Sabtu, April 19, 2008

Investor Saham Waspadalah!

Indeks harga saham gabungan dipastikan belum mencapai dasar. Itu sebabnya, makin sedikit analis yang berani memberikan rekomendasi untuk investasi jangka menengah dan panjang. Berhati-hatilah. Ada kabar baik sekaligus kabar buruk bagi para pelaku di bursa efek. Berita baiknya menyebutkan pasar saham akan rebound. Sayangnya kabar buruknya, pembalikan arah itu baru akan terjadi pada Juli nanti. Itu pun dengan catatan kalau tak terjadi ‘apa-apa di tengah jalan’.
Sikap para pemodal, memang, belum berubah alias masih seperti pekan-pekan sebelumnya. Mereka tetap pesimistis dan menganggap kondisi Bursa Efek Indonesia (BEI) masih berada dalam area bearish. Dengan kata lain, penguatan indeks harga saham gabungan, yang berlangsung selama empat hari perdagangan kemarin, hanya merupakan technical rebound. Apalagi kenaikannya hanya berlangsung tipis yakni hanya sekitar 1,9% dari 2.303,93 (11/4) ke 2.349,27 (18/4).
“Jadi, pekan ini, indeks masih rawan koreksi,” kata seorang analis saham. Beberapa investor kakap yang ditemui INILAH.COM memprediksi, indeks pada perdagangan 21 hingga 25 April ini akan bergerak di rentang 2.250 - 2.400.
“Ada kemungkinan bakal terjadi aksi ambil untung. Terutama pada saham-saham pertambangan,” ujar seorang investor asing. Soalnya, para pemodal asing maupun lokal kini lebih suka bermain cepat.
Artinya jika sudah mengantungi gain 5-10%, mereka akang langsung membuang barang. Alasannya, dalam kondisi seperti sekarang, lebih aman memegang uang tunai ketimbang mengempit saham.
Mungkin, alasan itu ada benarnya. Sebab, tiga kepala riset dari tiga perusahaan sekuritas berpendapat sama bahwa IHSG yang terbentuk saat ini belum mencapai titik terendah. Menurut perhitungan mereka, bottom indeks berada pada level 2.000-an.
Mengerikan, memang. Tapi, seperti yang lumrah terjadi, selalu ada kesempatan dalam kesempitan. Menurut seorang analis, investor yang punya nyali bisa memainkan beberapa saham unggulan yang selalu menjadi rebutan pasar.
Dari sektor pertambangan, misalnya, ada saham PT Timah (TINS), INCO, Aneka Tambang (ANTM) dan Bumi Resources (BUMI). Saham-saham tersebut, dalam sepekan, diprediksi berpotensi menghasilkan gain sebesar 5%. Lumayan bukan?
Sementara dari sektor perbankan, saham Bank Mandiri (BMRI) dan Bank BCA (BBCA) juga mendapat rekomendasi buy. Tapi, tetap dengan catatan, pembelian harus dilakukan setelah harga saham-saham tersebut terkoreksi.
Ini penting agar investor tidak lagi terjebak di harga tinggi. Makanya, tak heran jika hanya sedikit analis yang berani merekomendasikan buy untuk jangka menengah, apalagi panjang.
Soalnya, mereka tak bisa menakar sedalam apa penurunan harga sebuah saham akan berlangsung. Dan ini bisa dimaklumi, sebab pasar sangat dipengaruhi oleh berbagai sentimen eksternal. Seperti tingginya harga minyak dan melonjaknya harga pangan dunia. Dan ingat, mulai hari-hari ini, laporan keuangan kuartal I 2008 akan bermunculan. Bukan hanya laporan keuangan emiten di Indonesia, juga emiten-emiten di Amerika.
Dipastikan, akan banyak angka merah di rapor mereka. Dan itulah yang akan membuat bursa AS loyo dan bursa kita kembali terkapar. Jadi, waspadalah, waspadalah!

Jumat, April 18, 2008

Tragedi Ekonomi - Ekosistem

Sebetulnya sudah lama para pemerhati kehutanan mengetahui bahwa kerusakan hutan di Kalimantan, antara lain, dipicu pencurian kayu yang dicukongi "oknum-oknum pengusaha" di Malaysia. Meski demikian, selama bertahun-tahun, aparat keamanan sulit sekali menangkap para pencuri kayu dari Malaysia. Di pihak lain, Pemda Kalimantan-- khususnya Kalbar dan Kaltim yang paling berdekatan dengan Malaysia- tampaknya kurang "antusias" memberantas para pembalak liar yang menguras kayu di wilayah mereka.
Akibat pembalakan liar itu, sejumlah taman nasional di Kalimantan Barat dan Kalimantan Timur (Taman Nasional Meratus, Tanjung Puting, Gunung Palung, Danau Sentarum, Betung Kerihun, dan Kayan Mentarang) kini mengalami kerusakan. Hutan-hutan perawan di sejumlah taman nasional banyak yang rusak. Rusaknya taman nasional ini tidak saja merugikan Indonesia, tapi juga merugikan dunia ilmu pengetahuan secara keseluruhan. Soalnya taman nasional di Kalimantan bisa dikatakan sebagai laboratorium alam terlengkap di dunia.
Maklumlah, hutan-hutan di Kalimantan adalah hutan tropis basah yang menyimpan khazanah ilmu pengetahuan amat kaya, khususnya mengenai kehidupan tumbuhan dan hewan, termasuk mikroorganisme, yang jumlah dan variasinya amat-amat banyak.

Pusat Bertindak
Setelah banjir sering melanda wilayah Kalimantan, belakangan perhatian Jakarta terhadap kerusakan hutan di Kalimantan tersebut makin besar. Wakil Presiden Jusuf Kalla sempat kesal terhadap maraknya pembalakan liar di Kalimantan. Bahkan belum lama ini, Kapolri Jenderal Polisi Sutanto dan Menteri Kehutanan (Menhut) MS Kaban meninjau langsung lokasi penangkapan 21 kapal pembawa kayu ilegal di kawasan Ketapang, Kalimantan Barat, pekan pertama April lalu.
Yang membuat masyarakat terkejut, ada dugaan kasus penangkapan ini melibatkan petinggi kepolisian daerah Kalbar. Bahkan, pencurian kayu itu diduga melibatkan jaringan mafia yang menyusup hampir di semua lini pemda setempat. Seperti diketahui, puluhan kapal yang ditangkap tersebut mengangkut 12.000 meter kubik (m3) kayu curian. Dalam kasus ini, negara berpotensi merugi hingga Rp280 miliar. Semua kayu rencananya dikirim ke Serawak, Malaysia. Polisi juga sudah menutup enam lokasi pengolahan kayu.
Di sana ditemukan tumpukan kayu olahan. Kapolri berharap penangkapan ini menjadi tonggak untuk memberangus pencurian kayu dari hutan Indonesia. "Siapa yang bersalah harus ditindak. Tapi kita juga tak mau berpegang pada opini saja. Kita sedang mengumpulkan bukti-bukti," kata Kapolri. Senada dengan Kapolri, MS Kaban juga berpendapat kasus ini harus ditindaklanjuti terus.
"Ini kasusnya besar, dan kita ingin memberangus sampai akar-akarnya. Karena itu kasus ini dibawa ke Jakarta. Diadili di Jakarta supaya bebas intervensi," kata Menhut. Selain semua barang bukti di atas, polisi juga mencokok tiga tersangka masing-masing Aweng, Fredi, dan Darwis. Polisi juga meringkus Wijaya yang diduga sebagai pemilik satu dari 21 kapal yang ditangkap. Bayangkan ini, baru satu kasus.
Padahal, kata mantan Sekjen Dephut Soeripto, kasus pencurian itu sudah berlangsung puluhan tahun. Negara telah dirugikan minimal 10 triliun akibat pencurian kayu dalam 10 tahun terakhir ini. Menhut tampak geram dengan pencurian kayu tersebut. Sebab, sudah lama para pencuri kayu itu lalu lalang di perbatasan Kalimantan-Serawak. Namun, aparat setempat tampaknya mandul.
Kepolisian dan pengadilan setempat sering tidak berdaya menghadapi para pembalak liar tersebut. Inilah tampaknya yang membuat kesal Jakarta hingga akhirnya Menhut dan Kapolri perlu melakukan tindakan shock therapy (terapi kejut).

Malaysia, Pengekspor Kayu?
Ada keanehan dalam data perdagangan kayu dunia saat ini. Malaysia tercatat sebagai negara pengekspor utama kayu tropis dunia. Negeri serumpun yang mempunyai hutan produksi 11,8 juta hektare tersebut tercatat mampu mengekspor kayu yang sangat besar ke Uni Eropa: yaitu 5 juta m3 kayu bulat dan 3 juta m3 kayu gergajian tiap tahun.
Di samping itu, Malaysia juga mengekspor kayu tropis ke China sebesar 4,5 juta m3 per tahun. Prestasi Malaysia sebagai pengekspor kayu tropis yang amat besar itu memang patut dipertanyakan. Lebih heran lagi, belakangan China juga tumbuh menjadi pengekspor kayu tropis ke Eropa, Amerika, dan Jepang. Pertanyaannya, dari mana kayu tropis China itu?
Greenomics, sebuah lembaga kajian kehutanan independen di Jakarta, dalam pernyataannya 22 Desember tahun lalu sangat menyayangkan, kenapa AS, Eropa, dan Jepang percaya saja bahwa kayu tropis dari China itu memenuhi standar internasional, dalam arti kayu tersebut diperoleh dari hutan produksi lestari. Padahal, jelas-jelas kedua negeri itu tidak mempunyai hutan tropis yang luas yang mampu menghasilkan produk kayu tropis sebanyak itu.
Amerika, misalnya, mengimpor kayu tropis dari China dan Malaysia sebesar USD23,3 miliar per tahun, Uni Eropa USD13,2 miliar per tahun, dan Jepang USD11,8 miliar per tahun. Dari mana kayu tropis yang diekspor Malaysia dan China tersebut? Mereka-Eropa,AS,dan Jepang- mestinya tahu bahwa kayu-kayu tersebut tidak mungkin sepenuhnya berasal dari kedua negara tadi.
Melihat maraknya pencurian kayu dari Indonesia, mereka seharusnya curiga, dari mana kayu-kayu tropis itu. Tapi nyatanya, mereka diam seribu bahasa. Itulah sebabnya, Greenomics menuduh negara-negara maju bersikap munafik. Di satu sisi lantang mengkritisi kerusakan hutan tropis di Indonesia, di sisi lain mereka sebagai penadah kayu curian asal Indonesia.
Karena itu, dalam hal kerusakan hutan tropis Indonesia, negara maju sebetulnya punya kontribusi. Berdasarkan kajian akhir tahun Greenomics Indonesia, data perdagangan kayu dunia itu aneh. Soalnya, Malaysia juga menyatakan Indonesia sebagai salah satu pemasok kayu bulat ke negerinya. Padahal sejak 1985, Indonesia telah melarang ekspor kayu bulat untuk mengembangkan industri hilir domestik.
Kajian Greenomics itu diperoleh dari hasil analisis laporan tahunan produk-produk kayu tropis di pasar dunia tahun 2004-2007 yang dikeluarkan Komisi Ekonomi PBB untuk Eropa bersama FAO. Selama empat tahun itu, tercatat Malaysia mengekspor kayu bulat sebanyak 20 juta m3 dan kayu gergajian 12 juta m3 ke pasar Eropa. Dari mana kayu-kayu itu?

Fakta Ironis
Menurut Greenomics, jika sistem tebang lestari diberlakukan di Malaysia seperti klaim negara itu di berbagai konferensi lingkungan hidup internasional, termasuk di Bali belum lama ini, maka Malaysia hanya dapat mengekspor 3,6 juta m3 kayu bulat per tahun.
Yang jadi soal, Malaysia mengaku bahwa produksi kayunya mencapai 35-40 juta m3 per tahun. Di pihak lain, Indonesia yang memiliki 38,8 juta hektare hutan produktif menghasilkan 12 juta ton kayu bulat per tahun secara lestari (60 juta m3 dalam lima tahun). Jumlah tersebut masih melebihi kebutuhan industri kayu nasional yang mencapai 40-45 juta m3 dalam lima tahun (2002-2007). Informasi bahwa Malaysia sebagai penadah kayu curian sebetulnya sudah lama didengar pemerintah Indonesia.
Menteri kehutanan zaman Presiden Megawati Soekarnoputri, Mohamad Prakosa, misalnya, sudah menuduh secara terang-terangan bahwa Malaysia harus menghentikan kerja sama pencurian kayu dengan para mafia kayu Indonesia. Akan tetapi, peringatan Indonesia itu tidak digubris. Malaysia tetap menganggap bahwa kayu yang dibeli dengan harga murah dari Kalimantan itu legal.
Padahal, selama ini sudah jadi rahasia umum bahwa penebangan liar besar-besaran di Kaltim dan Kalbar, cukong dan penadahnya adalah para pengusaha kayu Malaysia. Para pengusaha Malaysia juga ikut menyebarkan pengaruh buruk terhadap aparat keamanan dan pengadilan di Kalimantan.
Mereka siap melakukan apa saja-- seperti mafia Sisilia-- untuk mendapatkan kayu Kalimantan tersebut. Itulah sebabnya, Dr Ir Mustoha Iskandar--yang pernah menjadi Direktur di Inhutani III-- menyatakan serakahnya pembalakan liar di Indonesia sudah masuk kategori luar biasa. Karena sudah masuk kategori itu, seharusnya pemerintah juga mengeluarkan kebijakan yang luar biasa untuk mengatasi pencurian kayu tersebut.
Bila perlu, pelakunya dihukum mati atau paling seumur hidup tanpa pandang bulu. Pasalnya, pembalakan liar tersebut bukan hanya merupakan tragedi ekonomi, melainkan juga ekosistem dan masa depan bumi. Pemerintah Indonesia juga harus melindungi hutan tropis Kalimantan secara ekstraketat. Pada titik-titik tertentu yang biasa dipakai untuk menyelundupkan kayu ke luar negeri misalnya, dijaga superketat melalui semua angkatan.
Sementara itu, para pelakunya bisa dikategorikan sebagai teroris sehingga bisa dihukum amat berat,bahkan hukuman mati. Pendeknya, para pelaku pembalakan liar harus diberantas sampai akar-akarnya sehingga bisa menimbulkan efek jera. Persoalannya, siapkah aparat keamanan dan penegakan hukum melakukan semua itu.
Sebagai negeri yang pernah menjadi tuan rumah konferensi lingkungan internasional di Bali belum lama ini, pemerintah memang mempunyai tanggung jawab moral terhadap kelanjutan program-program penyelamatan bumi yang dihasilkan konferensi itu. Itulah tanggung jawab moral bangsa Indonesia terhadap penyelamatan bumi. Jika pemerintah mampu mengemban amanah konferensi Bali dengan baik, niscaya kepercayaan internasional kepada Indonesia bakal meningkat.
Itu artinya, kredibilitas Indonesia dalam bidang lain pun akan meningkat pula, termasuk ekonomi. Imbasnya, negara kaya pun akan banyak membantu pemulihan ekonomi Indonesia. Ini benar-benar kesempatan emas yang harus pemerintahan Indonesia perhatikan. Semoga! (*)

Prof Dr Hadi S Alikodra
Guru Besar Fakultas Kehutanan IPB

Sabtu, April 12, 2008

Mencari Investor Idol

Ibarat mercusuar, iklim usaha di Indonesia akan semakin bersinar dilihat oleh negara lain setelah mengamati kinerja perusahaan-perusahaan raksasa meneguk untung begitu banyak. Lima belas perusahaan yang terdaftar pada Bursa Efek Indonesia (BEI) masing-masing berhasil membukukan laba dalam jumlah kolosal, dari Rp1,4 triliun sampai Rp10,7 triliun. Hal ini tentu akan menjadi magnet bagi para investor dan pemerintah akan sedikit bernafas lega jika kelak aliran investasi akan semakin deras.
Memang wajar bila investasi menjadi salah satu sandaran untuk menopang kemajuan bangsa ini, bahkan sebuah bangsa rela merombak habis-habisan berbagai peraturan agar nyaman bagi para investor. Berbagai lembaga internasional pun memberikan penilaian terhadap kondisi setiap negara di dunia, sebagai rapor untuk para investor.
Tidak ketinggalan, kita pun mencitrakan sebagai sebuah negara yang hangat dan empuk untuk berdagang pada para investor di luar negeri melalui roadshow ekonomi ataupun lawatan Kepala Negara. Berbagai peraturan pun dibidani pemerintah sebagai surat undangan untuk para investor. Itu semua upaya yang harus didukung, tentu saja.
Tetapi kita baru menyadari betapa rapuhnya peraturan kita ketika permasalahan muncul pada hubungan antara pemerintah dan investor tersebut. Pemerintah sering harus bersimpuh, tiada daya dan kuasa ketika berhadapan dengan investor. Kuatnya tekanan dan pengaruh asing menjadi alasan ketidakberdayaan kita.
Lagi-lagi, negara yang dirugikan baik berupa ganti rugi, banjir pengangguran ketika mereka tiba-tiba memutuskan hengkang atau menyetop produksinya dan pindah ke negara lain. Dua pernyataan tadi sebagai ilustrasi dari petaka yang dilahirkan oleh foreign direct investment (FDA) atau penanaman modal asing (PMA).
Yang menjadi pertanyaan, tidakkah pemerintah dapat mengaudisi setiap permohonan penanaman modal, sehingga hal-hal yang tersurat, tersirat, maupun tersuruk dapat dideteksi lebih awal. Maka setiap izin yang diterbitkan haruslah diberikan pada investor idola, yakni investor yang mempunyai tujuan mulia, yang tidak hanya mencari untung sebesar-besarnya tanpa peduli dampak buruk bagi negara yang telah memberi keuntungan. Investor yang tidak bermental licik yang menginjak-injak buruh dengan upah yang sangat tidak manusiawi.

Problematika Investasi
PMA masih berdiri pada dua kutub. PMA mendorong pembangunan karena menjadi mata air dari tumbuhnya teknologi mutakhir, proses produksi baru, sistem manajemen up to date, juga sistem organisasi aktual ini menjadi tesis dari pihak yang mendukung. Pada sudut pandang lain, meneriakkan bawa PMA lebih menguntungkan negara asal dari pada negara tuan rumah karena perusahaan-perusahaan multinasional dapat menggunakan kekuasaan mereka yang besar terhadap pelaku ekonomi-ekonomi yang lebih kecil dan lemah.
Hal yang disebut terakhir ini memang sebuah keniscayaan karena nilai kekayaan perusahaan besar ini bahkan melebihi PDB negara berkembang. Sebagai contoh, makmurnya Toyota Jepang dengan nilai kekayaan mencapai USD124,7 miliar melebihi kurusnya PDB Aljazair yang hanya mencapai USD49,6 miliar, apalagi dibandingkan dengan PDB Kenya yang hanya USD11,1 miliar.
Angka yang disebut terakhir ini bahkan tidak bisa menandingi nilai kekayaan perusahaan Korea Selatan, Samsung, yang tumpukan dolarnya telah mencapai lebih dari 11,2 miliar. Tampaklah keperkasaan investor dapat mengikis kedaulatan dan menggerus otonomi sebuah negara. Jika sebuah negara membatasi ruang gerak para investor dengan berbagai kebijakan-kebijakan, maka jurus konservatif yang paling populer digertakkan adalah memindahkan usahanya ke negara lain yang lebih longgar aturannya.
Di negara ini pun, sempitnya lahan pekerjaan sering menjadi kampanye abadi pemerintah, betapa kita sangat membutuhkan investor. Orde Baru bahkan begitu menghamba pada kepentingan investor. Secara perlahan, wilayah produktif rakyat beralih penguasaan. Seperti hak pengusahaan hutan diberikan secara besar-besaran kepada kroni penguasa.
Pengusaha asing dengan leluasa mengeruk kekayaan mineral dan migas negeri ini, dengan syarat memberikan sebagian keuntungannya pada kroni penguasa. Lahan-lahan produktif yang menjadi sumber kehidupan rakyat harus tergusur. Bahkan juga dilakukan penghilangan identitas komunitas lokal atas adat yang selama ini melingkupi kehidupan mereka. Ketika kemudian rezim Orde Baru runtuh, secercah harapan hadir. Rakyat sangat berharap terjadi perubahan mendasar di negeri ini.
Namun, apa yang diharapkan sangat jauh dari kenyataan yang diterima hari ini. Telah satu dekade sejak keruntuhan rezim tidak pernah terjadi sebuah perubahan di tingkat rakyat. Kemiskinan tetap terjadi. Biaya pendidikan dan kesehatan semakin mahal. Transportasi pun masih menjadi sebuah hambatan bagi pengembangan ekonomi lokal.
Masa otonomi daerah yang setengah hati kemudian malah melahirkan rezim-rezim penindas lokal. Pelayan publik (pemerintah) di daerah malah menjadi penguasa baru. Segala hal yang pernah terjadi di masa Orde Baru masih saja berlangsung dalam skala lokal. Penguasaan lahan skala luas oleh pemodal, pengerukan kekayaan alam, hingga penggusuran wilayah sumber kehidupan tetap saja terjadi. Rakyat tidak pernah dilayani untuk mengembangkan potensi lokalnya.
Tawaran yang diberikan hanyalah menerima investasi dan menggadaikan lahan-lahan produktif rakyat. Pemerintah sebagai pelayan rakyat sudah selayaknya menunjukkan keberpihakan kepada rakyat, seleksi penerbitan izin pada para investor harus dikaji secara mendalam beserta dampak negatif yang mungkin timbul, dan tentu saja potensi sengketa yang dapat terjadi karena memang kekalahan sengketa antara pihak pemerintah dan investor bukan lagu baru.
Seperti yang pernah diberitakan, pengadilan Cayman Islands akhirnya memutus bersalah PT Pertamina (Persero) dalam kasus gugatan pelanggaran kontrak yang dilayangkan Karaha Bodas Company, kontraktor pembangkit listrik tenaga panas bumi di Karaha. Alhasil, Pertamina wajib membayar klaim kepada Karaha Bodas Company sebesar USD315 juta.
Dana tersebut terdiri atas denda sesuai dengan putusan arbitrase internasional sebesar USD261 juta pada 2000 ditambah bunga sebesar USD44 juta. Tentu pil pahit seperti ini jangan sampai tertelan lagi. Karena itu, perlu jaring yang lebih rapat untuk menyaring para investor yang akan menanamkan investasinya di sini.
Berbagai motif dari hasrat untuk berinvestasi di sini harus kita lacak, berbagai orientasi dari itikad mereka harus kita petakan. Pertama, apakah investor tersebut hanya bernafsu untuk menguras secara tidak bertanggung jawab terhadap sumber daya alam kita? Kedua, apakah investor hanya bermotif menginjak-injak tenaga kerja kita yang murah? Ketiga, apakah motif mereka hanya menjadikan kita sebagai pasar bagi produk mereka?
Keempat, apakah integrasi pemasaran yang mereka lakukan semata-mata untuk menguasai pasar dunia sehingga mereka menjadi pemain tunggal pada pasar tersebut? Dengan membaca motif dari para investor, kita dapat menjadikan aliran dana yang masuk menjadi investasi yang berkualitas-yang dapat memberi kontribusi positif terhadap pembangunan ekonomi kita.
Motif-motif di atas harus benar-benar dihayati oleh kita semua, khususnya pemerintah pusat maupun daerah, agar kehadiran investor benar- benar memberi manfaat. Bukan sebaliknya, justru melahirkan bencana bagi perekonomian Indonesia di masa depan. (*)

Agus Suman,PhD
Pengajar Universitas Brawijaya
Alumnus Universite Pierre Mendes France, Grenoble

Akhir Laissez-Faire Keempat?

"... fundamentalisme pasar telah menjadi demikian kuatnya sehingga kekuatan politik mana pun yang berani menentangnya akan dicap sebagai sentimental, tidak logis, dan naif.... Pendek kata, apabila kekuatan pasar dibiarkan bebas secara penuh, meskipun di bidang murni ekonomi dan keuangan murni, maka kekuatan pasar ini akan menghasilkan kekacauan dan pada akhirnya menuju pada hancurnya tatanan kapitalisme global...." George Soros (1998). Miliuner George Soros mengatakan, krisis keuangan saat ini adalah yang terburuk sejak depresi besar tahun 1929. Krisis ini sedang menuju titik nadir. Soros mengatakan, akar krisis kekacauan di sektor keuangan, tertanam sejak dekade 1980-an. Saat itu, Ronald Reagen dan Margaret Thatcher mendamba laissez-faire, mazhab yang menjunjung pasar liberal atas dasar keyakinan bahwa pasar akan melakukan koreksi sendiri atas kesalahan (Bloomberg News, 3 April 2008) Dikatakan Soros, Reagen dan Thatcher juga melandaskan ekonomi pada pasar bebas yang disertai pinjaman, yang secara akumulatif menumpuk hingga sekarang.
Karena mazhab laissez-faire, gerak-gerik dan perilaku di pasar uang juga tidak diatur secara saksama. Terjadilah kekacauan alokasi dana, termasuk ke sektor perumahan Amerika Serikat (AS) dengan jumlah uang yang berlebihan hingga dana-dana itu terjerembab dalam kredit macet. Jika menilik keberadaan laissezfaire, mazhab ini sebenarnya berulang kali mengalami reinkarnasi. Setelah "the end of laissez-faireyang pertama", yaitu dengan munculnya Keynes sebagai reformis (1926), kemudian muncul kembali Bator, Baran, Dob, Lange, Singer, dan Robinson yang mengakhiri "laissez-faire kedua" (1957)."The end of laissez-faire ketiga" muncul kembali dengan hadirnya Kuttner (1991) dan tokoh-tokoh lain seperti Sen, Etzioni, Heilbroner, Thurow, dan Stiglitz (Swasono, 2005). Kini, seiring dengan sejumlah kegagalan neoliberalisme dalam menghadirkan sistem perekonomian dunia yang berkeadilan dan beradab, tampaknya mulai ada tanda-tanda "the end of laissez-faire keempat". Setelah teori mekanisme desain yang memikirkan bagaimana pemerintah mengelola kekayaan untuk memberi kemakmuran bagi rakyat telah mengantar Hurwicz, Maskin, dan Myerson meraih Nobel Ekonomi 2007, sejumlah pihak mulai merenungkan kebenaran dampak laissez-faire.

Laissez-Faire dan Indonesia Di Indonesia, laissez-faire masih menjadi kurikulum dunia ekonomi, baik di pemerintahan maupun akademisi. Laissez-faire dipandang sebagai sebuah keniscayaan yang harus dihadapi dengan keterbukaan. Sudah bisa dihitung dengan jari, mana saja aset-aset nasional yang masih dimiliki 100 persen oleh bangsa ini. Sisanya, sudah banyak didominasi kepemilikan asing dengan komposisi mayoritas. Bicara tentang laissez-faire di Indonesia, itu tidak lepas dari ekonom Indonesia seperti Sritua Arif, Mubyarto, HMT Opposunggu, dan Sri-Edi Swasono yang kerap dicemooh karena memperingatkan dampak buruk laissez faire. Ketika peringatan mereka dipandang sebelah mata agar mewaspadai laissez-faire secara teoretis maupun empiris, waktu tampaknya mulai berkompromi dan menunjukkan kebenaran peringatan tersebut. Kini, paradigma baru tampaknya mulai bersemi. Benih yang ditebarkan perlahan tumbuh dan menggugah hati ekonom-ekonom muda untuk mencari wujud ekonomi yang membawa kemakmuran kepada rakyat. Sayang, benih ini belum hadir di hati petinggi negeri ini. Harga kebutuhan pokok terus melonjak. Elpiji dan minyak tanah sama langkanya. Korban Lapindo masih bertebaran di sana-sini. Pedagang kali lima masih terseok-seok mencari tempat berjualan yang aman. Gizi-buruk masih mengancam anak-anak negeri. Liberalisasi terjadi di mana-mana. Jurang antara kaya dan miskin semakin dalam. Yang terjadi bukanlah penggusuran kemiskinan, melainkan penggusuran orang miskin. Antara Soros, Laissez-Faire, dan Indonesia Pandangan negatif yang selama ini melekat pada Soros sebagai biang keladi krisis moneter 1997/1998 mungkin sulit dihilangkan. Banyak yang meragukan pernyataan-pernyataan yang diberikannya. Namun demikian, bisa jadi pendapatnya tentang laissezfaire patut diperhatikan. Sebab, itu semua terwujud dalam realitas krisis yang terjadi di depan mata kita saat ini. Pengusung laissez-faire akhirnya termakan oleh senjatanya sendiri. Inilah sinyal-sinyal harapan "the end of laissez-faire keempat". Di Indonesia, sinyal-sinyal ini tampaknya belum jelas terlihat. Pemegang modal masih selalu dimenangkan. Demi keindahan kota, pedagang kecil digusur tanpa ada win-win solution. Bencana akibat pengeboran, alamlah yang disalahkan. Banyaknya tanah longsor dan banjir, perubahan iklim yang dituding. Harga-harga domestik kian tinggi, faktor eksternal yang selalu menjadi pemicunya.
Kapan kita mau menyadari bahwa kita juga punya peran untuk segala kekacauan ini? Semoga, Gubernur Bank Indonesia (BI) 2008-2013, calon Presiden Indonesia 2009-2014, dan seluruh jajaran petinggi pemerintahan di negeri ini, kelak semakin memiliki hati untuk berpihak pada rakyat kecil. Menerima laissez-fairesecara apa adanya berarti membenarkan pasar menggusur rakyat. Semoga sinyal harapan the end of laissez-faire keempat pun terjadi di Indonesia. (*)

Khairunnisa Musari
Mahasiswa S3 Ilmu Ekonomi Minat Studi Ekonomi Islam Unair
dan Peneliti Institute for Strategic Economics and Finance (Insef