Courtesy by WM
DI awal tahun 2008 ini, beberapa tindakan pemerintah memang sangat amat perlu diperhatikan. Bagaimana tidak, mulai dari isu ketahanan dan pertahanan sampai ekonomi menjadi santapan tiada henti. Semuanya serba krusial dan menjanjikan sebuah arah ke positif, yang progressnya justru semakin negatif.
Hampir semua terobosan yang dibuat pemerintah seperti tiada artinya. Benturan kepentingan sepertinya tidak bias terlelakkan dan ironisnya justri tidak bias dipecahkan oleh orang yang duduk di pemerintahan itu sendiri. Akibatnya, kembali rakyat dan masyarakat luas menjadi korban “kebiadaban” ketidakjelasan langkah mereka.
Pemerintah kembali bimbang menghadapi kenaikan harga BBM dunia. Alih-alih mencari solusi yang bisa menyelesaikan masalah secara komprehensif, yang dilakukan malah membuat kebijakan smart card -penjatahan konsumsi BBM untuk jenis-jenis kendaraan tertentu dengan kartu pintar (smart card) sebagai pengendali- yang rawan korupsi. Pemerintah, misalnya, akan mengharuskan kendaraan pribadi di atas 2000 cc untuk memakai Pertamax.
Adapun kendaraan pribadi kurang dari 2000 cc akan dijatah bahan bakarnya dengan jumlah tertentu. Kendaraan umum dan angkutan barang juga akan diatur berapa BBM yang mesti dikonsumsi. Bagaimana pemerintah bisa mengontrol mobil-mobil pribadi yang membeli premium berkali-kali di berbagai pompa bensin full tankuntuk dijual lagi ke pemilik mobil-mobil 2000 cc ke atas? Jika setiap pembeli premium di pompa bensin diperiksa STNK dan kartu penduduknya, betapa bertele-telenya proses pembelian bahan bakar tersebut. Niscaya akan timbul ketegangan antarpembawa mobil karena kemacetan dan antre di setiap bom bensin.
Walhasil, kebijakan smart card ini akan memicu munculnya berbagai modus penipuan pembelian BBM. Betapa tidak, kartu kredit dari berbagai bank dan issuer yang memakai teknologi networking modern saja banyak yang dipalsukan, apalagi smart card bikinan Pertamina, sebuah institusi yang dari dulu terkenal dengan megakorupsinya.
Belajar dari Inggris
Sejak melambungnya harga BBM 1998, Inggris juga punya rencana membuat semacam smart card, untuk mengatur subsidi kepada rakyatnya yang tergolong menderita fuel poverty.
Pertama, pemerintah mendefinisikan apa itu fuel poverty. Fuel poverty adalah sebuah rumah tangga yang lebih dari sepertiga pendapatannya terpakai untuk membeli bahan bakar (untuk listrik, masak, dan penghangat rumah di musim dingin, dan lain-lain). Mereka inilah yang perlu disubsidi.
Tetapi kemudian berbagai persoalan muncul, benarkah orang yang lebih dari sepertiga pendapatannya terpakai untuk membeli BBM (membayar semua kebutuhan listriknya) adalah orang yang butuh subsidi? Lalu, betulkah orang dengan kebutuhan BBM kurang dari sepertiga dari income-nya tidak butuh subsidi? Setelah diteliti, permasalahannya sangat kompleks. Penelitian East Anglia University, misalnya, menemukan ternyata banyak keluarga yang tidak merasa miskin dan tidak butuh subsidi, meski kebutuhan BBM-nya lebih dari sepertiga income-nya.
Sebaliknya, banyak pula keluarga yang kebutuhan BBM-nya kurang dari sepertiga incomenya merasa miskin dan butuh subsidi. Masalahnya lebih kompleks lagi ketika menghitung siapa saja yang berhak mendapatkan subsidi? Rumah tangga yang jumlah keluarganya besar, rumah tangga pensiun, janda, dan lainlain. Pendeknya, banyak sekali variabel untuk menentukan siapa-siapa saja yang bisa mendapatkan subsidi. Akibat kompleksnya masalah, Pemerintah Inggris terus melakukan penelitian intensif dan berharap pada 2016 keputusan yang tepat bisa diambil dan subsidi BBM yang tepat sasaran bisa terlaksana di seluruh Inggris.
Bayangkan, sejak punya rencana memberikan subsidi harga BBM kepada masyarakat, pemerintah membutuhkan waktu 18 tahun untuk mengatur kriteria-kriteria yang pas agar subsidi itu tidak meleset, mengatur infrastruktur, dan mencegah berbagai kemungkinan penyelewengannya dengan segala macam aturan dan ancaman-ancaman hukuman bagi pelanggarnya.
Berbagai lembaga penelitian, pemerintah swasta, dan perguruan tinggi pun dikerahkan untuk menelitinya. Semua itu agar subsidi harga BBM tidak salah arah. Apa yang bisa kita petik dari kasus "smart card" di Inggris itu? Pemerintah betul-betul merencanakannya dengan matang, dari awal sampai akhir sekaligus dengan segala kemungkinan-kemungkinannya. Itu terjadi di Inggris, di negeri dengan jumlah penduduk sekitar seperempat penduduk Indonesia dan sebagian besar dari mereka tinggal di mainland.
Bayangkan bila kejadiannya di Indonesia yang berpenduduk lebih dari 220 juta dan tersebar di ribuan pulau besar dan kecil yang kadang amat terpencil. Siapa pun akan menyatakan susah sekali mendata problem BBM terhadap penduduk yang sebarannya amat luas itu. Tapi apa lacur. Bagi Departemen ESDM, hal itu tampaknya tidak ada masalah. Para petinggi di Pertamina dan Departemen ESDM mungkin masih terpesona dengan keajaiban Loro Jonggrang yang bisa membangun candi Prambanan hanya semalam. Bayangkan, gagasan membuat smart card untuk mengatasi besarnya subsidi BBM baru digaungkan beberapa hari lalu dan pemerintah akan menerapkannya pada tahun ini juga.
Hebat bukan? Karena itu, hampir dapat dipastikan, kebijakan smart card akan bernasib sama-bahkan lebih kacau dan memilukan- dibanding kebijakan Pemda DKI (Perda Antirokok), juga bantuan langsung tunai (BLT), pengawasan melekat (waskat) untuk mengatasi korupsi, dan lain-lain. Semuanya hanya berlangsung seumur jagung dan menjadi kebijakan "3M": menggagas, melaksanakan, dan menghilang.
Menyiapkan Nomor Induk Kependudukan (NIK)
Negeri semaju Inggris, yang nomor induk kependudukannya sudah tertata rapi saja butuh waktu belasan tahun untuk merencanakan, melaksanakan, dan mengawasi program subsidi BBM rumah tangga, Indonesia sebaliknya. Negeri yang penduduknya bisa mempunyai kartu tanda penduduk (KTP) empat buah di satu kecamatan ini berlagak bisa membuat smart card untuk mengatur pembelian bensin subsidi hanya dalam beberapa bulan.
Siapa pun pasti ragu. Pemerintah mestinya jauh hari sudah membuat NIK, sebagai infrastruktur awal untuk melaksanakan berbagai program subsidi tersebut. NIK ini penting sekali sebagai basis data awal untuk merencanakan setiap program pemerintah dalam mengatasi berbagai masalah seperti kemiskinan pangan, kemiskinan energi, kemiskinan biaya pendidikan, kesehatan, dan lain-lain. Tanpa NIK semuanya akan gelap. Tapi apa yang terjadi? Sampai hari ini proyek NIK terkatung- katung. Setiap instansi pemerintah merasa berhak membuat NIK. Ditjen Pajak merasa paling berhak mendapat proyek NIK.
Depdagri juga merasa proyek NIK adalah miliknya. Kementrian Negara Pendayagunaan Aparatur Negara (PAN) juga merasa paling berhak membuat NIK. Proyek NIK jadi rebutan. Mereka berebut NIK bukan karena ingin menjadi pahlawan untuk membenahi basis data kependudukan negeri ini, tapi sekadar mencari rente dari proyek NIK yang biayanya amat mahal tersebut.
Akibat tiadanya NIK ini hampir setiap program pemerintah untuk menaikkan kesejahteraan masyarakat terbengkalai. Program subsidi pupuk digelapkan. Program BLT tidak tepat sasaran. Program BBM subsidi diselundupkan ke luar negeri. Tragisnya, dari berbagai kekacauan ini pemerintah tampaknya tak mau belajar. Kebijakan kebijakan instan model Loro Jonggrang masih terus saja dilakukan. Jadilah energi bangsa ini habis. Celakanya, dalam kasus smart cardini Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral yang seharusnya mengelola energi untuk menyejahterakan rakyat, malah menguras energi dan memperdagangkannya untuk mencekik rakyat. (*)
Hampir semua terobosan yang dibuat pemerintah seperti tiada artinya. Benturan kepentingan sepertinya tidak bias terlelakkan dan ironisnya justri tidak bias dipecahkan oleh orang yang duduk di pemerintahan itu sendiri. Akibatnya, kembali rakyat dan masyarakat luas menjadi korban “kebiadaban” ketidakjelasan langkah mereka.
Pemerintah kembali bimbang menghadapi kenaikan harga BBM dunia. Alih-alih mencari solusi yang bisa menyelesaikan masalah secara komprehensif, yang dilakukan malah membuat kebijakan smart card -penjatahan konsumsi BBM untuk jenis-jenis kendaraan tertentu dengan kartu pintar (smart card) sebagai pengendali- yang rawan korupsi. Pemerintah, misalnya, akan mengharuskan kendaraan pribadi di atas 2000 cc untuk memakai Pertamax.
Adapun kendaraan pribadi kurang dari 2000 cc akan dijatah bahan bakarnya dengan jumlah tertentu. Kendaraan umum dan angkutan barang juga akan diatur berapa BBM yang mesti dikonsumsi. Bagaimana pemerintah bisa mengontrol mobil-mobil pribadi yang membeli premium berkali-kali di berbagai pompa bensin full tankuntuk dijual lagi ke pemilik mobil-mobil 2000 cc ke atas? Jika setiap pembeli premium di pompa bensin diperiksa STNK dan kartu penduduknya, betapa bertele-telenya proses pembelian bahan bakar tersebut. Niscaya akan timbul ketegangan antarpembawa mobil karena kemacetan dan antre di setiap bom bensin.
Walhasil, kebijakan smart card ini akan memicu munculnya berbagai modus penipuan pembelian BBM. Betapa tidak, kartu kredit dari berbagai bank dan issuer yang memakai teknologi networking modern saja banyak yang dipalsukan, apalagi smart card bikinan Pertamina, sebuah institusi yang dari dulu terkenal dengan megakorupsinya.
Belajar dari Inggris
Sejak melambungnya harga BBM 1998, Inggris juga punya rencana membuat semacam smart card, untuk mengatur subsidi kepada rakyatnya yang tergolong menderita fuel poverty.
Pertama, pemerintah mendefinisikan apa itu fuel poverty. Fuel poverty adalah sebuah rumah tangga yang lebih dari sepertiga pendapatannya terpakai untuk membeli bahan bakar (untuk listrik, masak, dan penghangat rumah di musim dingin, dan lain-lain). Mereka inilah yang perlu disubsidi.
Tetapi kemudian berbagai persoalan muncul, benarkah orang yang lebih dari sepertiga pendapatannya terpakai untuk membeli BBM (membayar semua kebutuhan listriknya) adalah orang yang butuh subsidi? Lalu, betulkah orang dengan kebutuhan BBM kurang dari sepertiga dari income-nya tidak butuh subsidi? Setelah diteliti, permasalahannya sangat kompleks. Penelitian East Anglia University, misalnya, menemukan ternyata banyak keluarga yang tidak merasa miskin dan tidak butuh subsidi, meski kebutuhan BBM-nya lebih dari sepertiga income-nya.
Sebaliknya, banyak pula keluarga yang kebutuhan BBM-nya kurang dari sepertiga incomenya merasa miskin dan butuh subsidi. Masalahnya lebih kompleks lagi ketika menghitung siapa saja yang berhak mendapatkan subsidi? Rumah tangga yang jumlah keluarganya besar, rumah tangga pensiun, janda, dan lainlain. Pendeknya, banyak sekali variabel untuk menentukan siapa-siapa saja yang bisa mendapatkan subsidi. Akibat kompleksnya masalah, Pemerintah Inggris terus melakukan penelitian intensif dan berharap pada 2016 keputusan yang tepat bisa diambil dan subsidi BBM yang tepat sasaran bisa terlaksana di seluruh Inggris.
Bayangkan, sejak punya rencana memberikan subsidi harga BBM kepada masyarakat, pemerintah membutuhkan waktu 18 tahun untuk mengatur kriteria-kriteria yang pas agar subsidi itu tidak meleset, mengatur infrastruktur, dan mencegah berbagai kemungkinan penyelewengannya dengan segala macam aturan dan ancaman-ancaman hukuman bagi pelanggarnya.
Berbagai lembaga penelitian, pemerintah swasta, dan perguruan tinggi pun dikerahkan untuk menelitinya. Semua itu agar subsidi harga BBM tidak salah arah. Apa yang bisa kita petik dari kasus "smart card" di Inggris itu? Pemerintah betul-betul merencanakannya dengan matang, dari awal sampai akhir sekaligus dengan segala kemungkinan-kemungkinannya. Itu terjadi di Inggris, di negeri dengan jumlah penduduk sekitar seperempat penduduk Indonesia dan sebagian besar dari mereka tinggal di mainland.
Bayangkan bila kejadiannya di Indonesia yang berpenduduk lebih dari 220 juta dan tersebar di ribuan pulau besar dan kecil yang kadang amat terpencil. Siapa pun akan menyatakan susah sekali mendata problem BBM terhadap penduduk yang sebarannya amat luas itu. Tapi apa lacur. Bagi Departemen ESDM, hal itu tampaknya tidak ada masalah. Para petinggi di Pertamina dan Departemen ESDM mungkin masih terpesona dengan keajaiban Loro Jonggrang yang bisa membangun candi Prambanan hanya semalam. Bayangkan, gagasan membuat smart card untuk mengatasi besarnya subsidi BBM baru digaungkan beberapa hari lalu dan pemerintah akan menerapkannya pada tahun ini juga.
Hebat bukan? Karena itu, hampir dapat dipastikan, kebijakan smart card akan bernasib sama-bahkan lebih kacau dan memilukan- dibanding kebijakan Pemda DKI (Perda Antirokok), juga bantuan langsung tunai (BLT), pengawasan melekat (waskat) untuk mengatasi korupsi, dan lain-lain. Semuanya hanya berlangsung seumur jagung dan menjadi kebijakan "3M": menggagas, melaksanakan, dan menghilang.
Menyiapkan Nomor Induk Kependudukan (NIK)
Negeri semaju Inggris, yang nomor induk kependudukannya sudah tertata rapi saja butuh waktu belasan tahun untuk merencanakan, melaksanakan, dan mengawasi program subsidi BBM rumah tangga, Indonesia sebaliknya. Negeri yang penduduknya bisa mempunyai kartu tanda penduduk (KTP) empat buah di satu kecamatan ini berlagak bisa membuat smart card untuk mengatur pembelian bensin subsidi hanya dalam beberapa bulan.
Siapa pun pasti ragu. Pemerintah mestinya jauh hari sudah membuat NIK, sebagai infrastruktur awal untuk melaksanakan berbagai program subsidi tersebut. NIK ini penting sekali sebagai basis data awal untuk merencanakan setiap program pemerintah dalam mengatasi berbagai masalah seperti kemiskinan pangan, kemiskinan energi, kemiskinan biaya pendidikan, kesehatan, dan lain-lain. Tanpa NIK semuanya akan gelap. Tapi apa yang terjadi? Sampai hari ini proyek NIK terkatung- katung. Setiap instansi pemerintah merasa berhak membuat NIK. Ditjen Pajak merasa paling berhak mendapat proyek NIK.
Depdagri juga merasa proyek NIK adalah miliknya. Kementrian Negara Pendayagunaan Aparatur Negara (PAN) juga merasa paling berhak membuat NIK. Proyek NIK jadi rebutan. Mereka berebut NIK bukan karena ingin menjadi pahlawan untuk membenahi basis data kependudukan negeri ini, tapi sekadar mencari rente dari proyek NIK yang biayanya amat mahal tersebut.
Akibat tiadanya NIK ini hampir setiap program pemerintah untuk menaikkan kesejahteraan masyarakat terbengkalai. Program subsidi pupuk digelapkan. Program BLT tidak tepat sasaran. Program BBM subsidi diselundupkan ke luar negeri. Tragisnya, dari berbagai kekacauan ini pemerintah tampaknya tak mau belajar. Kebijakan kebijakan instan model Loro Jonggrang masih terus saja dilakukan. Jadilah energi bangsa ini habis. Celakanya, dalam kasus smart cardini Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral yang seharusnya mengelola energi untuk menyejahterakan rakyat, malah menguras energi dan memperdagangkannya untuk mencekik rakyat. (*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar