Senin, Februari 25, 2008

Di Balik Potret Buruh kota Bandar Madani (2-habis)

by noenx's
Menjual Tenaga tak Cukup, ya (Terpaksa) Menjual Diri
ALUNAN lirik dan lagu slow Kasih tak Sampai milik superband PADI terdengar lirih. Sayup terdengar suara Fadly mengumandangkan Tetaplah menjadi bintang di langit, Agar cinta kita akan abadi, Biarlah sinarmu tetap menyinari alam ini, Agar menjadi saksi cinta kita, Berdua...
Bagi Anik (bukan nama sebenarnya), lagu yang sangat populer di awal tahun 2000 itu tetap menjadi lagu favorit dan kenangan sepanjang masa. Tak heran meski ia kini berada jauh dari kampung halamannya, Wonosobo, ia tetap membawa kaset yang warnanya sudah mulai pudar itu. Yup, itulah kenangan terakhir yang terasa manis sekaligus pahit buatnya, sebuah pengalaman yang membuatnya nekad untuk terbang jauh, merantau dan menghilangkan rasa frustasinya di kota industri ini, meski ia sadar dirinya tak mempunyai skill mumpuni. Boro-boro belajar mesin atau kursus, hiruk pikuk SMA saja hanya dilakoninya dua tahun.
Akibat kebablasan dalam menjalin hubungan cinta, sebagai wanita iapun merasakan akibat yang sangat mendera hati. Hamil, aborsi dan keputusan untuk melangkahkan kakinya ke Batam akhirnya disetujuinya. Tak berapa lama, sampailah ia ke Batam dibawa oleh seorang “agen” tenaga kerja.
Berbekal wajah cantik, bodi semlohay dan proporsi yang sangat menarik kaum Adam, membuat Anik tidak susah mencari pekerjaan di sebuah kawasan industri besar di Batam. Namun jangan salah, bukan karena ketrampilannya merakit bahan-bahan produksi, namun kesediaannya untuk bekerja “luar dalam” yang membuatnya bisa diterima di sebuah pabrikan cukup besar di kota industri itu.
Sejak saat itu, ia pun kerja “dobel”. Sekali waktu jadi buruh beneran di pabrik, namun lebih banyak waktu lainnya yang menjadikannya budak nafsu. Sebuah pekerjaan yang berawal dari kesedihan dan kebingungan akan nasib masa depannya.
Sekelumit retorika Anik memang bukan hal baru di Batam. Apalagi ada sebuah perusahaan elektronik yang memang menyediakan secara khusus wanita panggilan dari pelbagai kawasan di Indonesia, dengan harga khusus tentunya, yang siap melayani nafsu bejat lelaki hidung belang. Biasanya mereka berada di posisi “bayang-bayang”, maksudnya tetap tercantum menjadi buruh di pabrik itu namun berada di tempat spesial, tidak perlu kerja keras karena memang penghasilan mereka dalam kontrak perjanjian kerja berasal dari layanan kepada setiap lelaki hidung belang. Ironis memang. Lebih gila lagi, sang koordinator biasanya adalah orang penting yang ada di lingkup dalam perusahaan tersebut.
Sekedar informasi, biasanya “buruh-buruh” ini berasal dari daerah dengan kualitas kecantikan yang sudah termasyhur seperti Menado, Jawa Barat, Lahat, Nanggroe Aceh Darussalam, Jawa Tengah dan beberapa kawasan di Pontianak. Kelas mereka pun dibedakan berdasar panggilan seperti nona, bunda, mbak sampai panggilan khusus amoy. Yang terakhir digunakan sebagai panggilan umumnya untuk kalangan “buruh” yang berasal dari Pontianak.
Di luar cara sistematis itu, nasib buruh, terutama yang berjenis wanita, yang semakin terdesak kebutuhan ekonomi membuat mereka harus berpikir keras mencari tambahan lain. Sialnya, nilai Over Time (OT) terkadang tidak sesuai dengan keinginan mereka. Di samping tentu mempunyai alasan lain seperti kesepian misalnya.
Namun sebagian besar tetap berlatar pada income yang tidak memadai untuk membayar kos, biaya transportasi, beli pulsa, berkomunikasi dengan keluarga, pemenuhan kebutuhan mandi dan makan serta kebutuhan tak terduga. Hanya dengan Rp1,2 juta tentu tidaklah cukup, pun dengan Rp1,5 juta hasil dari uang lembur, juga tidak tentu bisa memuaskan keinginan.
Sedangkan di sisi lain, buruh kini benar-benar menjadi sebuah sumber eksploitasi bagi hampir semua pengusaha di sana. Memang tidak semuanya diperlakukan seperti itu, namun aksi pemerasan tenaga dengan mengesampingkan reward kerap menjadi hal di depan mata. Pemerintah pun seolah tak berdaya. Meski ada tuntunan nilai standar Upah Minimu Kota (UMK), tetap saja semuanya beralih pada pengusaha. Tak ada kekuatan hukum apalagi pembelaan hukum. Yang ada hanya usaha mereka saja, melalui serikat buruh, yang ironisnya terkadang juga ditunggangi beberapa oknum untuk menjatuhkan lawannya. Sungguh sedih, melihat perjuangan para buruh justru digunakan sebagai isu politik. Sekali lagi, sangat ironis.
Pertumbuhan serikat buruh di Indonesia, juga di kawasan Batam, ternyata tidak berkorelasi secara positif pada posisi tawar dari serikat buruh. Pertumbuhan dan fragmentasi ini nampaknya malah berkorelasi secara positif dengan melemahnya posisi tawar dari serikat buruh.
Sebuah sumber mengungkapkan, pada umumnya, konsentrasi serikat-serikat buruh di Indonesia tidak menyentuh isu-isu krusial yang mempunyai kaitan erat dengan isu ketenagakerjaan. Dari sini sebetulnya serikat-serikat buruh dituntut untuk dapat melakukan advokasi atau menyusun proposal tentang reformasi perburuhan yang berkaitan dengan isu reformasi pendidikan, birokrasi, hukum, dan investasi. Serikat buruh juga dituntut untuk melakukan kerjasama dengan asosiasi pengusaha dalam rangka kegiatan pemberantasan korupsi.
Tak heran jika buruh seperti Anik Anik saling bermunculan. Mereka harus merelakan kehormatan mereka demi memenuhi kebutuhan. Bahkan mereka tak tahu lagi sampai kapan bisa begitu. Tak sempat terlintas bagaimana seandainya penyakit mematikan mendera tubuh mereka dan ketuaan menerjang kemampuan mereka untuk bersaing. Masih banyak cerita yang tak bisa dipadukan, namun realitas jelas menjadi bukti sebuah cermin buruh di sebuah kawasan industri ternyata tidak semakmur yang dibayangkan orang luar. Satu kata memang; ironi. (persda network/nurfahmi)

Tidak ada komentar: