang selama ini dekat dengan profesinya.
Betapa tidak, ia kini bisa mengaplikasikan apa yang telah didapatnya di pelatihan ke dunia nyata, yakni para WPS, agar bersikap hati-hati. Tidak itu saja, ia juga bisa bercerita kepada lingkungan sosial sesungguhnya saat ia berinteraksi. Satu lagi yang ia rasakan adalah kebanggan yang menyelinap di dalam dirinya jika ternyata ia bisa juga memberi sesuatu kepada orang lain. “Ya itu tadi, apalagi terkait HIV/AIDS,” imbuh bapak satu anak ini.
Mengenai hasil pelatihan dikonversikan pada tingkat keberhasilan di kawasan lokalisasi, Madi, Andi,. Lukas, Andri, Dani sampai Hamata menyebut karena maksud yang baik semuanya pun menerima, terutama para WPS. “Lain soal jika ternyata mereka menolak mentah-mentah, nah itu baru masalah besar. Namun sejauh ini tidak ada masalah meski tetap untuk yang pertama jelas ada kesulitan,” ujar Madi.
Ia menjelaskan kesulitan yang dirasakan bersama teman-temannya adalah saat pertama kali menjelaskan tentang maksud dan tujuan, belum termasuk pengusulan penggunaan piranti khusus. Pertentangan sempat dirasakan, terutama terhadap pihak-pihak yang sudah terbiasa tanpa aturan, apalagi yang berhubungan dengan kesehatan seksual.
Namun setelah dilakukan pendekatan secara persuasif, terus menerus dan kekeluargaan akhirnya ada kesadaran untuk mengetahui lebih lanjut. Sementara kesulitan lain pertama kali timbul khusus untuk penerimaan WPS adalah saat memperkenalkan penggunaan kondom sebagai tindakan preventif terhadap timbulnya penyakit seksual. (persda network/nurfahmi budi)