by noenx's
Berharap dapat Emas, Malah Lemas yang Datang
PUJI Lestari (27) hanya terpekur sebelum ia beranjak dari kasur. Ia hanya sekejap saja menatap teman-temannya yang berada di sekelilingnya. Mata yang masih berat untuk menatap jejak bayang di depan, dipaksanya untuk membimbingnya ke kamar mandi. Seperti biasa, langkah kakinya segera beriringan dengan kerja tangan. Menggamit sikat gigi, handuk kumal yang sudah satu tahun tak pernah ganti dan pakaian ganti, ia berjalan gontai karena memang tubuhnya hanya bermodal setengah nyawa. Sayup-sayup hanya terdengar suara binatang malam, yang semakin hari ternyata semakin sedikit, berganti deru mobil dan suara bising mobil dan motor yang sesekali melintas di depan kamarnya.
Usai mandi, berganti baju seragam “kantornya”, ia pun menengok jam di dinding. Pukul 11.00 malam. Waktu yang enak untuk tidur, pikirnya. Namun itu hanya selintas harapan saja, pasalnya Puji bersama ribuan buruh lain yang bernasib sama malam itu justru harus berjuang demi mendapatkan kehidupan layak yang selama ini mereka cari. “Biar hujan dan banjir sekalipun, tak apalah,”itulah prinsip yang selalu menjejali dalam diri Puji, dan juga teman-temannya. Kecuali sakit, Puji dan Puji-puji lainnya terus bekerja keras bahkan jika ada lembur alias over time (OT) sekalipun, kesempatan itu tidak akan dibuang percuma.
Itulah awal yang selalu sama dengan hari sebelumnya. Bak sebuah mesin yang sudah terporgram, kehidupan sosok Puji harus memiliki laku yang sangat berliku. Sudah hampir empat tahun ia meninggalkan keluarga dan suaminya hanya untuk menempa batu keras kehidupan dan berharap munculnya emas di tanah rantau, Batam.
Bersama puluhan ribu tenaga kerja lainnya, awalnya dan sampai sekarang Puji pun terus bersemangat menyambut hari demi hari dengan kegiatan rutin layaknya robot yang telah terprogram. Nyaris tak ada jeda untuk sekedar rehat bersama. Dalam alam pikirannya terus bermunculan keinginan mendapatkan sesuatu yang lebih di tanah rantau Bandar Madani.
Saat pertama kali datang, ia langsung berhadapan dengan rutinitias seperti itu. Dua tahun pertama, ia berhasil lolos dari seleksi pemulangan dan memperpanjang masa kontraknya selama dua tahun.
Kini setelah hampir empat tahun, ia pun merasa bimbang untuk melanjutkan atau kembali kepada keluarga, suami dan anak yang dulu saat ditinggalkan masih berusia satu tahun. Ia pun sempat berpikir apakah nanti anaknya itu masih kenal dengan wajah sang ibu, itulah yang terus ada dalam benaknya. Bagaikan buah simalakama, ia pun harus memutuskan untuk tetap tinggal di kota ini, demi sebuah jerih payah yang tetap hilang dan habis setiap bulannya.
Kini, nyaris setengah windu Puji berada di kota yang dulu sangat terngiang di telinganya sebagai kota emas, tempat tepat mengumpulkan uang. Namun apa yang didapatnya?nihil. Hampir tidak ada bekas yang tersisa. Pakaian yang dulu dibawa saat pertama kali mendaratkan kakinya di Bandara Hang Nadim, masih tergeletak sama, tanpa ada perubahan berarti. Dirinya yang dulu terasa kumal, kini pun dirasakan idem. Meski terus untuk pulang, namun lagi-lagi hatinya terus meyakinkan jika kelak ada “emas” yang bisa diraih. Namun sayang, ia pun tak tahu kapan bisa mendapatkan itu semua.
Dalam hatinya, Puji pun sempat tergetar untuk segera menyerah dengan keadaan seperti ini. Semuanya ia tepis meski harus berada dalam lingkup kehidupan yang berada di luar dari bayangannya dulu. Menjadi seorang buruh membuatnya harus berjuang keras menyesuaikan diri dengan apa yang di dapat, bukan berdasar apa yang ada di sekitar lingkungannya. Justru jika dirinya tak tahan dengan apa yang ada di lingkungannya, dirinya bakal hancur sudah dari dulu.
Kehidupan prihatin yang ia alami sama dengan yang dirasakannya di kampung halaman. Hidup penuh perhitungan, mengkalkulasi angka sebelum bertransaksi dan seirit mungkin menjadi kebiasaan saban harinya.
Makan nasi, sayur plus tempe atau tahu ditambah sambal menjadi rutinitasnya. Jika sedikit lebih baik, ia sesekali menambahi dengan ayam goreng yang dibeli di depan gang kosnya, itupun dengan catatan esok harinya dipastikan ia harus lebih ngirit. Kebutuhan sehari-hari pun dipikirnya masak-masak. Apalagi sebagai wanita, tentu nilai kebutuhan pribagi menjadi lebih banyak. Masih untung biaya kos dipenuhi perusahaan, jadi ia masih bisa ngirit Rp300 ribu setiap bulannya. Jangan tanya ke salon mana ia merawat tubuh dan rambutnya. Bersama teman-teman, ia pun berbagi jasa untuk memotong rambut bareng atau paling banter ia pergi ke salon kecil-kecilan yang mengenai ongkos Rp10 ribu tiap potongnya. Pernah terpikir untuk sekedar creambath, memannjakan kulit dengan lulur atau rambut di-blow, tapi itu semua dibuangnya jauh-jauh demi satu kata; irit. Sebuah kata yang sangat terngiang di kepala Puji saat dulu belajar di bangku sekolah yang terakhir dijalaninya SD, ‘hemat pangkal kaya’.
Ia pun sempat bertanya pada dirinya, kenapa aku tak kaya meski sudah berhemat bahkan setiap waktu. Sebuah retorika belaka, karena Puji sadar untuk hidup saja sudah susah bagaimana dia bisa menabung.
Begitulah segelintir minoritas, yang bisa jadi juga mayoritas, nasib kaum buruh di kota industri yang selama ini dianggap mampu memberikan asa tinggi, Batam. Meski sudah tergolong menjadi kawasan perdagangan bebas dan pelabuhan bebas, tetap saja itu hanya bisa dinikmati segelintir orang yang notabene memiliki kekuasaan, kekuatan uang dan koneksi luar biasa, tidak untuk buruh. Karena nasib mereka tetap sama, masih berada di level paling bawah. Jangan bicara tentang hukum atau legalitas apapun, namun perhatian terhadap mereka nyaris belum mendapat atensi intensif layaknya sebuah kawasan industri ternama di dunia. Memang, contoh Puji jelas tidak bisa mengeneralisir semuanya bernasib sama. Namun yakinlah jika Puji Puji lainnya pun tetap ada, sebuah jurang pemisah yang teramat dalam.
Nasih strata mereka yang masih dianggap robot tentu menjadi keprihatinan tersendiri. Eksploitasi luar biasa untuk tenaga mereka, pun lewat mekanisme Over Time (OT) alias lembur jelas menjadi kekurangan tersendiri. Kalau memang perusahaan mampu membayar mereka sama dengan jika mereka, para kaum buruh, melakukan lembur, kenapa tidak dilakukan saja. Toh imbasnya jelas, mampu memberikan semangat tersendiri bagi para buruh untuk bekerja dengan kapasitas produksi yang telah diukur.
Nasib selintas tentang Puji tentu bukan cerminan untuk semua kalangan buruh. Ada yang lebih baik, namun tak sedikit pula yang berada di bawah Puji. Di Batam sendiri, bisa dilihat para pekerja yang nasibnya tidak lebih baik dari Puji terasa sangat menyesakkan. Bagaimana tidak, mereka paling tidak harus berjuang untuk hidup dengan gali lubang dan tutup lubang. Bulan ini mereka makan, hasil kerja sebulan ke depan belum tentu bisa membuat mereka makan. Meski kelas ini minoritas, namun tetap saja menjadi sebuah catatan cukup pelik di sebuah kawasan yang sudah ditetapkan pemerintah sebagai kawasan khusus, baik dari sisi perdagangan, legalitas transaksi dan keterbukaan keekonomian. Sialnya, terkadang status ini justru memicu arogansi beberapa pihak yang merasa mendapat wewenang lebih. Akibat nun jauh di sana tentu faktor serapan tenaga kerja yang semakin berkurang. Beruntung bagi Puji yang meninggalkan keluarga di tempat asal, di kota industri Bandar Madani justru semakin banyak didapati kaum buruh yang berkeluarga di kota ini. Sebuah kejadian dan situasi yang tentunya tidak ada dalam skema pembangunan dan pengembangan kawasan ini. Sistem in-out sudah tak berjalan lagi, akibatnya terjadi ketimpangan sosial dan masyarakat yang menjadi kaum buruh jelas semakin tertinda karena mereka menghadapi hanya dua pilihan; kerja atau menganggur, hidup atau mati.
Jarum jam menunjukkan angka tujuh. Saatnya Puji pulang ke kos. Ia pun sigap mengganti baju seragamnya dengan kaos lengan pendek, bercelana jean dan menyambar tas. Bersama ribuan buruh lainnya, ia keluar mendapati sinar matahari pagi yang membuatnya terasa segar. Sebuah perjuangan berat tentunya, harus berangkat dikawal langit malam, pulang disambut sinar mentari. Pernahkah Anda membayangkan seperti itu?. Kini langkah Puji, juga seperti yang setiap hari ia lakukan, terasa tegap meski di relung hatinya terasa lemas dan tetap bertanya kapan ia mampu menggapai emas yang diimpikannya?. Sampai di pintu gerbang kompleks kawasan industri, ia menghentikan metro trans, naik dan meluncur ke kos dengan satu pengharapan besar semoga besok bisa lebih banyak lembur yang bisa ia raih. Sembari berharap kelak ia bisa pulang ke rumah asal dengan membawa segepok rupiah. Sebuah asa yang Puji sendiripun entah kapan bisa tergapai. (persda network/nurfahmi) foto.www.google.com
PUJI Lestari (27) hanya terpekur sebelum ia beranjak dari kasur. Ia hanya sekejap saja menatap teman-temannya yang berada di sekelilingnya. Mata yang masih berat untuk menatap jejak bayang di depan, dipaksanya untuk membimbingnya ke kamar mandi. Seperti biasa, langkah kakinya segera beriringan dengan kerja tangan. Menggamit sikat gigi, handuk kumal yang sudah satu tahun tak pernah ganti dan pakaian ganti, ia berjalan gontai karena memang tubuhnya hanya bermodal setengah nyawa. Sayup-sayup hanya terdengar suara binatang malam, yang semakin hari ternyata semakin sedikit, berganti deru mobil dan suara bising mobil dan motor yang sesekali melintas di depan kamarnya.
Usai mandi, berganti baju seragam “kantornya”, ia pun menengok jam di dinding. Pukul 11.00 malam. Waktu yang enak untuk tidur, pikirnya. Namun itu hanya selintas harapan saja, pasalnya Puji bersama ribuan buruh lain yang bernasib sama malam itu justru harus berjuang demi mendapatkan kehidupan layak yang selama ini mereka cari. “Biar hujan dan banjir sekalipun, tak apalah,”itulah prinsip yang selalu menjejali dalam diri Puji, dan juga teman-temannya. Kecuali sakit, Puji dan Puji-puji lainnya terus bekerja keras bahkan jika ada lembur alias over time (OT) sekalipun, kesempatan itu tidak akan dibuang percuma.
Itulah awal yang selalu sama dengan hari sebelumnya. Bak sebuah mesin yang sudah terporgram, kehidupan sosok Puji harus memiliki laku yang sangat berliku. Sudah hampir empat tahun ia meninggalkan keluarga dan suaminya hanya untuk menempa batu keras kehidupan dan berharap munculnya emas di tanah rantau, Batam.
Bersama puluhan ribu tenaga kerja lainnya, awalnya dan sampai sekarang Puji pun terus bersemangat menyambut hari demi hari dengan kegiatan rutin layaknya robot yang telah terprogram. Nyaris tak ada jeda untuk sekedar rehat bersama. Dalam alam pikirannya terus bermunculan keinginan mendapatkan sesuatu yang lebih di tanah rantau Bandar Madani.
Saat pertama kali datang, ia langsung berhadapan dengan rutinitias seperti itu. Dua tahun pertama, ia berhasil lolos dari seleksi pemulangan dan memperpanjang masa kontraknya selama dua tahun.
Kini setelah hampir empat tahun, ia pun merasa bimbang untuk melanjutkan atau kembali kepada keluarga, suami dan anak yang dulu saat ditinggalkan masih berusia satu tahun. Ia pun sempat berpikir apakah nanti anaknya itu masih kenal dengan wajah sang ibu, itulah yang terus ada dalam benaknya. Bagaikan buah simalakama, ia pun harus memutuskan untuk tetap tinggal di kota ini, demi sebuah jerih payah yang tetap hilang dan habis setiap bulannya.
Kini, nyaris setengah windu Puji berada di kota yang dulu sangat terngiang di telinganya sebagai kota emas, tempat tepat mengumpulkan uang. Namun apa yang didapatnya?nihil. Hampir tidak ada bekas yang tersisa. Pakaian yang dulu dibawa saat pertama kali mendaratkan kakinya di Bandara Hang Nadim, masih tergeletak sama, tanpa ada perubahan berarti. Dirinya yang dulu terasa kumal, kini pun dirasakan idem. Meski terus untuk pulang, namun lagi-lagi hatinya terus meyakinkan jika kelak ada “emas” yang bisa diraih. Namun sayang, ia pun tak tahu kapan bisa mendapatkan itu semua.
Dalam hatinya, Puji pun sempat tergetar untuk segera menyerah dengan keadaan seperti ini. Semuanya ia tepis meski harus berada dalam lingkup kehidupan yang berada di luar dari bayangannya dulu. Menjadi seorang buruh membuatnya harus berjuang keras menyesuaikan diri dengan apa yang di dapat, bukan berdasar apa yang ada di sekitar lingkungannya. Justru jika dirinya tak tahan dengan apa yang ada di lingkungannya, dirinya bakal hancur sudah dari dulu.
Kehidupan prihatin yang ia alami sama dengan yang dirasakannya di kampung halaman. Hidup penuh perhitungan, mengkalkulasi angka sebelum bertransaksi dan seirit mungkin menjadi kebiasaan saban harinya.
Makan nasi, sayur plus tempe atau tahu ditambah sambal menjadi rutinitasnya. Jika sedikit lebih baik, ia sesekali menambahi dengan ayam goreng yang dibeli di depan gang kosnya, itupun dengan catatan esok harinya dipastikan ia harus lebih ngirit. Kebutuhan sehari-hari pun dipikirnya masak-masak. Apalagi sebagai wanita, tentu nilai kebutuhan pribagi menjadi lebih banyak. Masih untung biaya kos dipenuhi perusahaan, jadi ia masih bisa ngirit Rp300 ribu setiap bulannya. Jangan tanya ke salon mana ia merawat tubuh dan rambutnya. Bersama teman-teman, ia pun berbagi jasa untuk memotong rambut bareng atau paling banter ia pergi ke salon kecil-kecilan yang mengenai ongkos Rp10 ribu tiap potongnya. Pernah terpikir untuk sekedar creambath, memannjakan kulit dengan lulur atau rambut di-blow, tapi itu semua dibuangnya jauh-jauh demi satu kata; irit. Sebuah kata yang sangat terngiang di kepala Puji saat dulu belajar di bangku sekolah yang terakhir dijalaninya SD, ‘hemat pangkal kaya’.
Ia pun sempat bertanya pada dirinya, kenapa aku tak kaya meski sudah berhemat bahkan setiap waktu. Sebuah retorika belaka, karena Puji sadar untuk hidup saja sudah susah bagaimana dia bisa menabung.
Begitulah segelintir minoritas, yang bisa jadi juga mayoritas, nasib kaum buruh di kota industri yang selama ini dianggap mampu memberikan asa tinggi, Batam. Meski sudah tergolong menjadi kawasan perdagangan bebas dan pelabuhan bebas, tetap saja itu hanya bisa dinikmati segelintir orang yang notabene memiliki kekuasaan, kekuatan uang dan koneksi luar biasa, tidak untuk buruh. Karena nasib mereka tetap sama, masih berada di level paling bawah. Jangan bicara tentang hukum atau legalitas apapun, namun perhatian terhadap mereka nyaris belum mendapat atensi intensif layaknya sebuah kawasan industri ternama di dunia. Memang, contoh Puji jelas tidak bisa mengeneralisir semuanya bernasib sama. Namun yakinlah jika Puji Puji lainnya pun tetap ada, sebuah jurang pemisah yang teramat dalam.
Nasih strata mereka yang masih dianggap robot tentu menjadi keprihatinan tersendiri. Eksploitasi luar biasa untuk tenaga mereka, pun lewat mekanisme Over Time (OT) alias lembur jelas menjadi kekurangan tersendiri. Kalau memang perusahaan mampu membayar mereka sama dengan jika mereka, para kaum buruh, melakukan lembur, kenapa tidak dilakukan saja. Toh imbasnya jelas, mampu memberikan semangat tersendiri bagi para buruh untuk bekerja dengan kapasitas produksi yang telah diukur.
Nasib selintas tentang Puji tentu bukan cerminan untuk semua kalangan buruh. Ada yang lebih baik, namun tak sedikit pula yang berada di bawah Puji. Di Batam sendiri, bisa dilihat para pekerja yang nasibnya tidak lebih baik dari Puji terasa sangat menyesakkan. Bagaimana tidak, mereka paling tidak harus berjuang untuk hidup dengan gali lubang dan tutup lubang. Bulan ini mereka makan, hasil kerja sebulan ke depan belum tentu bisa membuat mereka makan. Meski kelas ini minoritas, namun tetap saja menjadi sebuah catatan cukup pelik di sebuah kawasan yang sudah ditetapkan pemerintah sebagai kawasan khusus, baik dari sisi perdagangan, legalitas transaksi dan keterbukaan keekonomian. Sialnya, terkadang status ini justru memicu arogansi beberapa pihak yang merasa mendapat wewenang lebih. Akibat nun jauh di sana tentu faktor serapan tenaga kerja yang semakin berkurang. Beruntung bagi Puji yang meninggalkan keluarga di tempat asal, di kota industri Bandar Madani justru semakin banyak didapati kaum buruh yang berkeluarga di kota ini. Sebuah kejadian dan situasi yang tentunya tidak ada dalam skema pembangunan dan pengembangan kawasan ini. Sistem in-out sudah tak berjalan lagi, akibatnya terjadi ketimpangan sosial dan masyarakat yang menjadi kaum buruh jelas semakin tertinda karena mereka menghadapi hanya dua pilihan; kerja atau menganggur, hidup atau mati.
Jarum jam menunjukkan angka tujuh. Saatnya Puji pulang ke kos. Ia pun sigap mengganti baju seragamnya dengan kaos lengan pendek, bercelana jean dan menyambar tas. Bersama ribuan buruh lainnya, ia keluar mendapati sinar matahari pagi yang membuatnya terasa segar. Sebuah perjuangan berat tentunya, harus berangkat dikawal langit malam, pulang disambut sinar mentari. Pernahkah Anda membayangkan seperti itu?. Kini langkah Puji, juga seperti yang setiap hari ia lakukan, terasa tegap meski di relung hatinya terasa lemas dan tetap bertanya kapan ia mampu menggapai emas yang diimpikannya?. Sampai di pintu gerbang kompleks kawasan industri, ia menghentikan metro trans, naik dan meluncur ke kos dengan satu pengharapan besar semoga besok bisa lebih banyak lembur yang bisa ia raih. Sembari berharap kelak ia bisa pulang ke rumah asal dengan membawa segepok rupiah. Sebuah asa yang Puji sendiripun entah kapan bisa tergapai. (persda network/nurfahmi) foto.www.google.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar