Senin, Februari 18, 2008

BI dan Buah Simalakama

courtesy YH
Dalam budaya Indonesia dikenal pepatah "bagai makan buah simalakama, dimakan ibu mati tak dimakan bapak mati". Buah ini hanya ada dalam peribahasa atau khayalan dan tidak ada dalam dunia nyata. Peribahasa ini menunjukkan keadaan yang serbasalah. Pepatah ini digunakan untuk menunjukkan orang yang sedang menghadapi dua pilihan yang sulit.
Apa pun yang dipilih akan menyebabkan akibat buruk. Inilah situasi yang sering kita hadapi dalam kehidupan sehari-hari. Tetapi tampaknya buah simalakama yang dihadapi Bank Indonesia (BI) sangat berat, karena konsekuensinya sangat berat, yaitu ditetapkannya Gubernur BI dan pejabat BI sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam kasus tindak pidana korupsi karena "aliran dana BI ke Dewan Perwakilan Rakyat dan penegak hukum".

Keadaan Melahirkan Buah Simalakama
Situasi buah simalakama ini tidak terlepas dari kualitas mental birokrasi, aparatur penegak hukum atau pejabat publik dan sistem birokrasi di Indonesia. Sebagaimana sudah diketahui, Transparency International yang menerbitkan perception corruptin index menilai lembaga penegak hukum dan parlemen sebagai lembaga yang belum bersih dari praktek korupsi.
Keadaan "mental bobrok dan sistem yang jelek" menimbulkan keadaan serbasalah, bagaikan memakan buah simalakama. Urusan akan selesai dengan baik kalau ada biaya yang dikeluarkan. Biaya ini adalah biaya tidak resmi yang kadang jumlahnya relatif besar. Beberapa tahun lalu, situasi "buah simalakama" ini dihadapi oleh Bank Indonesia (BI) ketika harus berurusan dengan DPR dalam rangka mengamankan beberapa kepentingan seperti perubahan UU Bank Indonesia.
Situasi serupa juga dihadapi BI ketika harus berurusan dengan kejaksaan dan pengadilan karena ada kebijakannya yang dipermasalahkan dan pejabatnya menjalani proses peradilan pidana. Masalahnya, kalau BI tidak mengeluarkan biaya, urusan tidak selesai atau tertunda di DPR. Untuk penegakan hukum, kalau biaya tidak dikeluarkan dapat dituntut berat, disalahkan, serta dihukum berat oleh pengadilan. Sebaliknya, kalau dikeluarkan biaya, pengeluaran biaya ini sulit dipertanggungjawabkan dan dapat dipersalahkan secara hukum. Dalam kasus "aliran dana BI", BI memilih mengeluarkan biaya untuk mempertahankan kepentingannya dan membantu pejabat atau pegawainya yang mengalami proses peradilan. Kasus inilah yang sedang diperiksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Mirip Kasus Tintin Surtini
Situasi bagai makan buah simalakama ini sering dihadapi semua orang, termasuk dihadapi oleh notaris bernama Tintin Surtini yang menjadi saksi kasus korupsi penjualan aset PT Sandang Nusantara Cipadung, Bandung, sekitar dua tahun silam. Tintin yang menangani penjualan aset PT Industri Sandang menjadi korban pemerasan karena diminta oleh penyidik KPK Suparman untuk menyediakan uang sekitar empat ratus juta rupiah, beberapa handphone, dan lain-lain.
Aksi sang penyidik terbongkar atas kerja sama notaris Tintin dengan KPK. Akhirnya, sang penyidik dihukum delapan tahun penjara serta denda 200 juta rupiah atau hukuman pengganti enam bulan penjara oleh Mahkamah Agung (MA). Posisi yang dihadapi BI mirip dengan yang dihadapi Tintin, yaitu sebagai korban yang diminta menyediakan uang. Hanya saja, Tintin melaporkan kasus permintaan uang yang dialami, sedangkan BI tidak melaporkannya.
Kasus BI justru dilaporkan oleh Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Anwar Nasution yang berkirim surat kepada KPK. Melihat kemiripan kasus Tintin dengan kasus aliran dana BI, apakah KPK tidak sebaiknya juga menghadapi kasus aliran dana BI dengan sikap yang sama ketika menyelesaikan kasus Titin?
Kekuasaan dan Keadilan
Beberapa waktu lalu, terpidana ECW Neloe, mantan Direktur Utama Bank Mandiri, dalam acara Kick Andy di Metro-TV membuat pernyataan menarik. Dia berujar, "Orang yang tertangkap adalah orang yang tidak punya kekuatan". Bahkan pernyataan lain menyebutkan, "Yang tidak tertangkap sebenarnya lebih banyak dari yang tertangkap". Pernyataan ECW Neloe itu sangat relevan dengan kasus aliran dana BI yang tengah disidik KPK.
Menurut pendapat banyak orang, dalam kasus aliran dana BI masih banyak orang yang seharusnya menjadi tersangka, tetapi belum menjadi tersangka. Mungkin mereka punya kekuasaan atau dekat dengan kekuasaan atau karena alat bukti yang masih kurang. Kalau yang menjadi tersangka hanya orang yang berasal dari BI, hal ini sungguh bertolak belakang dengan hasil survei Transparency International di atas. Penulis yakin KPK akan bergerak ke arah sana karena itulah sikap yang adil dan benar. Dengan alat bukti berdasarkan UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang lebih banyak dan lebih luas dibandingkan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, peralatan canggih, integritas yang baik dan kompetensi yang memadai, penulis yakin KPK dapat menyelesaikan kasus ini dengan adil dan sebaik-baiknya.
Mencegah Korban Berikutnya
Keadaan bagai "makan buah simalakama" mungkin sekali akan memakan korban berikutnya. Prof Robert Klitgaard seorang guru besar sekaligus alumnus Harvard University dalam ceramahnya di Denpasar di sela-sela United Nations Convention against Corruption baru-baru ini menekankan perlunya mengarahkan pemberantasan korupsi pada perbaikan system tanpa mengabaikan "frying big fish", yaitu menindak korupsi yang besar.
Untuk memperbaiki sistem, dalam bukunya yang sudah diterjemahkan, Membasmi Korupsi(2001), Klitgaard menyarankan untuk memperbaiki sistem penerimaan pegawai, mengubah sistem stick and carrot (imbalan dan hukuman), mengubah struktur hubungan atasan dan bawahan, serta hubungan dengan klien, mengubah sikap terhadap korupsi (korupsi itu salah), serta selalu mengumpulkan dan menganalisis informasi tentang korupsi untuk penindakan. Karena itu, untuk mencegah terulangnya kasus korupsi yang dapat memakan banyak korban yang tidak perlu, kebijakan pencegahan korupsi harus lebih digiatkan, tanpa mengabaikan upaya penegakan yang konsisten dan adil terhadap greedy corruption (korupsi karena kerakusan).

Dr Yunus Husein
Ketua PPATK

Tidak ada komentar: