KABAR itu datang lagi-lagi via email. Kali ini sebuah kabar gembira di tengah iklim resesi ekonomi Indonesia. Sebuah ajakan dan fakta sebenarnya Indonesia dan perekonomiannya tetap mendapat tempat di kalangan dunia bisnis global, sebuah langkah baik tentunya di tengah situasi yang masih tidak menentu di level kebijakan ekonomi.
Setelah beberapa tahun dihantam iklim ekonomi yang bisa dibilang tidak stabil, Indonesia akhirnya mendapatkan kehormatan dari negara-negara kuat di level ekonomi global yang tergabung dalam G-8. Tidak hanya bagi Indonesia, bagi kelompok tersebut juga menjadi sebuah sejarah tatkala mengundang pemerintah Indonesia (lagi), yang notabene belum memiliki sebuah tatanan ekonomi baku. Bahkan bisa jadi mereka hanya mengundang nusantara ini karena menjadi basis massa konsumen yang tentunya sangat potensial. Hitung-hitungannya jelas, dengan total penduduk mencapai angka 220 juta jiwa, tentu pangsa pasar selebar itu bakal mendatangkan nilai kapitalisasi yang sangat besar. Bahkan jika hanya 150 juta saja yang aktif secara ekonomi, tetap saja Indonesia memiliki pangsa paling yahud di kawasan Asia Tenggara. Dengan nilai tersebut, nilai kapitalisasi harian yang bisa direnggut dari masyarakat Indonesia bisa mencapai 7,5 triliun per hari dengan indikator hanya tingkat konsumsi harian minimal Rp50 ribu. Padahal angka lebih besar jelas berada di belakang nilai di atas. Tentu bagi sebagian besar negara-negara dengan tingkat ekonomi maju, polarisasi angka dan estimasi tersebut memiliki kerangka nilai benefit yang tidak sedikit juga. Tak heran jika sebenarnya pangsa di Indonesia selalu lebih tinggi dari negara manapun di kawasan Asia Tenggara ini.
Malaysia, Singapura, Thailand, Vietnam, Myanmar dan Filipina hanya memiliki tingkat konsumsi tidak lebih dari 70 persen total konsumsi masyarakat Indonesia. Namun sayangnya justru di kawasan tersebut nilai kompilasi kapitalis terssangkut. Nyaris tidak ada timbal balik utuh yang masuk kembali ke Indonesia. Apakah Indonesia merugi?tentu tidak, karena memang kemungkinan besarnya tidak ada rasa untuk itu, atau bahkan nyaris tidak ada waktu untuk mengurus dan mengutak-atik hal seperti itu. Yang ada hanya egosentris belaka, yang nyaris menenggelamkan bangsa ini melalui perekonomiannya.
Merujuk pada undangan dalam Konferensi Tingkat Tinggi G-8 di Tokyo Jepang pada medio Juli mendatang, tentu harus menjadi momen terbaik bagi delegasi bangsa ini guna menyeruak dalam genggaman mereka. Paling tidak, posisi tawar Indonesia bisa sedikit dinaikkan grade-nya.
Alasan paling reasonable adalah kemungkinan adanya resesi ekonomi dunia jjlid II yang sebenarnya tengah digagas sebuah kelompok. Sekedar input, kali ini serangan yang tengah dihimpun kalangan yang menyebut dirinya underfire tersebut tidak langsung menusuk ke sektor bursa dan valas, seperti yang pernah dilakukan gerombolan penyamun pimpinan Soros dkk.
Langkah ini lebih santun lagi dengan memanfaatkan beberapa model krisis yang berbeda-beda di setiap negara. Setelah mengidentifikasi apa kelemahan setiap negara, kemudian terdapat sebuah simpul dan konklusi dari itulah yang kemudian dibuat kalangan tersebut untuk menggerogoti sistem ekonomi sebuah negara. Nyaris tanpa deteksi, pelan namun pasti dan sangat menyengat karena kemunculannya jelas secara tiba-tiba. Entah kini Indonesia sudah merasa atau belum, namun tindakan preventif jelas menjadi dogma tersendiri yang harus diperkuat jajaran orang-orang pandai bergelar doktor dan profesor ekonomi untuk mencegah hal simpel tersebut.
Kehadiran Indonesia sendiri tentu sangat penting bagi dirinya sendiri. Di tengah ancaman kestabilan ekonomi yang terus menerus, berkomunikasi dan berkongsi dengan belahan dunia lain tentu tidak menjadi masalah sepanjang tidak mengikat sampai ke urat nadi leher.
Berinteraksi dengan mencari celah tentu menjadi bagian yang tidak akan terpisahkan dalam event KTT G-8 tersebut. Momen ini tentu menjadi pembelajaran bagi Indonesia yang tidak pernah bisa bangkit 100 persen sejak krisis moneter dan multidimensi menghajar republik ini di tahun 1998 lalu.
Yang jelas, prinsip waspada tetap harus dikedepankan dan mencuri kesempatan sekecil apapun tentu menjadi sebuah kewajiban jika tidak ingin “meringis” kesakitan kembali dalam 5-6 tahun mendatang. Keledai tentu tidak ingin jatuh untuk kedua kalinya, tapi kenapa selalu disebut keledai kalau ada kejadian yang menimpa seseorang adalah pengulangan yang sama persis dengan kejadian yang dulu?......
Setelah beberapa tahun dihantam iklim ekonomi yang bisa dibilang tidak stabil, Indonesia akhirnya mendapatkan kehormatan dari negara-negara kuat di level ekonomi global yang tergabung dalam G-8. Tidak hanya bagi Indonesia, bagi kelompok tersebut juga menjadi sebuah sejarah tatkala mengundang pemerintah Indonesia (lagi), yang notabene belum memiliki sebuah tatanan ekonomi baku. Bahkan bisa jadi mereka hanya mengundang nusantara ini karena menjadi basis massa konsumen yang tentunya sangat potensial. Hitung-hitungannya jelas, dengan total penduduk mencapai angka 220 juta jiwa, tentu pangsa pasar selebar itu bakal mendatangkan nilai kapitalisasi yang sangat besar. Bahkan jika hanya 150 juta saja yang aktif secara ekonomi, tetap saja Indonesia memiliki pangsa paling yahud di kawasan Asia Tenggara. Dengan nilai tersebut, nilai kapitalisasi harian yang bisa direnggut dari masyarakat Indonesia bisa mencapai 7,5 triliun per hari dengan indikator hanya tingkat konsumsi harian minimal Rp50 ribu. Padahal angka lebih besar jelas berada di belakang nilai di atas. Tentu bagi sebagian besar negara-negara dengan tingkat ekonomi maju, polarisasi angka dan estimasi tersebut memiliki kerangka nilai benefit yang tidak sedikit juga. Tak heran jika sebenarnya pangsa di Indonesia selalu lebih tinggi dari negara manapun di kawasan Asia Tenggara ini.
Malaysia, Singapura, Thailand, Vietnam, Myanmar dan Filipina hanya memiliki tingkat konsumsi tidak lebih dari 70 persen total konsumsi masyarakat Indonesia. Namun sayangnya justru di kawasan tersebut nilai kompilasi kapitalis terssangkut. Nyaris tidak ada timbal balik utuh yang masuk kembali ke Indonesia. Apakah Indonesia merugi?tentu tidak, karena memang kemungkinan besarnya tidak ada rasa untuk itu, atau bahkan nyaris tidak ada waktu untuk mengurus dan mengutak-atik hal seperti itu. Yang ada hanya egosentris belaka, yang nyaris menenggelamkan bangsa ini melalui perekonomiannya.
Merujuk pada undangan dalam Konferensi Tingkat Tinggi G-8 di Tokyo Jepang pada medio Juli mendatang, tentu harus menjadi momen terbaik bagi delegasi bangsa ini guna menyeruak dalam genggaman mereka. Paling tidak, posisi tawar Indonesia bisa sedikit dinaikkan grade-nya.
Alasan paling reasonable adalah kemungkinan adanya resesi ekonomi dunia jjlid II yang sebenarnya tengah digagas sebuah kelompok. Sekedar input, kali ini serangan yang tengah dihimpun kalangan yang menyebut dirinya underfire tersebut tidak langsung menusuk ke sektor bursa dan valas, seperti yang pernah dilakukan gerombolan penyamun pimpinan Soros dkk.
Langkah ini lebih santun lagi dengan memanfaatkan beberapa model krisis yang berbeda-beda di setiap negara. Setelah mengidentifikasi apa kelemahan setiap negara, kemudian terdapat sebuah simpul dan konklusi dari itulah yang kemudian dibuat kalangan tersebut untuk menggerogoti sistem ekonomi sebuah negara. Nyaris tanpa deteksi, pelan namun pasti dan sangat menyengat karena kemunculannya jelas secara tiba-tiba. Entah kini Indonesia sudah merasa atau belum, namun tindakan preventif jelas menjadi dogma tersendiri yang harus diperkuat jajaran orang-orang pandai bergelar doktor dan profesor ekonomi untuk mencegah hal simpel tersebut.
Kehadiran Indonesia sendiri tentu sangat penting bagi dirinya sendiri. Di tengah ancaman kestabilan ekonomi yang terus menerus, berkomunikasi dan berkongsi dengan belahan dunia lain tentu tidak menjadi masalah sepanjang tidak mengikat sampai ke urat nadi leher.
Berinteraksi dengan mencari celah tentu menjadi bagian yang tidak akan terpisahkan dalam event KTT G-8 tersebut. Momen ini tentu menjadi pembelajaran bagi Indonesia yang tidak pernah bisa bangkit 100 persen sejak krisis moneter dan multidimensi menghajar republik ini di tahun 1998 lalu.
Yang jelas, prinsip waspada tetap harus dikedepankan dan mencuri kesempatan sekecil apapun tentu menjadi sebuah kewajiban jika tidak ingin “meringis” kesakitan kembali dalam 5-6 tahun mendatang. Keledai tentu tidak ingin jatuh untuk kedua kalinya, tapi kenapa selalu disebut keledai kalau ada kejadian yang menimpa seseorang adalah pengulangan yang sama persis dengan kejadian yang dulu?......
Tidak ada komentar:
Posting Komentar