Sabtu, Maret 01, 2008

Peran Tukang Ojek dalam Sosialisasi Pencegahan HIV/AIDS (3)

by noenx's
INTERAKSI antara Madi dan beberapa WPS biasa ataupun ber-HIV seolah berjalan seperti biasa. Setiap hari mereka selalu berkomunikasi entah di warung, di rumahnya atau saat diantar ke suatu tempat.
Komunikasi dan interaksi tetap jalan terus, karena bagaimanapun para WPS, menurut Madi, juga terkadang membutuhkan mereka dan mereka pun membutuhkan jasa Madi dan teman-teman, jadi semuanya berjalan pada rel yang biasa.
“Pada umumnya interaksinya baik-baik saja, karena mungkin kita merasa sama-sama hidup di perantaauan,” sebut Madi, yang mengaku berbincang empat mata maupun bepergian berdua seolah sudah menjadi kebiasaan yang sudah dimengerti istri dan anak-anaknya. “Itu resiko,” imbuhnya lirih.
Lalu sebenarnya apa saja yang diobrolkan jika sedang berjalan atau saling berbincang dengan para WPS tersebut?Madi menyebut materi obrolan sangat variatif dan banyak. Namun biasanya tidak akan lepas dari kisah mereka melayani beragam tamu, ada yang kasar, halus atau bahkan membuatnya justru ketagihan dan menginginkan pria itu kembali lagi.
Ada juga yang bercerita tentang masa lalu kenapa jadi WPS, terus tentang keluarga mereka di tanah aslinya, curhat tentang kesulitan kondisi keuangan, sampai cerita kalau WPS tersebut sakit. “Kadang cerita juga menjurus ke hal-hal yang berbau porno yang membuat kita terhenyak dan ‘kena batunya’, jadi semuanya pernah kita bicarakan dari A-Z kata orang,” kata Madi.
Ia menyebut dirinya sudah terbiasa dengan tawaran untuk mencoba masuk ke dalam “permainan” para WPS tersebut, namun selalu ditampiknya. Bahkan sejak dirinya mangkal di tempat itu. Namun ia mempunyai trik jitu untuk menolak secara halus keinginan dan tawaran para WPS, seperti alasan ada kepentingan mendadak, ditunggu penumpang yang sudah memesannya terlebih dulu dan lain-lain.
Pengalaman serupa juga dirasakan Andi. Ia mengaku WPS di daerahnya hanya ada di beberapa rumah atau tempat kos saja, itupun WPS yang panggilan, tidak ada yang melayani di tempat kos. Namun tetap saja beragam interaksi dengan mereka mampu menjadi “ujian” tersendiri bagi Andi yang memang relatif masih memiliki gejolak melakukan hubungan seksual.
Ia mengaku saling berbincang panjang lebar hanya sesekali saja, tapi kalau malam hari biasanya memang nongkrong atau main saja ke tempat mereka sambil menunggu panggilan buat mereka.
Mengenai pengenalan terhadap WPS sebagai hasil interaksi, Madi mengaku tidak tahu semua secara detail. Namun jika hanya muka-muka yang baisa ada di lingkungan sekitarnya pasti mengenal. Karena memang sudah sering bertemu dan berinteraksi dengan masing-masing blok hunian. “Jadi kita hafal, kalau tidak nama ya cukup wajah saja,” sebut Madi.
Selain WPS itu sendiri, Madi dan kawan-kawan selalu memperhatikan dan memberi tanda terhadap tamu-tamu yang ada. Pasalnya tidak hanya sebagai tukang ojek saja, namun tugasnya dan teman-teman berfungsi ganda, yakni sekaligus sebagai petugas keamanan non formal. Itu juga yang dialami Andi dan kawan-kawan di kawasan Tanjungunggat.
Para konsumen yang datang relatif beragam. Dari pandangan para tukang ojek memang tidak terlalu nyata darimana latar belakangnya. Namun data dari Yayasan Bentan Serumpun (YBS) dan Dinas Kesehatan kota Tanjungpinang menyebutkan ragam mereka mulai dari TNI/POLRI, PNS, pengusaha, mahasiswa bahkan sampai pelajar.
Ia mengaku selain mengamati, jika ia mengantar WPS tersebut ke tempat pelanggan jasa atau ongkos ojeknya bisa meningkat berlipat. Selain ongkos biasanya WPS juga memberi uang tips cukup besar juga. (persda network/nurfahmi budi)

Tidak ada komentar: