Rabu, Februari 20, 2008

Mencari Figur Ideal Gubernur BI, Ribet atau Dibuat Rumit?

by noenx's
SUNGGUH menyesakkan melihat polah tingkah pemerintah beberapa hari terakhir ini. Tidak hanya di level politik, di langkah ekonomi juga terlihat jika inkonsistensi masih terus berjalan. Bahkan tak segan jajaran eksekutif negeri ini mengungkapkan sebuah kondisi yang sangat kritis dan semakin membuat ruwet. Tapi di satu sisi memang entah sengaja dibuat atau memang hanya untuk meramaikan bursa berita di kalangan kuli tinta saja, kini penunjukkan dan pemilihan bakal Gubernur Bank Indonesia menjadi isu utama yang menjadi komoditas tersendiri.
Bagaimana tidak menjadi komoditas, posisi tertinggi di jajaran perbankan nasional dan bank sentral menjadi "tujuan" para ahli ekonomi, bankir, pengusaha dan praktisi hukum ekonomi. Posisinya jelas sangat strategis sebagai "penguasa" penuh kondisi pasar mikro maupun makro. Satu keputusan, seperti halnya presiden, bakal berpengaruh terhadap kondisi pasar regional. Mata uang kita pun menjadi jaminan pergerakan utama di segi kebijakan dan keputusan. Salah melangkah, bakal memburamkan iklim ekonomi, namun sebaliknya, kestabilan dan peningkatan kinerja perekonomian bakal membawa pimpinan BI ke titik mengharumkan. Intinya, inilah saat yang tepat untuk menunjukkan eksistensi diri.
Nah kini tidak berlebihan jika banyak kalangan menyebut Burhanuddin Abdullah, Gubernur Bank Indonesia (BI) yang sebentar lagi berakhir masa jabatannya,sebagai ekonom dengan orientasi nasionalisme ekonomi yang kuat.
Tidak jarang muncul pemikiran segar dari tokoh yang juga menjabat Ketua Umum Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI) ini. Ketika banyak orang menyebut krisis ekonomi telah berlalu, Burhanuddin mengatakan sebaliknya karena selama sektor riil belum bergerak, BI masih menanggung biaya besar dalam bentuk pembayaran bunga untuk dana-dana antara independensi BI dengan tanggung jawab dan akuntabilitas publik yang transparan juga berusaha dilakukan secara serius.
Kritik memang tetap saja ada. Bagi sejumlah kalangan, BI dianggap seperti tak mau tahu terhadap kecenderungan dominasi kepemilikan asing di sektor perbankan, yang dikhawatirkan berbahaya jika tidak segera dikoreksi. Kritik paling santer tentu saja terkait dengan begitu besarnya kepentingan BI dalam mengamankan pasal-pasal penting yang terkait dengan hak pengawasan terhadap sektor jasa keuangan. yang menumpuk pada Sertifikat Bank Indonesia (SBI).
Bila krisis 1997/1998 disadari semua orang, krisis belum bergeraknya sektor riil secara normal lebih berbahaya karena tidak banyak orang yang menyadarinya. Dalam beberapa kesempatan Burhanuddin juga menyampaikan penilaian tentang pertumbuhan ekonomi yang tidak disertai dengan peningkatan kualitas di dalam mengurangi tingkat pengangguran dan kemiskinan.
Juga tentang terjadinya fenomena trickleup economy (penghisapan ke atas) dan a race to the bottom (perlombaan menuju keterpurukan) dalam pembangunan nasional. Kendati wilayah kerjanya berada di sektor moneter, pandangan-pandangan Burhanuddin terlihat condong ke pendekatan struktural. Harus diakui, Burhanuddin cukup berhasil mengawal Bank Indonesia dalam mencapai tujuannya, yaitu mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah (Pasal 7 UU No 3/2004).
Selama masa jabatannya, sejumlah indikator moneter seperti tingkat inflasi, laju kredit, dan nilai tukar juga terjaga baik. Upaya penerapan keseimbangan Sebagaimana kita ketahui, lembaga pengawasan sektor jasa keuangan yang semula diharapkan dilaksanakan selambat-lambatnya 31 Desember 2002 (Pasal 34 UU No 23/1999) telah digeser menjadi 31 Desember 2010 (Pasal 34 UU No 3/2004).
Tantangan ke depan yang dihadapi BI akan semakin berat. Dalam konteks internasional, upaya menegaskan arti penting kebutuhan arsitektur keuangan global yang baru, yang lebih adil dalam mengakomodasi kepentingan negara-negara sedang berkembang, harus ikut disuarakan Indonesia. Lingkungan ekonomi dunia juga diduga lebih bergejolak karena tarik-menarik antarberbagai kekuatan ekonomi, khususnya kekuatan-kekuatan Amerika Serikat, Eropa, Jepang, dan pendatang baru BRIC (Brasil, Rusia, India, dan China), akan semakin kentara.
Perebutan akses terhadap sumber-sumber energi dan persediaan pangan antarnegara juga semakin seru. Dalam konteks nasional, upaya untuk menggenjot sektor riil tetap menjadi prioritas. Arsitektur keuangan Indonesia lebih didominasi peran lembaga perbankan. Karena itu, fungsi intermediasi perbankan harus dapat dijalankan secara maksimal. Penguatan struktur industri perbankan juga harus terus dilakukan agar efisiensi perbankan nasional semakin tinggi mengingat sampai sekarang margin bunga bersih (nett-interest margin) perbankan pada 2007 mencapai 5,7 persen.
Ini merupakan yang tertinggi di dunia. Selain itu, ancaman over-supply kredit sektor properti komersial juga harus diantisipasi lebih dini. Seyogianya, perdebatan soal figur calon Gubernur BI dilakukan setelah diperoleh pemahaman yang jelas terhadap tantangan tugas ke depan, artikulasi kepentingan Indonesia dalam konteks regional dan internasional serta kriteria kompetensi calon yang diharapkan. Kalau tidak, kita akan repot karena siapa pun calon yang diajukan pasti memiliki kekurangan.
Suara yang menyatakan calon bersangkutan tepat akan sama kuat dengan suara yang menyatakan calon tersebut kurang memadai. Jabatan Gubernur BI adalah jabatan yang bergengsi, yang dalam pergaulan antarbangsa atau dalam forum internasional mencerminkan national standing kita sebagai kekuatan ekonomi baru. Gubernur BI adalah figur yang mampu menerjemahkan national interest (kepentingan nasional) di tengah-tengah arsitektur keuangan global yang sedang mencari bentuk baru.
Terlalu mahal apabila untuk jabatan lembaga negara sepenting jabatan Gubernur BI kita tak mampu duduk bersama mengembangkan politik kebangsaan. Ini bukan tarik-menarik kepentingan antarpartai, melainkan sebuah pertaruhan dalam upaya persiapan bersama menjadi sebuah bangsa yang besar di masa depan. (*) (foto. www.google.com)

Tidak ada komentar: