Minggu, Februari 10, 2008

Euforia Sriwijaya, Keprihatinan Sepakbola Indonesia

by noenx's
BERMAIN sepi tanpa penonton. Akhir yang sangat-sangat menyesakkan bagi kedua tim, pasalnya bukan rahasia lagi jika bermain tanpa ada teriakan dan celotehan penonton tentu menjadikan sayur di lapangan terasa kurang garam.
Tapi sudahlah, itu kan hanya hasil regulasi PSSI yang sepertinya tidak pernah belajar dari apa yang terjadi sebelumnya. Sebuah kesalahan yang terus menerus dilakukan dan berulangkali dihalalkan kalangan otorita sepakbola nasional yang sepertinya sudah mulai “gendeng”.
Yang jelas, nasi sudah menjadi bubur. Dan bubur kenikmatan itu sudah direguk secara manis oleh kubu Wong Kito Galo, Sriwijaya FC Palembang. Hasil yang tentunya di sisi lain bakal semakin meningkatkan promosi hebat Visit Musi 2008, bahkan sepertinya Visit Indonesia Year 2008 kalah jauh genderangnya di luar negeri dari apa yang dibuat pemerintah kota Palembang dan provinsi Sumsel itu.
Di luar itu, harus diakui jika secara analisis teknik, permainan sepakbola dalam Liga Djarum Indonesia sepertinya masih kalah jauh dibandingkan apa yang dipraktikkan di level Copa Dji Sam Soe. PSSI pun harus jujur dan mengakui “kekalahan” dari pengelolaan swasta tersebut. Entah dari sisi organisasi turnamen sampai kualitas SDM pendukung, level Copa justru lebih bergensi daripada Liga. Juara Liga hanya berkapasitas sebagai yang terbaik di Indonesia, namun the real best in Indonesia justru keluar dari tiap laga Copa Dji Sam Soe/ Memang tidak ada yang sempurna, karena dalam Copa juga terjadi kerusuhan antarsuporter, namun paling tidak sisi ideal dalam penjadwalan turnamen membuat tim-tim mampu bermain maksimal dengan gairah yang luar biasa.
Sudahlah, nasi sudah menjadi bubur lagi. Sriwijaya telah menorehkan sejarah menjadi double winner di tahun 2008 ini, juara Liga Djarum Indonesia dan jawara Copa Dji Sam Soe 2007. Selamat tentunya untuk pasukan Rahmad Darmawan, dan ini seharusnya menjadi kredit tersendiri bagi seorang Rahmad. Di sisi lain, Benny Dollo harusnya malu jika sudah duduk di kursi pelatih timnas karena hanya menang secara “politis”, tapi pada akhirnya tidak mampu memberi gelar apapun , minimal juara SEA Games-lah.
Ya sudahlah, nasi sudah menjadi bubur. Namun sebelum menjadi bubur, sepertinya di balik hingar bingar kompetisi di Indonesia, justru rasa sedih dan keprihatinan mendalam, kalau tidak boleh dibilang sebagai bencana, menyeruak dari dalam diri.
Bagaimana tidak, level Liga Djarum Indonesia secara teknik mungkin terus naik, namun tidak bagi penerapan emosional dan psikis para pelaku sepakbola itu sendiri. Pelbagai kerusuhan antarsuporter, pemukulan wasit dan asisten wasit, pengrusakan stadion dan perkelahian pemain di dalam lapangan, menjadi bumbu ytak sedap dalam praktik persepakbolaan nasional di kompetisi 2007/2008 ini.
Di level timnas, pengaruh tersebut hanya berlaku sebentar tatkala Indonesia menjadi tuan rumah ajang Piala Asia 2007. Selebihnya penampilan tim Garuda selalu melempem, tanpa determinasi tinggi, mungkin akibat tak adanya uang tampil alias fee, dan sangat memalukan tanpa embel-embel bergengsi:juara.
Di level domestik lebih parah lagi. Bisa dilihat dari sang juara Liga Sriwijaya FC Palembang. Bagaimana mungkin bisa mendidik dan mengatrol pemain lokal jika lima pemain inti, dan itu ada di bagian penyerangan, berasal dari luar Indonesia alias pemain asing.
Cristian Lenglolo, Keith Kayamba Gumbs, Wijay, Obiora bahkan Carlos Renato Elias menjadi kekuatan inti Sriwijaya sepanjang musim ini. Lalu dimana pemain lokalnya?nyaris tidak ada pemain asli Palembang!miris bukan?
Lawannya, PSMS Medan setali tiga uang. Meski memiliki pemain lokal sekaliber Saktiawan Sinaga, Rommy Diaz Putara sampai Markus Horizon, namun tetap saja pesona teknik dan visi James Koko, Gustavo Chena dan Fermento menjadi palang tangguh keseimbangan permainan anak-anak Medan sepanjang musim ini.
Di level semua klub di Indonesia, bahkan sampai ke tingkat Divisi II, label pemain asing tetap menjadi ikon dan jaminan sukses tersendiri. Akibatnya juga terjadi kecemburuan sosial yang teramat tinggi. Bayangkan ada pemain lokal yang hanya dibayar Rp3 juta per bulan, sedangkan pemain asing ada yang memiliki kontrak Rp2 miliar per tahun. Sungguh sebuah ironis tersendiri, sebuah modal yang entah kapan menjadi titik balik persepakbolaan tanah air.
Quovadis pemain asing pun semakin sahih tatkala kita melihat jajaran pencetak gol yang ada di Liga Djarum Indonesia musim ini. Dari deretan pencetak gol terbanyak hingga gelontoran pencetak 14 gol, hanya ada nama Bambang Pamungkas yang menyeruak di antara serbuan para pemain asing.. Praktis semuanya dikuasai Cristian Gonzales, Julio Lopez, Beto, James Koko, Osvaldo Moreno, Edgar Anazco, Marcio Souza, Greg Nokolo sampai Claudio Pronetto.
Melihat tampilan statistik seperti itu, kemana sebenarnya pemain Indonesia lainnya?Di manakah letak Kurniawan Dwi Yulianto, Budi Sudarsono, Rahmat Rivai, Saktiawan Sinaga sampai striker berkelas Aliyudin?sepertinya mereka lupa untuk membikin gol atau bahkan sibuk untuk melayani gaya permainan ala pemain asing?
Sebuah masalah besar tengah menghadang dunia persepakbolaan di Indonesia. Muara dari liga berupa terbentuknya timnas yang tangguh seperti masih jauh panggang dari api. Boro-boro merasakan matangnya, panasnya saja nyaris tidak tersentuh. Sebuah ironis di tengah euforia sang juara Sriwijaya. Semoga otoritas persepakbolaan Indonesia bisa lebih memandang tajam. (foto:www.google.com



Tidak ada komentar: