Sabtu, Februari 02, 2008

Miskin Masyarakat vs Masyarakat Miskin

by noenx’s
PERNAH dengar atau membaca kisah Miyamoto Musashi?kalau belum, sepertinya masyarakat dan pemerintah Indonesia harus belajar filosofis yang terkandung di dalam pria yang terkenal dengan sebutan The Lone Samurai. Yup, pria ini adalah generasi terakhir dari aliran agung di Jepang sebagai master pedang, pencari kesempurnaan spiritual dan penulis Kitab Lima Lingkaran yang sangat termasyhur.
Mungkin saat naif ketika harus membandingkan tingkat kehidupan zaman dulu dengan saat ini, apalagi dengan karakter bangsa yang berbeda. Namun justru itulah bangsa ini dilatih untuk fair, fight dan mampu memiliki kekuatan untuk flight setelah menemukan jati dirinya, sesuatu yang juga dicari seorang Miyamoto Musashi.
Lalu apa sebenarnya relevansi yang ada. Bukan bermaksud menggurui, namun apa yang terkandung dalam tokoh tersebut adalah sebuah kemandirian untuk menentang jaman, tidak frontal dan radikal namun mampu menemukan solusi yang tepat guna meraih sesuatu yang diinginkannya.
Transformasi ke level bangsa, arah kontinyuitas perubahan tentu sangat jelas yakni menuju ke sebuah kedamaian dengan lingkup kesejahteraan. Meski terkesan bombastis, namun tetap saja kemiskinan dan kemelaratan jelas menjadi pangkal tidak stabilnya sebuah negara atau negeri. Selalu saja ada pihak yang merasa dirugikan, terpinggirkan, tidak dianggap dan dianaktirikan, bahkan ada yang beranggapan dibunuh pelan-pelan. Jika seperti itu semua, tentu sangat kacau isi bangsa ini. Bakteri, kuman maupun virus pun akan beterbangan ke sana kemari membawa pertanda kala untuk seluruh nusantara.
Berbicara mengenai kemiskinan dan kemelaratan memang sangat normatif dan belum ada batasan yang pasti. Bisa jadi seluruh manusia di negeri ini menyatakan dirinya miskin, tentu sesuai dengan kriteria kemiskinan masing-masing. Demikian juga tatkala seseorang memproklamirkan dirinya seorang yang kaya, tentu dia memiliki sebuah standar tersendiri dan “harta” yang hanya dia saja yang tahu, tidak harus jumlah materi yang berlimpah ruah.
Tabiat bangsa ini mungkin masih terlena dengan masa lalu. Masih tidak adanya kemerataan pola pikir menjadi satu di antara akibat dari ketidakmerataan masa lalu. Sesuatu yang membuat perekonomian bangsa ini karut marut seolah tanpa daya menghadapi terjangan badai krisis yang tiada henti. Kenapa tiada henti?secara kasat mata gelombang krisis selalu menyertai setiap gerak langkah masyarakat. Bukan melalui sebuah produk, namun perlahan dan pasti tanpa ada bayangan, krisis tersebut masuk melalui beragam dimensi, karena itulah bahasa yang paling keren adalah krisis multidimensi, yang sebenarnya jika terus diperasa akan mendapati satu jawaban: ekonomi.
Pengalaman dari zaman baheula pun selalu mengutarakan hal sedemikian. Sehingga sangat sedih tatkala zaman sudah beranjak ke peradaban yang lebih baik dan maju, kini sebagian ekonomista justru masih tertelungkup dan jerat lumpur mematikan bernama kemiskinan. Jadi sangat miris tatkala hanya untuk urusan program beras untuk masyarakat miskin (raskin) harus selalu diperdebatkan. Padahal euforia sebagai bangsa yang bisa melambung menjadi berswasembada beras masih jelas teringat, karena memang usianya belum lagi genap sepertiga abad. Jadi kenapa harus bergembira tatkala pemerintah bakal menaikkan jatah raskin 15 kilogram per KK?justru seharusnya yang paling ditakuti adalah semakin tingginya konsumsi untuk beras raskin ini. Sangat menyesakkan justru karena ini semakin menggambarkan jika masyarakat ini banyak sekali yang masih hidup di bawah garis kemerdekaan dari lilitan kemiskinan. Tidak usah berbicara statistik dan analisis ekonomika segala, hanya dengan kasat mata saja sudah jelas terlihat bagaimana kehidupan mereka. Tidak pula harus melihat ke daerah, kawasan ibukota yang notabene menjadi kawasan yang dianggap paling banyak memberikan nyawa kerja, harus tergelepar dengan semakin meningkatnya tingkat kehidupan di bawah kolong jembatan tol, di bawah tautan dinding triplek ataupun menggelandang kesana kemari menunggu giliran untuk ditangkap petugas trantib hanya untuk berharap mendapatkan sesuap nasi nantinya.
Meskipun penambahan beras raskin adalah inisiatif seorang presiden sekalipun, namun tetap saja itu tidak akan pernah menyelesaikan persoalan. Niatan asal rakyat kenyang jelas sudah tidak cocok lagi di jaman serba realistis seperti sekarang ini. Justru jika dianalisa lebih lanjut, langkah itu malah sebuah bumerang dan pemunduran dari kehidupan bernegara maupun bermasyarakat. Sepertinya rakyat sudah pandai dan pintar. Mereka tidak lagi percaya pada janji semata maupun kunjungan ke tempat musibah dengan menyerahkan segentong uang. Itu yang seharusnya menjadi pemikiran tersendiri, sebuah kontradiktif akumulasi yang sungguh mengena jika bisa terealisir dengan baik.
Menyulut pada sistem kerja saat ini, tentu semua orang berharap jika pameo uang selalu menang bisa diganyang habis. Minimal pemerintahan dan pemerintah yang kreatif harus benar-benar diimplementasikan. Jika tidak, bukan tidak mungkin dalam 20 tahun ke depan angka pengangguran dan tradisi keekonomian bangsa ini akan semakin luntur, berganti dengan foreigner yang implikasinya bakal semakin menggerus nilai kebudayaan bangsa sendiri.
Ini mungkin yang perlu menjadi catatan tersendiri bagi siapa saja yang peduli. Jumlah angkatan kerja saat ini berada di posisi lebih dari 110 juta orang, sangat jauh berbeda dengan posisi saat bulan Februari 2007 yang hanya 108,13 juta orang
Ironisnya, jumlah penganggur masih berada di level angka dua digit. Artinya saat ini lebih dari 10 juta orang usia produktif harus menganggur. Lembaga pencetak sarjana saat ini jelas menjadi sorotan tersendiri. Impian langsung bekerja yang digadang-gadang bisa saja menjadi impian belaka jika tidak dibekali dengan mental bertanding yang kuat. Jika melempem sedikit saja, tentu terpental menjadi konsekuensi logisnya. Sebuah pilihan yang tentunya sangat menyakitkan bagi siapapun jika pengharapan itu sirna begitu saja.
Di sisi ekonomi, kerugian besar jika para pengangguran usia produktif tersebut justru sebagian besar berada di jalur sarjana. Bila dihitung tentu aset triliunan rupiah milik negara jelas terkristal begitu saja. Bukan kristal berharga tinggi, tapi justru kristal kusam yang mengerucut yang akhirnya menghilang entah kemana. Kini pisau pemerintah benar-benar mendapat ujian untuk menyelaraskan antara ucapan dan tindakan. Karena memang bukan rahasia lagi kalau negeri ini masih menjadi sarang tukang korup!. (foto.www.google.com)

Tidak ada komentar: