Perang Tarif tak Menjadi Masalah
PASAR dan bisnis layanan komunikasi di Indonesia secara umum terus bertambah. Nilai investasi yang ditanamkan untuk sekedar melayani sebuah daerah diyakini bakal kembali dalam waktu yang realtif singkat.
Itulah kenapa saat ini hampir seluruh operator seluler saling berlomba untuk memenangkan hati para pengguna komunikasi di Indonesia. Catatan sementara mengemukakan jika nyaris 90 persen masyarakat Indonesia menggunakan saluran teknologi komunikasi sebagai bagian dari hidupnya. Bagi mereka tanpa komunikasi jelas menjadi sebuah kematian yang sangat menyakitkan.
Paling deskriptif yang bisa kita lihat dalam fenomena saat ini adalah pengembangan dan perebutan pasar yang menggunakan genre apapun demi menarik konsumen sebanyak-banyaknya. Fenomena menariknya, meskipun tarif seluler di Indonesia menjadi satu di antara yang termahal di dunia, namun tetap saja konsumen komunikasi di Indonesia terus memburu.
Pada akhirnya, masing-masing perusahaan operator seluler dibuat terpacu untuk memberikan yang terbaik, tidak hanya dari sisi layanan Based Tranceiver Statiton (BTS) saja, tapi lebih dari itu tarif dan fitur layanan juga menjadi perhatian utama yang diharapkan bisa menjadi daya tarik tersendiri bagi konsumen.
Tak heran jika aplikasi di lapangan menunjukkan perang tarif dan layanan sudah menjadi komponen utama industri komunikasi seluler di Indonesia. Bukan berarti mengecilkan peran komunikasi kabel, namun jelas sistem wireless communication technology ini memberikan efek kontinyuitas dan efisiensi bagi si pemakai. Karena itulah, setiap apapun produk yang diluncurkan operator seluler tetap memiliki daya tarik sendiri. Di lain sisi jelas bakal terjadi tarik menarik dan bisa jadi tergambar sebuah disparitas konsumsi yang sangat mencolok.
Perang tarif secara nasional sendiri sudah terjadi sejak tahun 2000 lalu. Memasuki milenia baru, saat pemerintah membuka selebar-lebarnya akses untuk mendirikan bisnis komunikasi, mulai saat itulah iklim bisnis komunikasi di Indonesia benar-benar terbuka. Tidak lagi sekedar PT Telkom dengan layanan komunikasi kabelnya, namun berturut-turut muncul produk SIM Card yang beragam.
Pada akhirnya, perang tarif memang tidak akan terelakkan. Meski terkadang korban berjatuhan akibat kanibalisme itu sendiri, namun di sisi lain pergerakan impulsif dari bisnis ini membuat konsumen dan operator harus bekerja keras. Di satu sisi bekerja kerasa untuk lebih inovatif di level company, konsumen pun harus bekerja keras untuk memberikan yang terbaik buat dirinya. Meski tidak bisa mengabaikan peran distributor, namun tetap saja sektor hulu dan akhir hilir ini menjadi kunci tersendiri di bisnis komunikasi seluler ini.
Konklusi dari perkembangan dan persaingan bisnis komunikasi nirkabel ini adalah semakin banyaknya pilihan yang harus ”dimakan” konsumen itu. Tak heran, sebagai objek dari industri telekomunikasi, konsumen di satu sisi tetap menjadi pemegang haluan, di lain pihak pengguna juga bakal dibuat semakin bingung. Istilahnya, konsumen pun tak terasa dibawa arus yang semakin untung sekaligus bingung.
Menguntungkan, karena dengan adanya perang tarif jelas memberikan efek benefit yang lebih besar. Apalagi kekuatan ekonomi masyarakat saat ini, jelas sisi tarif menjadi barang yang pertama kali dilihat. Sistem ini memang sudah terjadi di level produk konsumsi lainnya. Tentu orang akan melihat harga terlebih dulu sebelum memutuskan untuk membeli dan atau menggunakan sebuah barang.
BTS
Begitupun dengan perang tarif di segmen komunikasi, konsumen juga semakin untung dengan kondisi pelbagai kebijakan tarif yang semakin lama semakin menjurus pada nilai terendah. Otomatis pengeluaran untuk berkomunikasi dalam keseharian semakin murah dan rendah.
Namun di sisi lain, jelas terlihat konsumen komunikasi nirkabel bakal semakin bingung dengan kenyataan semakin cepatnya frekuensi perubahan tarif di masing-masing operator. Akibatnya jelas, konsumen yang tidak memiliki basis data solid bakal mengalami goncangan tiap kali ada program baru sebuah perusahaan operator seluler. Terkadang perang batin pun bisa terjadi sebagai akibat semakin seringnya sebuah produk mengeluarkan segmentasi tarif yang berbeda. Beberapa perusahaan komunikasi seluler seperti Indosat, Telkomsel, Excelcomindo Pratama, Sinar Mas Telecommunication, Bakrie Telecom, Mobile-8, Sampoerna Telecommunication dan beberapa operator luar negeri, menjadi sebuah gurita persaingan seluler. Nah, perang tarif kini seolah sudah menjadi kewajiban untuk memberikan ”vitamin dan penambah rasa” terhadap sebuah produk sehingga konsumen pun bakal melirik produk tersebut.
Yang menarik, dari beberapa produk telekomunikasi di pasaran, hanya ada beberapa saja yang tidak terpengaruh terhadap anomali persaingan tarif tersebut. Biasanya kekuatan produk tersebut terletak pada kompetensi nama penyedia jasa layanan dan piranti infrastruktur yang mumpuni.
Nah, untuk yang satu ini jelas produk TelkomFlexi bisa menjadi acuan tersendiri. Perintis produk layanan CDMA massal ini telah terbukti tidak terpengaruh dengan akumulasi dan differensiasi pergolakan tarif layanan ponsel.
Nyaris basic data pengguna cenderung tidak bisa berpindah ke lain hati, bahkan dari tahun ke tahun pecintanya semakin banyak. Tak heran jika saat ini bisa dibilang konsumen produk Flexi nyaris tidak terpengaruh dengan komponen lain. Meski terkadang agak terasa dengan kehadiran produk pesaing, namun perang tarif yang ada tidak berhasil menggugat eksistensi TelkomFLexi.
Meski nyaris tidak selalu jor-joran dalam mengeluarkan paket kebijakan tarif ke pelanggan, namun tetap saja faktor pengalaman dan basis pelayanan menjadi kekuatan tersendiri. Dalam perjalanan sejarah, basic atau dasar yang kuat jelas menjadi tenaga raksasa yang sangat penting guna menopang perjalanan bisnis komunikasi.
Inilah yang dimiliki Flexi. Fakta membuktikan jika tidak setiap enam bulan sekali Telkom mengeluarkan harga khusus terhadap layanan Flexi. Sistem bertahap yang diterapkan dan kesan tidak tergesa-gesa jelas menjadi faktor di balik itu semua. Perang tarif antar sesama operator CDMA maupun GSM tidak dilayani dengan frontal. Sebaliknya, dengan faktor sumber daya manusia yang berpengalaman puluhan tahun dalam melayani pelanggan, Flexi secara perlahan namun pasti berhasil merebut ”tarif” itu sendiri. Embel-embel tanpa syarat menjadi daya rangsang dan daya tarik tersendiri bagi konsumen untuk tetap mematok dan menambatkan hatinya di layanan Flexi.
Yang lebih penting lagi, ”kekecewaan” dan gangguan terhadap layanan itu sendiri menjadi big power yang tak terbantahkan dan tidak akan mampu menggoyahkan data base pengguna konsumen tentunya. (tribunbatam.co.id/nurfahmi)
PASAR dan bisnis layanan komunikasi di Indonesia secara umum terus bertambah. Nilai investasi yang ditanamkan untuk sekedar melayani sebuah daerah diyakini bakal kembali dalam waktu yang realtif singkat.
Itulah kenapa saat ini hampir seluruh operator seluler saling berlomba untuk memenangkan hati para pengguna komunikasi di Indonesia. Catatan sementara mengemukakan jika nyaris 90 persen masyarakat Indonesia menggunakan saluran teknologi komunikasi sebagai bagian dari hidupnya. Bagi mereka tanpa komunikasi jelas menjadi sebuah kematian yang sangat menyakitkan.
Paling deskriptif yang bisa kita lihat dalam fenomena saat ini adalah pengembangan dan perebutan pasar yang menggunakan genre apapun demi menarik konsumen sebanyak-banyaknya. Fenomena menariknya, meskipun tarif seluler di Indonesia menjadi satu di antara yang termahal di dunia, namun tetap saja konsumen komunikasi di Indonesia terus memburu.
Pada akhirnya, masing-masing perusahaan operator seluler dibuat terpacu untuk memberikan yang terbaik, tidak hanya dari sisi layanan Based Tranceiver Statiton (BTS) saja, tapi lebih dari itu tarif dan fitur layanan juga menjadi perhatian utama yang diharapkan bisa menjadi daya tarik tersendiri bagi konsumen.
Tak heran jika aplikasi di lapangan menunjukkan perang tarif dan layanan sudah menjadi komponen utama industri komunikasi seluler di Indonesia. Bukan berarti mengecilkan peran komunikasi kabel, namun jelas sistem wireless communication technology ini memberikan efek kontinyuitas dan efisiensi bagi si pemakai. Karena itulah, setiap apapun produk yang diluncurkan operator seluler tetap memiliki daya tarik sendiri. Di lain sisi jelas bakal terjadi tarik menarik dan bisa jadi tergambar sebuah disparitas konsumsi yang sangat mencolok.
Perang tarif secara nasional sendiri sudah terjadi sejak tahun 2000 lalu. Memasuki milenia baru, saat pemerintah membuka selebar-lebarnya akses untuk mendirikan bisnis komunikasi, mulai saat itulah iklim bisnis komunikasi di Indonesia benar-benar terbuka. Tidak lagi sekedar PT Telkom dengan layanan komunikasi kabelnya, namun berturut-turut muncul produk SIM Card yang beragam.
Pada akhirnya, perang tarif memang tidak akan terelakkan. Meski terkadang korban berjatuhan akibat kanibalisme itu sendiri, namun di sisi lain pergerakan impulsif dari bisnis ini membuat konsumen dan operator harus bekerja keras. Di satu sisi bekerja kerasa untuk lebih inovatif di level company, konsumen pun harus bekerja keras untuk memberikan yang terbaik buat dirinya. Meski tidak bisa mengabaikan peran distributor, namun tetap saja sektor hulu dan akhir hilir ini menjadi kunci tersendiri di bisnis komunikasi seluler ini.
Konklusi dari perkembangan dan persaingan bisnis komunikasi nirkabel ini adalah semakin banyaknya pilihan yang harus ”dimakan” konsumen itu. Tak heran, sebagai objek dari industri telekomunikasi, konsumen di satu sisi tetap menjadi pemegang haluan, di lain pihak pengguna juga bakal dibuat semakin bingung. Istilahnya, konsumen pun tak terasa dibawa arus yang semakin untung sekaligus bingung.
Menguntungkan, karena dengan adanya perang tarif jelas memberikan efek benefit yang lebih besar. Apalagi kekuatan ekonomi masyarakat saat ini, jelas sisi tarif menjadi barang yang pertama kali dilihat. Sistem ini memang sudah terjadi di level produk konsumsi lainnya. Tentu orang akan melihat harga terlebih dulu sebelum memutuskan untuk membeli dan atau menggunakan sebuah barang.
BTS
Begitupun dengan perang tarif di segmen komunikasi, konsumen juga semakin untung dengan kondisi pelbagai kebijakan tarif yang semakin lama semakin menjurus pada nilai terendah. Otomatis pengeluaran untuk berkomunikasi dalam keseharian semakin murah dan rendah.
Namun di sisi lain, jelas terlihat konsumen komunikasi nirkabel bakal semakin bingung dengan kenyataan semakin cepatnya frekuensi perubahan tarif di masing-masing operator. Akibatnya jelas, konsumen yang tidak memiliki basis data solid bakal mengalami goncangan tiap kali ada program baru sebuah perusahaan operator seluler. Terkadang perang batin pun bisa terjadi sebagai akibat semakin seringnya sebuah produk mengeluarkan segmentasi tarif yang berbeda. Beberapa perusahaan komunikasi seluler seperti Indosat, Telkomsel, Excelcomindo Pratama, Sinar Mas Telecommunication, Bakrie Telecom, Mobile-8, Sampoerna Telecommunication dan beberapa operator luar negeri, menjadi sebuah gurita persaingan seluler. Nah, perang tarif kini seolah sudah menjadi kewajiban untuk memberikan ”vitamin dan penambah rasa” terhadap sebuah produk sehingga konsumen pun bakal melirik produk tersebut.
Yang menarik, dari beberapa produk telekomunikasi di pasaran, hanya ada beberapa saja yang tidak terpengaruh terhadap anomali persaingan tarif tersebut. Biasanya kekuatan produk tersebut terletak pada kompetensi nama penyedia jasa layanan dan piranti infrastruktur yang mumpuni.
Nah, untuk yang satu ini jelas produk TelkomFlexi bisa menjadi acuan tersendiri. Perintis produk layanan CDMA massal ini telah terbukti tidak terpengaruh dengan akumulasi dan differensiasi pergolakan tarif layanan ponsel.
Nyaris basic data pengguna cenderung tidak bisa berpindah ke lain hati, bahkan dari tahun ke tahun pecintanya semakin banyak. Tak heran jika saat ini bisa dibilang konsumen produk Flexi nyaris tidak terpengaruh dengan komponen lain. Meski terkadang agak terasa dengan kehadiran produk pesaing, namun perang tarif yang ada tidak berhasil menggugat eksistensi TelkomFLexi.
Meski nyaris tidak selalu jor-joran dalam mengeluarkan paket kebijakan tarif ke pelanggan, namun tetap saja faktor pengalaman dan basis pelayanan menjadi kekuatan tersendiri. Dalam perjalanan sejarah, basic atau dasar yang kuat jelas menjadi tenaga raksasa yang sangat penting guna menopang perjalanan bisnis komunikasi.
Inilah yang dimiliki Flexi. Fakta membuktikan jika tidak setiap enam bulan sekali Telkom mengeluarkan harga khusus terhadap layanan Flexi. Sistem bertahap yang diterapkan dan kesan tidak tergesa-gesa jelas menjadi faktor di balik itu semua. Perang tarif antar sesama operator CDMA maupun GSM tidak dilayani dengan frontal. Sebaliknya, dengan faktor sumber daya manusia yang berpengalaman puluhan tahun dalam melayani pelanggan, Flexi secara perlahan namun pasti berhasil merebut ”tarif” itu sendiri. Embel-embel tanpa syarat menjadi daya rangsang dan daya tarik tersendiri bagi konsumen untuk tetap mematok dan menambatkan hatinya di layanan Flexi.
Yang lebih penting lagi, ”kekecewaan” dan gangguan terhadap layanan itu sendiri menjadi big power yang tak terbantahkan dan tidak akan mampu menggoyahkan data base pengguna konsumen tentunya. (tribunbatam.co.id/nurfahmi)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar