Selasa, Februari 05, 2008

Inflasi, Daya Beli dan Ketergantungan

by noenx’s
RENDEVZOUS, kata ini seringkali menjadi sebuah padanan bagi sejarah yang terulang kembali dengan suasana yang sangat mirip. Bagi sebagian manusia, pastilah pernah merasakan kekagetannya tatkala menemui dan merasakan sebuah kejadian yang sebenarnya sudah terbayang dan seakan-akan sudah pernah terjadi tapi tepat terulang kembali dengan suasana yang sama.
Memang aneh si, tapi ya itulah alam pikiran manusia yang terkadang ada sesuatu yang tidak masuk akal harus benar-benar dimasukkan ke akal. Begitupun di sebuah “kehidupan” ekonomi. Nyaris setiap beberapa periode dipastikan ada sebuah kejadian yang sebenarnya sudah terjadi dan sering terjadi malah tapi kita tidak pernah mempedulikannya. Akibatnya tentu jadi fatal, karena kalau kasusnya di bidang perekonomian tentu eksesnya bakal menyeluruh ke kawasan lain yang notabene bakal berpengaruh terhadap kehidupan secara keseluruhan.
Nah, kini setelah mengalami kondisi krisis jilid II pada medio tahun 1998 lalu, dunia perekonomian Indonesia kembali diguncangkan dengan arah kondisi yang sama seperti yang pernah terjadi pada tahun krisis moneter tersebut. Beberapa indikator baik makro maupun mikro sempat memperlihatkan gejala yang sama, sebuah anomali yang membuat semua kalangan harus menahan nafas dan terus mendeteksi dan mengawasi pergerakan semua level dan indikator perekonomian mulai dari bursa saham sampai pada gejolak akibat tekanan politik.
Namun tetap saja ada beberapa hal yang tidak bisa diubah dan dicegah. Contoh nyata adalah apa yang terjadi di sektor sembako dana atau komoditas pangan dan bahan pangan. Sebagai sebuah negara agraris tentu sangat ironis setelah bergelar sebagai negara pengekspor dan mampu berswasembada beras pada medio 185, justru sektor itulah yang kini membuat Indonesia terengah-engah gak karuan untuk menutup itu semua.
Pelbagai tindakan preventif pun sudah diluncurkan pemerintah. Namun memang untuk susunan yang satu ini jelas kembali pada mekanisme pasar dan pasarlah yang menentukan itu semua. Akibatnya konsumen dan penjual harus saling kuat-kuatan pengaruh. Sayang konsumen biasanya menjadi pihak yang paling kalah dan menerima akibatnya:kenaikan harga sembako, bahan pangan dan pangan itu sendiri.ironis memang...
Kenaikan harga sejumlah komoditas pangan dan bahan pangan telah menjadi kekhawatiran masyarakat sejak awal 2008. Harga komoditas yang sangat dibutuhkan masyarakat telah melonjak tajam, jauh di atas rata-rata kenaikan harga tahun lalu. Bahkan ada yang dua kali lipat dibandingkan harga semula. Mengapa kondisi ini bisa terjadi, di mana letak kesalahan dalam pengaturan pangan nasional? Perubahan harga yang terjadi secara hiperbolis ini telah menggerus daya beli dan kemampuan masyarakat.
Sejumlah kiat dan strategi dilakukan pengusaha maupun masyarakat untuk menyiasati kenaikan harga. Pemerintah pun telah melakukan langkah yang termasuk lamban karena terkejut dengan fenomena harga yang dapat menjadi ukuran keberhasilan pengadaan pangan nasional.
Fenomena awal kenaikan harga tecermin dari melambungnya biaya produksi tempe dan tahu yang berbahan baku kedelai.Komoditas ini menjadi pembuktian betapa besarnya kenaikan harga pangan yang sangat diminati masyarakat. Naiknya harga kedelai lebih dari 200 persen menyebabkan tempe dan tahu menjadi sumber protein nabati yang mahal.
Padahal sebagai negara pertanian, produksi tempe dan tahu jelas sudah menjadi semacam rasa tersendiri. Tanpa “mereka” sepertinya lidah ini bakal kekurangan taste, tak ada sayur lodeh, tak ada sambal tempe, tak ada minuman tahu, tak ada “jangan kering” dan lain sebagaianya yang sudah menjadi bumbu biasa dalam makanan lauk.
Kenaikan harga yang diikuti kelangkaan tempe dan tahu tentu menjadi sebuah masalah tersendiri. Krisis kelaparan pun semakin meluas karena sudah terlebih dahulu dihajar kenaikan harga beras dan konsumsi lainnya. Peran pemerintah sebagai regulator dan penyeimbang ternyata tidak bisa berjalan lancar. Antisipasi nyaris tidak pernah dilakukan terutama soal jalur distribusi. Jika memang tertata rapi, tentunya sisi kelambatan bisa dicegah dengan baik dan mendapatkan prioritas tersendiri.
Rupanya kenaikan harga tidak cukup pada komoditas kedelai dan turunannya saja.
Komoditas lain pun naik beriring dengan harga kedelai, seperti terigu, minyak goreng, telur, minyak tanah di pengecer dan lain-lain. Tingkat kenaikannya pun beragam, mulai 50 persen hingga 100 persen. Bila melihat kenaikan harga ini, hal yang harus diperhatikan adalah sisi ketersediaan dan permintaan komoditas itu sendiri.
Hampir seluruh komoditas yang mengalami kenaikan sangat terkait dengan pasar internasional. Komoditas pangan yang mengalami guncangan harga sebagian besar berasal dari impor. Terdapat pula bahan pangan yang sebenarnya berasal dari dalam negeri, seperti minyak goreng, tetapi karena diminati pasar mancanegara menyebabkan harganya mengikuti pasar di luar negeri.
Melihat kondisi di atas, strategi yang dilakukan pemerintah adalah meredam kenaikan harga sehingga turun atau normal kembali. Tetapi upaya untuk meredam kenaikan harga itu lebih banyak berkutat pada instrumen fiskal semata, karena produk tersebut memang mengalami kenaikan harga di pasar dunia.
Mungkin hal itu lebih disebabkan pada kekurangsiapan pemerintah menghadapi sebuah kemungkinan yang tadinya tidak pernah terpikirkan secara nyata. Analisi sebagai orang awam pun bisa mengungkapkan jika di sisi ini pemerintah juga tidak tahu harus membuat pondasi dari mana. Entah karena ketiadaan “batu bata” atau memang karena tidak adanya “semen” berkualitas tinggi sehingga meskipun ada batu bata namun sistem perekatnya tidak terlalu dan mengakibatkan kebocoran dan kelemahan struktural. Jika struktural saja tidak mumpuni, tentu bisa dibayangkan bagaimna secara fungsional. Tentunya sebuah kabar gembira jika pada sisi ini bisa disebut “bernafas”.
Di lain sisi, pembebasan bea masuk sementara terhadap kedelai tidak berarti bila dibandingkan kenaikan harga komoditas itu sendiri. Situasi itu terjadi karena adanya kegagalan panen di sejumlah negara produsen sehingga mereka mengurangi ekspornya. Bila demikian, akankah masyarakat dibiarkan merana? Ancaman inflasi jelas akan terjadi di awal tahun ini. Satu-satunya kiat jitu dan sangat berat dilakukan adalah menyetarakan pendapatan masyarakat agar seimbang dengan kenaikan harga atau inflasi itu sendiri.
Strategi pamungkas ini harus dilaksanakan oleh pemerintah bila tidak ingin melihat membengkaknya angka kemiskinan yang berkisar 40 juta jiwa di negeri ini. Apalagi, kenaikan harga ini tertuju pada komoditas yang sebenarnya banyak dibutuhkan kelompok masyarakat menengah-bawah, seperti tempe dan tahu. Minyak tanah menjadi mahal karena langka. Harganya di tingkat eceran berkisar Rp6.000, jauh di atas HET subsidi pemerintah.
Namun di sisi lain juga harus ada hitung-hitungan logis berdasar analisis tentunya apakah rencana tersebut memang menjadi sesuatu yang ideal dilakukan saat ini. Tentu menjadi tidak bijak jika masyarakat dan konsumen terus dirugikan sementara si penjual, yang notabene juga masyarakat Indonesia, harus mengeruk keuntungan di tengah kesusahan orang lain. Atau jangan-jangan inilah yang tengah dicari beberapa kalangan tertentu dengan tingginya harga kedelai dan turunannya di pasar lokal Indonesia?jika memang iya, tentu sebuah kejahatan luar biasa dan hanya Yang Di Atas lah yang bisa membalasnya kelak.
Bila komoditas-komoditas penting ini menjadi eksklusif bagi mereka, tentunya sangatlah mengancam upaya menekan angka kemiskinan. Bahkan, yang akan terjadi adalah bertambahnya angka kemiskinan struktural karena batas garis kemiskinan akan bergeser ke atas, sedangkan tingkat pendapatan masyarakat akan mengalami kondisi stagnan karena minimnya stimulus yang diciptakan pemerintah.
Terjadinya kondisi panic price seperti ini tentu sangat berdampak dan merugikan masyarakat bawah. Bisa dibayangkan bila makanan seperti tempe yang telah menjadi substitusi sumber pangan lain menjadi mahal bagi masyarakat bawah. Bahan pangan apalagi yang akan menjadi substitusi tempe dan tahu yang selama ini dianggap murah oleh masyarakat?
Keprihatinan kemudian akan muncul karena kondisi ini akan memiliki efek ke belakang terhadap usaha kecil produsen tempe, tahu, dan produk turunannya. Menurunnya permintaan suatu komoditas akan berefek pada pengurangan produksi. Akhirnya yang terjadi adalah mengurangi produksi atau bahkan menutup usahanya. Walaupun usaha ini lebih banyak bersifat home industry, tetapi kuantitasnya sangat besar di negeri ini.
Melihat kondisi di atas, upaya jangka panjang yang dapat dilakukan adalah melepaskan ketergantungan nasional terhadap bahan pangan impor, seperti kedelai yang berjumlah sekitar 1,2 juta ton pada 2007. Intensifikasi dan ekstensifikasi terhadap kedelai mutlak dilakukan pada wilayah tertentu di Indonesia karena diketahui komoditas ini cocok dibudidayakan pada wilayah subtropis.
Gambaran tersebut sebenarnya memunculkan sebuah harapan strategis yang jika dikelola dan dikemas dengan baik tentu bakal menjadi nilai tambah tersendiri bagi Indonesia. Jangan sampai justru Nusantara yang kaya akan kualitas SDA ini hanya bisa melihat dan menangis tatkala isinya terus dipompa dan diperas.

Tidak ada komentar: