Entah apa maksud pemerintah dengan memutarbalikkan kondisi penetapan FTZ di segitiga BBK dengan terus menggoyang struktu otoritas pengelolaan kawasan tersebut. Terakhir tentu sangat menyesakkan ketika urusan Dewan Kawasan belum selesai, sudah dihajar dengan pembentukan Dewan Nasional. Kemudian dipelintir lagi dengan keanggotaan Dewan Nasional tersebut tidak ada yang berasal dari pengusaha. Diputarlagi dengan ketentuan semua DK dan Denas tidak boleh ada campur tangan pengusaha, semuanya harus unsur birokrasi.pemerintah. Menyesakkan?tentu saja, karena sebenarnya apa yang tengah digarap pemerintah saat ini hanya sampah belaka. Nyaris tak ada kemajuan yang berarti, bahkan justru membuat busuk semua peraturan yang ada. Kalau sudah begini, jelas kemungkinan untuk gagal sangat terbuka lebar. Bukan bermaksud untuk mengecilkan harapan, namun naga-naganya di pemerintah pusat hanya perang kepentingan saja yang ada.
Bahkan di lingkup kementrian koordinato perekonomian dan sekretariat negara serta wakil presiden sendiri seolah sudah jalan sendiri. Tak ada persetujuan berarti di antara mereka. Bahkan yang ada hanya perang tender, terutama wapres dengan grupnya yang besarr memang tengah mengincar semua proyek pengembangan di kawasan tersebut. Jika belum tergarap mereka semua, jelas kebijakan ini tidak akan jalan.
Di lingkup internal pemerintah pusat juga masih terjadi saling jegal dan gontok-gontokan antarmereka sendiri. Sepertinya mereka benar-benar sudah tidak pernah punya rasa malu terhadap rakyat dan investor asing lainnya.
Pelbagai gerak dan langkah terus diupayakan, namun pastilah itu hanya sebuah lipstik biasa. Nyaris tak ada moving pasti dari pemerintah, semuanya hanya omong kosong belaka.
Dalam tataran teoritis selalu tidak terbantahkan (undebatablmenghane issues) bahwa setiap kebijakan ekonomi makro dengan penerapan status khusus suatu kawasan pasti diikuti dengan pemberian fasilitas ekonomi atau insentif fiskal. Pendekatan pragmatisme model ”neo-liberalisme” politik ekonomi global telah banyak diadopsi baik di negara maju dan berkembang. Model SEZ di berbagai negara bahkan di satu negara juga diterapkan secara bervariasi baik dari jenis insentif ekonomi, konsentrasi wilayah khusus, institusi pengelola, maupun peranan pemerintah. Dalam SEZ jika dikaitkan dengan berbagai aspek kehidupan; maka dapat dipetakan ke dalam tujuh paradoks:
(1). ”Paradoks Model Ekonomi” antara ketergantungan dengan kemandirian ekonomi. Ketika masing-masing negara berusaha mewujudkan kemandirian ekonomi (self-sustained growth) selalu dihadapkan dengan ketergantungan faktor produksi ditingkat global. Independensi ekonomi hanya ada dalam teks teori ekonomi bukan pada konteks praktek ekonomi internasional yang idealnya saling ketergantungan (interdependent economy), namun arah penanganan ekonomi di negara berkembang selalu terperangkap keketergantungahn ekonomi luar negeri (dependent economy). Begitu terjadi krisis ekonomi, eskalasi dampak tidak terelakkan dan mendistorsi hampir sebahagian besar strata politik, institusi pemerintahan, pranata sosial dan kondisi ekonomi itu sendiri. Untuk memacu pertumbuhan dan menangkap arus investasi, kemudian Pemerintah mengembangkan pusat-pusat pertumbuhan (growth center) baik dalam status ”Bonded Zone, Economic Processing Zone, Special Economic Zone atau Free Trade Zone atau Freeport”. SEZ merupakan model ekonomi yang lebih ke membuka ketergantungan ekonomi luar negeri, meskipun akan memperkuat ekonomi dalam negeri. SEZ apalagi didalamnya ada FTZ belum tentu mampu mempekuat keterkaitan ekonomi belakang (backward linkage), karena SEZ-FTZ selalu menguat ke ekonomi kedepan (forward linkage). SEZ banyak bermain di hilir dibandingkan di hulu.
(2). ”Paradoks Kelembagaan Ekonomi” antara bagian dari otonomi daerah dengan otoritas pusat. SEZ secara legal-formal merupakan hukum ekonomi ketatanegaraan yakni kebijakan politik ekonomi Pemerintah Pusat. Determinasi zonasi, fasilitas ekonomi dan insentif fiskal merupakan salah satu kewenangan pangkal dan melekat yang tidak dilimpahkan ke Daerah dalam hal penentuan SEZ itu sendiri. Namun ”rekomendasi dan partisipasi” Daerah dalam berbagai bentuk tetap perlu penekanan, mengingat SEZ adalah kebijakan makro ekonomi (Pusat) di tataran mikro spasial (Daerah). SEZ yang terlalu merefleksikan kepentingan Pusat akan menjadi paradoks dalam operasionalnya di Daerah. Aspek regulatif mungkin menjadi porsi utama Pusat, namun dimensi operasional idealnya menjadi proporsi besar di Daerah.
(3). ”Paradoks Ekonomi Lingkungan” antara penyediaan lahan dengan ketersediaan lahan. Mesin ekonomi SEZ jika efektif bekerja belum tentu memberikan efisiensi dalam manajemen lingkungan. SEZ sebagai mesin dan zonasi pertumbuhan selalu akan haus akan ekspansi lahan. SEZ yang sukses akan diikuti dengan eskalasi ekonomi yang berdampak pada keseimbangan ekologis. Meskipun akan ada dana balikan baik melalui program non-overhead capital dan ”civic missions” seperti ”community development atau ecological development”, namun tidak bisa dipungkiri SEZ yang berkembang pesat selalu membutuhkan tempat baru untuk tumbuh di lokasi berdekatan. Kenapa demikian ?, SEZ dalam batasan yurisdiksi territorial ibarat penetrasi ekonomi dua mata pisau (double blades) antara intensifikasi dan ektensifikasi lahan yang dalam peruntukan (land-use) bukan hanya untuk ”core business SEZ” dalam proses produksi, juga pada proses distribusi, pemasaran yang tentunya akan diikuti dengan kebutuhan lahan bagi sektor ikutan seperti perumahan, fasilitas sosial, prasarana pemerintahan dan ekonomi lainnya. SEZ yang berkembang idealnya didukung ketersediaan lahan yang matang (siap pakai) dan penanganan lingkungan yang berimbang (sustainable SEZ).
(4). ”Paradoks Insentif Fiskal dan Moneter” antara kemudahan import barang modal produksi dengan konsumsi publik. SEZ secara hukum kepabeanan berada dalam wilayah pabean Indonesia, kecuali dalam SEZ diterapkan BZ (Bonded Zone), EPZ (Economic Processing Zone), STZ (Special Tourism Zone), atau yang lebih liberal dengan cakupan lebih luas FTZ (Free Trade Zone) yang didukung adanya pelabuhan bebas (FP/Free entreport). Daerah otonom yang didalamnya terdapat Kawasan Khusus (SEZ) dengan berbagai tipe (BZ, EPZ, STZ, FTZ, plus FP) dapat melahirkan empat model ekonomi sekaligus dan memunculkan diskriminasi ekonomi; (1).Kelompok ekonomi ”super bebas” yakni perusahaan dan pengusaha yang berada di ”BZ, EPZ, STZ, FTZ plus FP) dalam SEZ, kemudian (2). Kelompok ”ekonomi relatif bebas” yakni perusahaan yang beroperasi di dalam kawasan SEZ tetapi diluar BZ, EPZ, STZ, FTZ plus FP yang mendapat fasilitas fiskal dan insentif ekonomi terbatas dan (3). Kelompok ekonomi non-fasilitas yang berada di kawasan hinterland yang bisa mendapat dampak positif maupun negatif baik langsung maupun tidak langsung dari bekerjanya kedua mesin ekonomi yang mendapat fasilitas absolut dan relatif tersebut di ”mainland Batam. Paradoks SEZ internal perusahaan di proses produksi juga diikuti dengan paradoks SEZ dalam penyediaan kebutuhan konsumsi dasar masyarakat. Bagi publik yang menekankan akan pentingnya impor barang konsumsi murah melihat SEZ sebagai kawasan tempat mereka tinggal yang mendapat perlakuan khusus secara ekonomi produksi dan ekonomi konsumsi.
(5). Paradoks ”UMK-UMR” antara perjuangan pekerja memenuhi KHL dalam UMK dengan bersekukuhnya pengusaha untuk menekan UMK dan menemukan parameter KHL dengan standar logis versi pengusaha. Sekali lagi SEZ akan memunculkan suatu situasi antara meningkatkan pertumbuhan (economic growth) dengan mengutamakan pemerataan (social distribution). Pendekatan yang ideal adalah dengan pertumbuhan ekonomi kemudian ditingkatkan pemerataan sosial (economic growth with social distribution) bukan keuntungan ekonomi dengan mengorbankan kualitas hidup pekerja (economic growth without social distribution). Permasaalahannya adalah sampai sejauh mana dan seberapa lama serta sebesar apa prioritas yang harus diambil. Antara besarkan dulu kue ekonomi (economic pie) dan salah satunya dengan menekan upah (Economic growth first, social distribution latter) atau sebaliknya tinggikan upah pekerja dan batasi ekspansi ekonomi (Social distribution first, economic growth later). Suatu keputusan yang perlu bijak karena mengutamakan kesejahteraan pekerja yang ada berdampak pada memperkecil peluang ekspansi usaha dan juga berpengaruh pada perlambatan penyediaan lapangan kerja baru. Di sisi lain, jika menekan upah pekerja, tetapi modal pengusaha diarahkan ke kegiatan ekspansi usaha dapat membuka lapangan pekerjaan baru, namun para pekerja yang ada tidak dapat memenuhi standar KHL yang ideal. SEZ secara paradoksial juga akan masuk ke situasi dimana kedua pendekatan tersebut dapat menjadi faktor negatif satu sama lainnya (economic and social trade-off), yakni suatu situasi non-kompromistis (unnegotiable conditions) yang menjurus ke kontra-produktif dan nihilisme (zero-sum game). Oleh karenanya, upaya negosiasi atas dasar kepentingan ganda makro (rumah tangga perusahaan) dan mikro (rumah tangga pekerja) masih harus terus dilakukan.
(6). ”Paradoks Kependudukan SEZ” antara upaya menekan jumlah pertumbuhan penduduk sebagai akibat faktor urbanisasi dengan kebutuhan tenaga kerja untuk menggerakkan mesin SEZ. Suatu yang jelas apabila SEZ berkembang, pertumbuhan ekonomi bisa mencapai dua digit antara 10 s/d 12 %, maka akan diikuti dengan penyediaan lapangan pekerjaan baru. Batam sekali lagi akan mengalami percepatan pertumbuhan penduduk (hypher urbanization). Surplus urbanizasi ini akan berdampak pada berbagai penyediaan utilitas publik dan fasilitas sosial seperti perumahan, sarana pendidikan, kesehatan, listrik, air minum, transportasi dll. Tekanan ekologis bisa juga terjadi apabila pera pendatang menempati secara illegal kawasan hutan dengan membangun rumah. Paradoks dibidang ketenagakerjaan juga bisa berdampak pada perlindungan bagi tenaga kerja, keahlian kerja, dan berbagai permasaalahan sosial ekonomi ikutan yang timbul sebagai akibat dari tingginya laju pertumbuhan penduduk. Hal yang perlu mendapat tekanan adalah masalah konflik sosial, perselisihan antar kepentingan, prostitusi, perdagangan wanita, buruh dibawah umur, kriminalitas dan berbagai persoalan sosial lainnya.
(7). ”Paradoks lokasional” antara kawasan SEZ (wilayah khusus) di Daerah otonom dengan non-Kawasan SEZ di Daerah Otonom. Katakanlah antara pelaku ekonomi, jenis ekonomi dan lokasi ekonomi di dua Daerah Otonom yang sama tetapi di dua Kawasan yang berbeda. Dalam bahasa pemerintahan; paradoks SEZ di satu Daerah Pemerintahan di Dua Wilayah Ekonomi (One Government Region in Two Investment Zone). Paradoks SEZ dari sisi lokasional antara ”Batam Dalam dan Batam Luar” (Batam mainland versus Batam hinterland) ini memperkuat paradoks SEZ dari sisi sektoral antara sektor industri dan jasa yang maju dengan sektor pertanian dan perikanan yang tradisional (Batam modern versus traditional economy). Jika ingin lebih jauh memetakan secara ”social based map”, segmentasi sosial antara Batam pendatang yang heterogen dengan Batam lokal yang homogen; tampa mereferensi ethnik antara Melayu dan non-Melayu, karena banyak penduduk lokal (tempatan) sudah ratusan tahun secara hubungan darah dan daerah membaur. Sehingga secara socio-kultural, konfigurasi sosial di Batam tidak terkotak dalam atas dasar asal ”darah” kelahiran (ius sanguinus) dengan asal ”daerah” kelahiran (ius soli). Kenapa demikian ?, Batam dulu dan sekarang telah menjadi ”mixed culture”, banyak keturunan Melayu yang tidak dilahirkan di Batam, bahkan banyak non-Melayu yang dilahirkan di Batam. Suatu paradoks lain dari perspektif kebersamaan SEZ dari sudut pandang demografis yang multi-ethnik.
Memetakan SEZ dalam tujuh paradoks ini membuktikan, persoalan SEZ bukan semata-mata bagaimana mempercepat pemberlakuan SEZ itu sendiri dengan mempercepat dan memperkuat landasar hukumnya saja. SEZ masih membutuhkan berbagai pertimbangan philosofis, suatu analisis SIA (Social Impact Analyses) dari pendekatan multidisiplin. SEZ bukan semata-mata bisa didekati dengan pisau analisis ekonomi saja, karena SEZ adalah kebijakan politik pada sektor ekonomi di tataran lokal yang para pelakunya bukan hanya sekedar dunia usaha tetapi seluruh ”Pemangku Pembangunan” (stake holder) baik di Pusat, Provinsi dan Kabupaten dan Kota dimana SEZ itu berada. Pemahaman ketujuh paradoks SEZ ini diharapkan dapat membantu melihat SEZ dari ‘tujun lapis langit dengan empat penjuru mata angin‘, sehingga kita dengan mata hati dan tidak melihat SEZ sebelah mata, dan semata-mata dari sisi ekonomi. Ada pepatah klasik China menyatakan ”Bu shang gao shan, bu xian ping di” (If you don’t scale the mountain, you can’t view the plan), atau dengan perkataan lain ”jangan harapkan kita dapat melihat dataran rendah jika kita tidak mampu mengukur tingginya gunung. Yang jelas, pemerintah harus berani berbuat dan menerjang sebuah aturan baku yang selama ini ada, jalur birokrasi benar-benar harus diberantas jangan selalu menjadi biang kerok dari segalanya. (foto. www.google.com)
Senin, Februari 11, 2008
Tujuh Paradoks SEZ yang Hanya Ada di Box
by noenx's
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar