Rabu, Februari 20, 2008

Revisi Target Ekonomi, Sisi Kebodohan atau Sebuah Imajinasi?

courtesy AEY
Kenapa si pemerintah selalu bersikap inkonsistensi, heran deh, banyak profesor, praktisi, analis bermodal program software komputer yang demikian yahud dan update, sampai pada banyaknya biaya untuk menyelesaikan sebuah penelitian ekonomi. Namun kok ya hasilnya selalu seperti itu, berubah terus setiap waktu, bikin pusing kolega saja.
Itulah satu di antara keluhan yang disampaikan seorang teman tentang kondisi sikap pemerintah tentang pengambilan kebijakan dan keputusan di sektor ekonomi. Bukan hanya sekali saja pemerintah melakukan ini, namun itu tidak membuat jera kalangan esekutif dan tetap tidak mau disalahkan dengan kondisi rakyat yang semakin sengsara.
Setelah percaya diri dengan target dan asumsi yang dibuat dalam RAPBN 2008, pemerintah akhirnya merevisi target ekonomi 2008. Target pertumbuhan ekonomi diturunkan dari semula 6,8% menjadi 6,4%. Perubahan ini juga terjadi pada inflasi yang diubah menjadi 6,5% (semula 6,0%), nilai tukar rupiah dari Rp9.100 menjadi Rp9.150 per dolar Amerika Serikat (AS), dan suku bunga Sertifikat Bank Indonesia (SBI) tetap pada angka 7,5%. Berikutnya, harga minyak dipatok menjadi USD83 per barel (semula USD60 per barel) dan produksi minyak diturunkan dari 1,034 juta barel per hari menjadi 910.000 barel per hari.
Perubahan yang signifikan juga terjadi pada pendapatan negara yang dinaikkan dari Rp781,4 triliun menjadi Rp839 triliun. Selanjutnya, belanja negara juga meningkat dari Rp854,6 triliun menjadi Rp926 triliun sehingga defisit APBN menjadi 2% alias Rp87 triliun dari semula Rp73,3 triliun (SINDO, 16/2). Kira-kira dampak ekonomi apa yang bakal terjadi seiring revisi asumsi dan target ekonomi tersebut?
Pertautan Ekonomi
Revisi target ekonomi yang dibuat pemerintah tampaknya diiringi kesadaran adanya pertautan yang kuat antara ekonomi domestik dengan perekonomian internasional, khususnya AS. Implikasinya, apabila ekonomi AS yang diramalkan pada 2008 ini mengalami resesi, perekonomian Indonesia juga akan terkena imbas (recoupling).
Pertautan ekonomi domestik dengan perekonomian AS ini sekurangnya dapat dijelaskan dari dua jalur. Pertama, jalur perdagangan internasional. Pasar AS saat ini menyumbang sekitar 10% total ekspor Indonesia. Apabila perekonomian AS lesu, berarti akan mengurangi jumlah ekspor Indonesia. Kedua, jalur penanaman modal asing (PMA). Walaupun tidak sebesar Jepang, sumbangan PMA dari AS terhadap ekonomi nasional cukup signifikan sehingga setiap pengurangan investasi asing (AS) akan mengurangi pertumbuhan ekonomi. Jadi, lewat dua jalur itulah resesi ekonomi AS akan berdampak terhadap ekonomi nasional.
Asumsi dan target baru yang dibuat oleh pemerintah tampaknya sebagian masih terlalu optimis, meskipun sudah jauh lebih realistis dibandingkan target terdahulu. Pertumbuhan ekonomi pada 2008 paling bagus yang akan dicapai pemerintah berada di kisaran 6,3%, bukan 6,4% seperti yang ditargetkan pemerintah. Potensi inflasinya akan mencapai angka 6,7-6,8% karena harga minyak internasional yang sulit turun dan krisis pangan yang sampai sekarang tidak sanggup ditangani pemerintah.
Adapun asumsi harga minyak sebesar USD83 per barel cukup realistis, tetapi pekerjaan rumah pemerintah adalah bagaimana caranya bisa memproduksi minyak sebesar 910.000 barel per hari. Diprediksi, pemerintah masih sulit untuk mencapai produksi tersebut mengingat beberapa kilang minyak justru mengalami penurunan, sementara kilang baru, semacam Blok Cepu, mengalami keterlambatan peningkatan produksi. Jelas ini tantangan yang tidak mudah diselesaikan pemerintah.
Penghematan dan Subsidi
Persoalan lain yang sangat krusial adalah pembengkakan defisit fiskal yang diprediksi menembus angka 2% (Rp87 triliun). Angka ini bahkan berpotensi lebih besar lagi apabila terjadi hal-hal yang luar biasa (force majeur), seperti kenaikan harga BBM di atas USD100 per barel dan bencana alam.
Pemerintah telah mengambil kebijakan penghematan untuk mencegah pendarahan fiskal tersebut, yakni dengan jalan memotong dana lembaga/ kementerian sebesar 15%. Hanya, cara ini bukannya tanpa risiko. Pemotongan anggaran belanja modal lembaga/ kementerian dipastikan akan mengurangi daya dukung belanja pemerintah (government expenditure) sebagai sumber pertumbuhan ekonomi. Jadi, di sini terdapat trade-off antara penghematan dan pertumbuhan ekonomi.
Jika penghematan yang dipilih, potensi pertumbuhan ekonomi berkurang. Sebaliknya, jika defisit fiskal dibiarkan membesar, terdapat ruang untuk mencapai pertumbuhan ekonomi, meskipun ada risiko lain. Dalam situasi yang serba dilematis tersebut, sebetulnya pemerintah tidak boleh lagi berpikir text book. Di sini, yang dibutuhkan adalah keberanian untuk mengambil kebijakan yang kurang populer dan penentuan skala prioritas. Pertama, pemerintah harus berani mengambil langkah menaikkan harga BBM seperti pada 2005, tentu dengan tetap memberikan subsidi terhadap minyak tanah.
Adapun sektor industri yang terkena dampaknya diberi kompensasi keringanan pajak (tax holiday), khususnya yang berorientasi ekspor. Kebijakan pembatasan konsumsi BBM (smart card) yang akan ditempuh pemerintah, cenderung "banci" dan sulit untuk mengontrolnya. Kedua, dana penghematan subsidi dialokasikan untuk menggenjot pembangunan sektor pertanian sebagai jalan untuk menciptakan lapangan kerja, mengurangi kemiskinan, dan mengatasi krisis pangan.
Langkah ini jauh lebih memiliki kerangka kepastian ketimbang kebijakan yang diambil saat ini. Skala prioritas untuk memilih pembangunan sektor pertanian sebagai jalan keluar atas persoalan yang mengimpit perekonomian ini bukan tanpa alasan. Elastisitas penyerapan tenaga kerja di sektor pertanian lebih besar dibandingkan sektor lain (industri/jasa), sehingga setiap investasi di sektor pertanian akan diiringi dengan penyerapan tenaga kerja yang besar.
Implikasinya, persoalan pengangguran segera lekas diatasi. Berikutnya, investasi di sektor pertanian lebih murah sekaligus memberi daya dukung terhadap kedaulatan pangan. Akhirnya, produksi sektor pertanian yang meningkat akan memberi insentif bagi sektor industri (yang berbasis komoditas sektor pertanian/ agroindustri) berkembang sehingga dapat mengisi ceruk pasar internasional yang terbentang luas. Jadi, di tengah desakan ekonomi eksternal yang kurang bagus, sebetulnya masih tersedia ruang bagi ekonomi domestik bernapas, asalkan pemerintah jeli dan berani mengambil alternatif-alternatif kebijakan.
Itu baru sisi kecil saja. Entah apalagi nanti yang akan dilakukan pemerintah di tenga kondisi yang tidak menentu seperti saat ini. Tentu sangat riskan jika sikap pemerintah saja tidak pernah stabil, bisa jadi perekonomian negara ini bakal anjlok drastis di level mikro maupun makro dalam rentang enam bulan ke depan. (*)

Tidak ada komentar: