Sabtu, Maret 01, 2008

Peran Tukang Ojek dalam Sosialisasi Pencegahan HIV/AIDS (1)

by noenx's
HASIL investigasi ini bukan bermaksud untuk menggurui, namun hanya sekedar pengharapan untuk bisa menjadi perenungan tersendiri betapa sesuatu yang sebenarnya sepele ternyata memiliki arti penting. Awalnya mereka merasa itu hanya untuk mereka dan lingkungannya, tapi jika ditarik lebih lebar lagi, aplikasi ini bisa menjadi inspirasi tersendiri. Mereka bisa, kenapa kita tidak?mulailah dari diri kita sendiri.

SELAMA ini tukang ojek bisa jadi tidak terlalu diperhatikan oleh masyarakat. Pekerjaannya yang hanya mengantarkan penumpang dan barang dianggap tidak memiliki fungsi dan kedudukan yang bisa berpengaruh signifikan terhadap lingkungan. Tapi ternyata jenis mata pencaharian ini juga bisa berperan lebih dalam hal tertentu, seperti halnya mensosialisasikan
Tukang ojek. Kata majemuk yang menunjukkan satu jenis mata pencaharian di tengah masyarakat yang berhubungan dengan transporasi tersebut mungkin sudah biasa di kalangan masyarakat pedesaan di Indonesia yang berbatasan langsung dengan daerah perkotaan. Fungsi utamanya memang hanya mengantarkan penumpang dari satu tempat ke tempat lain.
Penumpang yang memanfaatkan jasanya memang beragam dari mulai anak sekolah, PNS sampai pedagang. Di kota Tanjungpinang, sebagai ibu kota provinsi Kepulauan Riau (Kepri), fenomena tukang ojek seolah sudah menjadi bagian yang tidak terpisahkan. Tak pelak 24 jam non stop tukang ojek selalu beroperasi melayani dan menemani setiap gerak langkah dinamis kehidupan malam kota Gurindam ini.
Di kota Tanjungpinang khususnya, dan di beberapa kota lainnya di Indonesia, tukang ojek sudah identik dengan jam operasi sampai malam hari dalam melayani penumpang. Namun rata-rata penumpang mereka adalah orang-orang "istimewa", yakni wanita-wanita penjaja seks yang datang dari berbagai kawasan di kota Tanjungpinang.
Bahkan tak jarang tukang ojek justru menjadi objek utama yang mengerti tentang jaringan dan tempat-tempat yang digunakan untuk kencan wanita yang dalam dunia AIDS disebut golongan resiko tinggi (resti) tersebut. Namun di sisi lain sudah tidak menjadi rahasia lagi, justru sebagian tukang ojek "menambah" penghasilannya dengan menjadi perantara dan pengantar para wanita pekerja seks (WPS).
Kota Tanjungpinang adalah satu di antara kota di provinsi Kepulauan Riau (Kepri). Jumlah penduduknya berkisar 156.627 jiwa. Berdasarkan perkiraan jumlah penduduk berisiko tahun 2005/06, kota Tanjungpinang memiliki faktor resiko penularan 3 besar di provinsi Kepri, dua lainnya adalah kota Batam dan kabupaten Tanjungbalai Karimun. Jumlah populasi resiko tinggi sebesar 11.800 orang, dimana perkiraan penyebaran kasus HIV rata-rata 31,5 persen.
Data Yayasan Bentan Serumpun (YBS) menyebutkan Prevalensi Infeksi Menular Seksual (IMS) menunjukkan peningkatan yang cukup berarti selama beberapa tahun terakhir. Pada tahun 2003 sebesar 65 persen dan HIV sebesar 5 persen. IMS meningkat menjadi 75 persen pada tahun 2004 dan HIV menjadi 6 persen. Hal ini sebagai akibat dari prilaku pemakaian kondom secara konsisten pada kegiatan seksual berisiko yang baru mencapai 15 persen pada WPS langsung dan WPS tidak langsung.
Definisi tersendiri dari WPS langsung adalah WPS yang secara terang-terangan menampakkan dirinya sebagai pekerja seks. Biasanya tipe seperti ini bisa dilihat secara langsung di lokalisasi ataupun yang berada secara terang-terangan di pinggir-pinggir jalan ataupun di tempat-tempat tertentu seperti pujasera ataupun ruang karaoke.
Sedangkan WPS tidak langsung adalah pekerja seks yang sistematikan kerjanya cenderung lebih rapi dan tidak menampakkan secara jelas di muka umum. Jenis ini biasa digunakan untuk menyebut pekerja seks panggilan dan biasanya memiliki tarif lebih tinggi dibanding WPS langsung.
Dari kacamata dukungan data di atas telontar pertanyaan yang sangat menarik tentang bagaimana sebenarnya usaha pemerintah kota Tanjungpinang dan pihak-pihak terkait untuk mencoba mencegah penyebaran virus HIV. (persda network/nurfahmi budi)

Tidak ada komentar: