Karena mazhab laissez-faire, gerak-gerik dan perilaku di pasar uang juga tidak diatur secara saksama. Terjadilah kekacauan aloka

Laissez-Faire dan Indonesia Di Indonesia, laissez-faire masih menjadi kurikulum dunia ekonomi, baik di pemerintahan maupun akademisi. Laissez-faire dipandang sebagai sebuah keniscayaan yang harus dihadapi dengan keterbukaan. Sudah bisa dihitung dengan jari, mana saja aset-aset nasional yang masih dimiliki 100 persen oleh bangsa ini. Sisanya, sudah banyak didominasi kepemilikan asing dengan komposisi mayoritas. Bicara tentang laissez-faire di Indonesia, itu tidak lepas dari ekonom Indonesia seperti Sritua Arif, Mubyarto, HMT Opposunggu, dan Sri-Edi Swasono yang kerap dicemooh karena memperingatkan dampak buruk laissez faire. Ketika peringatan mereka dipandang sebelah mata agar mewaspadai laissez-faire secara teoretis maupun empiris, waktu tampaknya mulai berkompromi dan menunjukkan kebenaran peringatan tersebut. Kini, paradigma baru tampaknya mulai bersemi. Benih yang ditebarkan perlahan tumbuh dan menggugah hati ekonom-ekonom muda untuk mencari wujud ekonomi yang membawa kemakmuran kepada rakyat. Sayang, benih ini belum hadir di hati petinggi negeri ini. Harga kebutuhan pokok terus melonjak. Elpiji dan minyak tanah sama langkanya. Korban Lapindo masih bertebaran di sana-sini. Pedagang kali lima masih terseok-seok mencari tempat berjualan yang aman. Gizi-buruk masih mengancam anak-anak negeri. Liberalisasi terjadi di mana-mana. Jurang antara kaya dan miskin semakin dalam. Yang terjadi bukanlah penggusuran kemiskinan, melainkan penggusuran orang miskin. Antara Soros, Laissez-Faire, dan Indonesia Pandangan negatif yang selama ini melekat pada Soros sebagai biang keladi krisis moneter 1997/1998 mungkin sulit dihilangkan. Banyak yang meragukan pernyataan-pernyataan yang diberikannya. Namun demikian, bisa jadi pendapatnya tentang laissezfaire patut diperhatikan. Sebab, itu semua terwujud dalam realitas krisis yang terjadi di depan mata kita saat ini. Pengusung laissez-faire akhirnya termakan oleh senjatanya sendiri. Inilah sinyal-sinyal harapan "the end of laissez-faire keempat". Di Indonesia, sinyal-sinyal ini tampaknya belum jelas terlihat. Pemegang modal masih selalu dimenangkan. Demi keindahan kota, pedagang kecil digusur tanpa ada win-win solution. Bencana akibat pengeboran, alamlah yang disalahkan. Banyaknya tanah longsor dan banjir, perubahan iklim yang dituding. Harga-harga domestik kian tinggi, faktor eksternal yang selalu menjadi pemicunya.
Kapan kita mau menyadari bahwa kita juga punya peran untuk segala kekacauan ini? Semoga, Gubernur Bank Indonesia (BI) 2008-2013, calon Presiden Indonesia 2009-2014, dan seluruh jajaran petinggi pemerintahan di negeri ini, kelak semakin memiliki hati untuk berpihak pada rakyat kecil. Menerima laissez-fairesecara apa adanya berarti membenarkan pasar menggusur rakyat. Semoga sinyal harapan the end of laissez-faire keempat pun terjadi di Indonesia. (*)
Khairunnisa Musari
Mahasiswa S3 Ilmu Ekonomi Minat Studi Ekonomi Islam Unair
dan Peneliti Institute for Strategic Economics and Finance (Insef
Tidak ada komentar:
Posting Komentar