by noenx's
Secara pelan dan pasti penyebaran informasi dan diseminasi konsepsi SEZ semakin terbuka di ruang diskusi publik Kota Batam dan mungkin beberapa daerah lain di Indonesia yang telah mendapat persetujuan dalam tahapanudiensi bersama tim nasional SEZ. Meski masih ada antusias dan optimisme berbagai kalangan namun tak sedikit pula yang sudah jengah dengan pemberitaan celotehan pelbagai pihak tentang implementasi FTZ di BBK.
Merasa dikerjai dan dibohongi, itulah mungkin yang sebenarnya ingin diucapkan bibir masyarakat BBK dan lebih khusus para pengusahanya. Janji manis berbusa-busa selama dua tahun terakhir, hampir membelai para pengusaha dan masyarakat. Beruntung mereka kini sudah tergerak hatinya untuk bersikap cuek dengan jadi atau tidaknya implementasi FTZ BBK. Sungguh ironis memang, terkadang kebijakan ekonomi seperti FTZ BBK memang sangat mencerahkan hati, namun kalau seperti ini perjalanannya, dipastikan kengerian dan ketidakpastian bakal mendera semua kalangan, baik mayarakat, pengusaha lokal maupun calon investor asing. Mereka kini telah bangkit untuk sudah saatnya memikirkan pengembangan bisnis mereka daripada mengurus sesuatu yang tak tahu pasti kapan juntrungannya bakal selesai. Benar-benar sebuah hal yang sangat memalukan tentunya jika pemerintah tidak bisa menyelesaikan masalah "sepele" ini.
Namun sepertinya memang lebih asyik untuk menyibak sisi FTZ, baik dari dalam maupun luar. Sebuah kebijakan mikro dari SEZ yang sebenarnya sangat positif dan progressif yang mampu mempercepat reaksi dan akselerasi perekonomian Indonesia.Esensi SEZ adalah pada penciptaan iklim investasi dan komersialisasi secara komprehensif-integratif dalam konteks (1). Kepastian dan kekuatan hukum (law consistency) yang mendasarinya, (2). Kelembagaan yang akan memperkuat pelaksanaan SEZ, baik di tingkat Pusat (Dewan Pembina SEZ), di tingkat Propinsi (Dewan Kawasan SEZ), maupun di Tingkat Kabupaten/Kota (Badan Pengusahaan SEZ). Kemudian (3). Kejelasan batasan dan cakupan wilayah ekonomi (geographical areas) yang mendapat fasilitas dan perlakuan khusus, (4). Ketegasan bidang ekonomi dan sektor komersial mana saja yang perlu mendapat perlakuan khusus dan diprioritaskan, termasuk pula (5), Ketersediaan sarana dan prasarana yang ada di suatu Daerah bagi mendukung percepatan penerapan SEZ dengan segala ”multiplier effect”nya, terakhir (6). Kesiapan masyarakat tempatan, dan pengusaha lokal termasuk UKM dalam mengambil manfaat diberlakunya SEZ di Daerahnya. Hal yang pasti adalah SEZ bisa diterapkan diwaktu bersamaan di Daerah yang berbeda, namun efektifitas dan implikasi SEZ sebagai model dan ”software” versi baru dibidang kebijakan ekonomi dan fiskal belum tentu sama. Hal ini perlu analisis mendalam dan terfokus tentang pemberlakuan SEZ di Daerah Otonom apalagi Daerah Otonom yang terletak di perbatasan.
”The Sixth Elements of SEZ”
“The First Element of SEZ” adalah dimensi hukum (legal bases) yang memayunginya. SEZ yang efektif dan paralel dengan stratifikasi hukum ketatanegaraan dan berlaku prinsip mendahulukan dan memberlakukan hokum yang khusus atas aturan umum-“leg droget specialis lex droget generalis” maka statusnya harus dengan Undang-undang. Apalagi di kawasan tertentu dalam SEZ akan diterapkan FTZ. Di samping UU.No.36/2000 tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas, maka UU.No.32/2004 tentang Pemerintahan Daerah pasal (9) juga mengamanatkan bahwa dalam Daerah otonom boleh dibentuk Kawasan Khusus yang apabila dalam format FTZ harus dengan Undang-undang. Namun proses formulasi dalam bentuk perundangan terlalu membutuhkan waktu dan perdebatan panjang dan multi-level, sedangkan kebijakan public ekonomi ini perlu direspons segera untuk merangsang investasi. Solusi alternative adalah dengan Perpu (Peraturan Pemerintah Pengganti UU) yang kemudian dalam jangka waktu 6 s/d 12 bulan dapat diusulkan dan dijadikan Undang-undang. Kenapa UU?, hal ini menyangkut berbagai pengecualian pasal-pasal yang “bernuansa “ non-insentif ekonomi yang harus dihapus/tidak diberlakukan/dikecualikan. “Verses exemption” atau pengecualian pasal-pasal dalam aturan umum ini ada di UU Perpajakan, Bea dan Cukai, Keimigrasian, Penanaman Modal, Agraria/Partanahan, dll. UU “bernafas sektoral” ini yang merupakan kewenangan melekat Pemerintah Pusat harus didekatkan ke pelayanan SEZ di Daerah. Saat ini Pemerintah dan DPR RI sedang melakukan “regulatory reforms” dibidang ekonomi mencakup perpajakan, penanaman modal, pertanahan, bea dan cukai, pelayaran dan kepelabuhanan termasuk RUU pajak dan retribusi daerah. Reformasi ini melahirkan model “otonomi plus” atau penguatan kebijakan otonomi Daerah dengan kebijakan ekonomi khusus di dalam Daerah Otonom.
“The Second Element of SEZ”- adalah Kelembagaan SEZ. Konsekwensi logis dari elemen pertama dengan penguatan payung hukum dan otonomi daerah adalah pada kelembagaan SEZ. Secara hierarkis-organisasional, tiga lini-institusional SEZ ada di Pusat, Propinsi dan Kabupaten/Kota. Mengingat SEZ adalah kebijakan ekonomi khusus (wewenang pusat di bidang moneter dan fiskal) namun secara parsial di kawasan khusus dalam Daerah Otomom, maka kelembagaan SEZ harus bernafaskan otonomi daerah. Karena SEZ sama dengan ”Otonomi Daerah Plus”, yang membedakakannya dengan Daerah Otonom lainnya yang tidak diperlakukan SEZ. Apabila SEZ mematikan hak-hak otonom, maka SEZ akan kehilangan ”roh” demokrasi ekonomi dalam arti-kontra reformasi.
Idealnya, SEZ diwujudkan melalui pendelegasian wewenang Pusat ke Daerah secara institusional dalam bentuk Dewan Kawasan (Regulator SEZ) yang diketuai oleh Gubernur sebagai Wakil Pemerintah Pusat di Daerah dengan para wakilnya Bupati/Walikota yang didalam Kabupaten/Kotanya terdapat SEZ. Kemudian Dewan Kawasan ini yang akan membentuk, mengatur dan membina Badan Pengusahaan SEZ yang berfungsi sebagai “operator SEZ”. Pemerintah Pusat dalam kelembagaan SEZ sudah terwakilkan baik di Dewan Pembina, Dewan Kawasan maupun Badan Pengusahaan sesuai dengan eselonering dan penyetaraan eselonering atau non-eselonering sejauh diisi oleh para pejabat technorat berkompeten atau para profesional non-birokrat. Asosiasi pengusaha seperti Kadin, Apindo, HKI, REI, Arsita, dll duduk dalam Dewan Kawasan dan Badan Pengusahaan dalam semua tingkatan dalam arti memberikan masukan kebijakan bukan dalam arti pengambil kebijakan (policy maker) karena kebijakan SEZ tetap menjadi hak prerogatif-entitled Pemerintah.
”The Third Element of SEZ” bahwa daerah geografis SEZ harus tegas karena dalam SEZ dapat dibentuk FTZ atau EPZ (Economic Processing Zone) dalam bentuk ”industrial park”, bahkan HtZ (High-tech Zone) dalam bentuk ”techno-park”, atau mungkin STZ (Special Tourism Zone) dalam bentuk KWTE (kawasan Wisata Terpadu Exclusif). Sebagai ilustrasi SEZ Kota Batam dapat diberlakukan di seluruh pulau (236 buah) atau tujuh pulau yang disambung oleh enam jembatan (Batam, Tonton, Nipah, Setokok, Rempang, Galang, dan Galang Baru) atau pulau Batam saja. Batam SEZ mencakup seluruh Kawasan Berikat (Bonded Zone Plus) di 16 Kawasan Industri di jadikan FTZ termasuk kawasan industri berakses pelabuhan dijadikan FTZ plus ”Free Port-partikelir” seperti Batu Ampar, Sekupang-Tanjung Uncang dan Kabil.
Sedangkan dalam SEZ Batam diharapkan juga terdapat STZ (Special Tourism Zone)-kawasan khusus belanja seperti STZ-Nongsa, STZ Marina City dan STZ Nagoya. Model STZ lain dapat dalam bentuk DFS (Duty Free Shops) atau DFH (Duty Free Hotels) untuk tamu yang menginap di hotels atau dengan menjadikan Nagoya sebagai Zona Syurga Belanja (SPZ/Shopping Paradises Zone). Kenapa Nagoya? Karena Nagoya memiliki jaringan hotel (31 berbintang dan 61 melati) dan berbagai mall dan shopping complexes. Pemerintah dapat membatasi zone ini dengan membentuk garis imajiner STZ melalui ”hotel chains” atau jaringan hotel (Royal Hotel, Nagoya Plaza, Virgo hotel, Seruni Hotel, Puri Garden, Island Garden, Sarijaya, Goodway, Harmoni, Planet Holiday, Hotel 2000, Melia Panorama, Grand Majesty, Novotel, Hotel Kapal, Harbour Front, Oasis, dll), Keterkaitan komersial kawasan ini diperkuat dengan menyatunya berbagai mall dan shopping centers (Mega Mall, Batam City Square, Top 100, Lucky Plaza, Centerpoint, Ramayana Department store, Pasar Induk Jodoh, termasuk pusat bisnis baru di Nagoya Hill new CBD dan Tang Trade Center, serta serangkaian 3 hotel baru bintang empat yang sedang dibangun di kawasan NTZ (Nagoya Tourism Zone). Kawasan ini akan semakin menarik apabila telah terealisasinya ”city-pedestrian walk” dalam kota seperti Jodoh Boulevard ataupun ”boardwalk” pinggir pantai yang akan dibangun yang menghubungkan dari Harbour Front City sampai ke Pasar Jodoh dalam bentuk ”Bay View City Promenade”-sarana pejalan kaki yang menyisiri bibir pantai dengan pemandangan Teluk Jodoh.
”The Fourth Element of SEZ” adalah berkaitan dengan sektor ekonomi yang diprioritaskan mendapat perlakuan khusus Mengingat SEZ masih berada di wilayah pabean Indonesia, berbeda dengan FTZ/EPZ (luar wilayah pabean Indonesia), maka harus ada kejelasan akan fasilitas fiskal dan insentif ekonomi apa saja yang akan diberikan. Idealnya segala bentuk faktor-faktor ekonomi yang bisa mempengaruhi kinerja ekonomi dikawasan SEZ harus diberi insentif fiskal dan moneter. Baik barang produksi, konstruksi, transportasi maupun konsumsi. Bentuk ekstrim bebas pajak (free taxes) bisa diberikan di FTZ/EPZ/STZ/DFS seperti ”tax holiday-5,10-15 tahun akan tetapi pengurangan, pengecualian terbatas atau penundaan pajak (tax reduction and exemption) harus diberikan bagi seluruh masyarakat dan pelaku ekonomi di Batam termasuk pemasukan sembako dan sektor informal. Jika tidak ada kemudahan bagi barang konsumsi impor, tujuan SEZ mewujudkan ”low cost economic area” akan gagal karena tanpa bebas impor sembako akan mempengaruhi kenaikan harga dan akan menggiring ke phenomena UMR (upah minimum regional) yang semakin tinggi dan memberatkan pengusaha dan masyarakat pekerja. Hal ini sejalan dengan landasan philosofis dan konsepsional SEZ. ”Special”: kenapa ia menjadi khusus, ”Economic”: apa dan sektor mana yang dikhususkan, dan ”Zone”: kawasan mana yang perlu dikhususkan. Jika tidak ada yang ”dikhususkan”, konsep SEZ menjadi berlawanan arti (contradiction in terminis).
”The Fifth Element of SEZ” yakni penyediaan infrastruktur ekonomi dan utilitas sosial. SEZ membutuhkan daya rangsang fisik untuk berkembang. SEZ sama artinya dengan ”investable area” atau daerah yang kondusif bagi ”capital and physical investment”. SEZ lebih merefleksikan “economic software” bagi masuknya investasi. Ia baru implementatif apabila ada infrastruktur fisik yang berfungsi sebagai “economic hardware”. Inipun tidak cukup efektif tanpa dibarengi dengan kesiapan sumber daya manusia (economic brain-ware). Berbicara SEZ selalu melekat issu kawasan yang dikhususkan secara ekonomi. Kawasan memuat makna lahan dan pembangunan fisik yang ada diatasnya. Keduanya menjadi sarana dan prasarana yang merupakan basis utama SEZ itu sendiri. Jalan, jembatan, pelabuhan, pergudangan, perkantoran, perhotelan, perbankan, kawasan industri dengan utilitas seperti air, listrik, telekomunikasi, sangat menentukan bekerjanya mesin SEZ.
Dibandingkan dengan 10 kawasan lainnya yang akan diterapkan SEZ baik di Sumatera Utara, Banten, Sulawesi Selatan, Kalimantan Timur, maka Propinsi Kepulauan Riau jauh lebih siap. Propinsi Kepri memiliki berbagai keunggulan dalam menangkap peluang SEZ bagi kemajuan daerah dan kontribusinya bagi kemajuan nasional. Propinsi Kepri semenjak dulu sudah “berpengalaman” sebagai “Daerah Bebas Ekonomi”. Secara historikal SEZ ibarat “mengangkat barang yang terendan” saja di Daerah “Kewedanaan Dollar” 1947-1966. Apalagi semenjak 1970-2004 Batam sudah berpengalaman sebagai “Bonded Zone de jure- Free Trade Zone de facto” dan sampai saat ini mendapat perlakuan khusus sebagai BZP (Bonded Zone Plus). Batam telah lama menjadi “regional branding” sebagai kawasan ITT (Industry-Trade-Tourism). SEZ juga membutuhkan letak yang strategis bagi akses pasar, transportasi dan distribusi jasa dan barang produksi dan konsumsi. Faktor geo-stratejik ini menjadi bahagian dari esensi SEZ itu sendiri, karena SEZ baru efektif di zona stratejik ekonomis secara geografis (geo-economy). Geo-stratejik ini menjadikan SEZ tidak terlepas dari perkembangan kemajuan Singapura.
“The Sixth Element of FTZ”-yakni implikasinya terhadap masyarakat tempatan dan pengusaha lokal. SEZ dalam konteks ini harus memberikan kontribusi positif pada industri kecil dan ekonomi kerakyatan yang ada di dalam kawasan SEZ termasuk ekonomi kelautan dan perikanan. Dalam skala lebih luas, SEZ juga harus membuka peluang bagi berkembangnya ekonomi pulau-pulau disekitarnya yang tidak masuk kawasan SEZ. Visi idealnya “Kota Batam menjadi Bandar Dunia Madani dan sebagai lokomotif pembangunan ekonomi regional”-RPJM Walikota baru (2006-2011), tentunya menginginkan SEZ di Kota Batam memberikan nilai tambah bagi perkembangan kawasan di sekitarnya.
SEZ memang konsep Pemerintah Pusat, namun ide pengembangannya harus berdimensi kedaerahan, karena implikasi social ekonomi dan konsekwensi atas berlakunya SEZ akan sangat dirasakan di Daerah. Disinilah konsep dasar SEZ di Daerah Otonom harus memperkuat otonomi daerah dalam bentuk “Otonomi Plus” bukan “Otonomi Minus”. Jika ia menjadi “Otonomi Minus” maka SEZ akan sulit mencapai dua sasaran utamanya; yakni menggairahkan investasi di Daerah sekaligus sebagai mesin ekonomi bagi pertumbuhan regional yang sekaligus bahagian yang tidak terpisahkan bagi kemajuan pembangunan ekonomi nasional. SEZ dalam perspektif social diharapkan juga dapat memperkuat dimensi sosio-kultural, meskipun esensi SEZ lebih ke konsep ekonomi. Dalam konteks ini, nilai jual SEZ adalah pada “local content” yakni keunggulan dan kearifan lokal dalam semua aspek yang memperkuat struktur ekonomi termasuk didalamnya rekayasa social, stabilitas politik, suasana aman, kelestarian lingkungan, kepastian hukum dan partisipasi social. SEZ dalam analisis ini merupakan suatu strategi ekonomi dalam dimensi kebijakan yang diharapkan dapat meminimalisir kompleksitas problema investasi yang ada saat ini. SEZ adalah “shortcut” kebijakan ekonomi ditataran pusat bagi percepatan pembangunan di Daerah. Karena Daerah adalah daerahnya Pusat dan Pusat adalah pusatnya Daerah, maka SEZ akan semakin memperkuat NKRI dari perspektif ekonomi. Hanya saja dalam SEZ aspek kajian geo-politik dan ketahanan nasional tidak boleh diabaikan. “Dual policies” dalam SEZ dibutuhkan karena aspek keamanan territorial (security) dan kesejahteraan ekonomi (prosperity) harus berada dalam satu kerangka SEZ-NKRI. Semoga ini semua bukan hanya teori belaka....(foto.www.google.com)
Merasa dikerjai dan dibohongi, itulah mungkin yang sebenarnya ingin diucapkan bibir masyarakat BBK dan lebih khusus para pengusahanya. Janji manis berbusa-busa selama dua tahun terakhir, hampir membelai para pengusaha dan masyarakat. Beruntung mereka kini sudah tergerak hatinya untuk bersikap cuek dengan jadi atau tidaknya implementasi FTZ BBK. Sungguh ironis memang, terkadang kebijakan ekonomi seperti FTZ BBK memang sangat mencerahkan hati, namun kalau seperti ini perjalanannya, dipastikan kengerian dan ketidakpastian bakal mendera semua kalangan, baik mayarakat, pengusaha lokal maupun calon investor asing. Mereka kini telah bangkit untuk sudah saatnya memikirkan pengembangan bisnis mereka daripada mengurus sesuatu yang tak tahu pasti kapan juntrungannya bakal selesai. Benar-benar sebuah hal yang sangat memalukan tentunya jika pemerintah tidak bisa menyelesaikan masalah "sepele" ini.
Namun sepertinya memang lebih asyik untuk menyibak sisi FTZ, baik dari dalam maupun luar. Sebuah kebijakan mikro dari SEZ yang sebenarnya sangat positif dan progressif yang mampu mempercepat reaksi dan akselerasi perekonomian Indonesia.Esensi SEZ adalah pada penciptaan iklim investasi dan komersialisasi secara komprehensif-integratif dalam konteks (1). Kepastian dan kekuatan hukum (law consistency) yang mendasarinya, (2). Kelembagaan yang akan memperkuat pelaksanaan SEZ, baik di tingkat Pusat (Dewan Pembina SEZ), di tingkat Propinsi (Dewan Kawasan SEZ), maupun di Tingkat Kabupaten/Kota (Badan Pengusahaan SEZ). Kemudian (3). Kejelasan batasan dan cakupan wilayah ekonomi (geographical areas) yang mendapat fasilitas dan perlakuan khusus, (4). Ketegasan bidang ekonomi dan sektor komersial mana saja yang perlu mendapat perlakuan khusus dan diprioritaskan, termasuk pula (5), Ketersediaan sarana dan prasarana yang ada di suatu Daerah bagi mendukung percepatan penerapan SEZ dengan segala ”multiplier effect”nya, terakhir (6). Kesiapan masyarakat tempatan, dan pengusaha lokal termasuk UKM dalam mengambil manfaat diberlakunya SEZ di Daerahnya. Hal yang pasti adalah SEZ bisa diterapkan diwaktu bersamaan di Daerah yang berbeda, namun efektifitas dan implikasi SEZ sebagai model dan ”software” versi baru dibidang kebijakan ekonomi dan fiskal belum tentu sama. Hal ini perlu analisis mendalam dan terfokus tentang pemberlakuan SEZ di Daerah Otonom apalagi Daerah Otonom yang terletak di perbatasan.
”The Sixth Elements of SEZ”
“The First Element of SEZ” adalah dimensi hukum (legal bases) yang memayunginya. SEZ yang efektif dan paralel dengan stratifikasi hukum ketatanegaraan dan berlaku prinsip mendahulukan dan memberlakukan hokum yang khusus atas aturan umum-“leg droget specialis lex droget generalis” maka statusnya harus dengan Undang-undang. Apalagi di kawasan tertentu dalam SEZ akan diterapkan FTZ. Di samping UU.No.36/2000 tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas, maka UU.No.32/2004 tentang Pemerintahan Daerah pasal (9) juga mengamanatkan bahwa dalam Daerah otonom boleh dibentuk Kawasan Khusus yang apabila dalam format FTZ harus dengan Undang-undang. Namun proses formulasi dalam bentuk perundangan terlalu membutuhkan waktu dan perdebatan panjang dan multi-level, sedangkan kebijakan public ekonomi ini perlu direspons segera untuk merangsang investasi. Solusi alternative adalah dengan Perpu (Peraturan Pemerintah Pengganti UU) yang kemudian dalam jangka waktu 6 s/d 12 bulan dapat diusulkan dan dijadikan Undang-undang. Kenapa UU?, hal ini menyangkut berbagai pengecualian pasal-pasal yang “bernuansa “ non-insentif ekonomi yang harus dihapus/tidak diberlakukan/dikecualikan. “Verses exemption” atau pengecualian pasal-pasal dalam aturan umum ini ada di UU Perpajakan, Bea dan Cukai, Keimigrasian, Penanaman Modal, Agraria/Partanahan, dll. UU “bernafas sektoral” ini yang merupakan kewenangan melekat Pemerintah Pusat harus didekatkan ke pelayanan SEZ di Daerah. Saat ini Pemerintah dan DPR RI sedang melakukan “regulatory reforms” dibidang ekonomi mencakup perpajakan, penanaman modal, pertanahan, bea dan cukai, pelayaran dan kepelabuhanan termasuk RUU pajak dan retribusi daerah. Reformasi ini melahirkan model “otonomi plus” atau penguatan kebijakan otonomi Daerah dengan kebijakan ekonomi khusus di dalam Daerah Otonom.
“The Second Element of SEZ”- adalah Kelembagaan SEZ. Konsekwensi logis dari elemen pertama dengan penguatan payung hukum dan otonomi daerah adalah pada kelembagaan SEZ. Secara hierarkis-organisasional, tiga lini-institusional SEZ ada di Pusat, Propinsi dan Kabupaten/Kota. Mengingat SEZ adalah kebijakan ekonomi khusus (wewenang pusat di bidang moneter dan fiskal) namun secara parsial di kawasan khusus dalam Daerah Otomom, maka kelembagaan SEZ harus bernafaskan otonomi daerah. Karena SEZ sama dengan ”Otonomi Daerah Plus”, yang membedakakannya dengan Daerah Otonom lainnya yang tidak diperlakukan SEZ. Apabila SEZ mematikan hak-hak otonom, maka SEZ akan kehilangan ”roh” demokrasi ekonomi dalam arti-kontra reformasi.
Idealnya, SEZ diwujudkan melalui pendelegasian wewenang Pusat ke Daerah secara institusional dalam bentuk Dewan Kawasan (Regulator SEZ) yang diketuai oleh Gubernur sebagai Wakil Pemerintah Pusat di Daerah dengan para wakilnya Bupati/Walikota yang didalam Kabupaten/Kotanya terdapat SEZ. Kemudian Dewan Kawasan ini yang akan membentuk, mengatur dan membina Badan Pengusahaan SEZ yang berfungsi sebagai “operator SEZ”. Pemerintah Pusat dalam kelembagaan SEZ sudah terwakilkan baik di Dewan Pembina, Dewan Kawasan maupun Badan Pengusahaan sesuai dengan eselonering dan penyetaraan eselonering atau non-eselonering sejauh diisi oleh para pejabat technorat berkompeten atau para profesional non-birokrat. Asosiasi pengusaha seperti Kadin, Apindo, HKI, REI, Arsita, dll duduk dalam Dewan Kawasan dan Badan Pengusahaan dalam semua tingkatan dalam arti memberikan masukan kebijakan bukan dalam arti pengambil kebijakan (policy maker) karena kebijakan SEZ tetap menjadi hak prerogatif-entitled Pemerintah.
”The Third Element of SEZ” bahwa daerah geografis SEZ harus tegas karena dalam SEZ dapat dibentuk FTZ atau EPZ (Economic Processing Zone) dalam bentuk ”industrial park”, bahkan HtZ (High-tech Zone) dalam bentuk ”techno-park”, atau mungkin STZ (Special Tourism Zone) dalam bentuk KWTE (kawasan Wisata Terpadu Exclusif). Sebagai ilustrasi SEZ Kota Batam dapat diberlakukan di seluruh pulau (236 buah) atau tujuh pulau yang disambung oleh enam jembatan (Batam, Tonton, Nipah, Setokok, Rempang, Galang, dan Galang Baru) atau pulau Batam saja. Batam SEZ mencakup seluruh Kawasan Berikat (Bonded Zone Plus) di 16 Kawasan Industri di jadikan FTZ termasuk kawasan industri berakses pelabuhan dijadikan FTZ plus ”Free Port-partikelir” seperti Batu Ampar, Sekupang-Tanjung Uncang dan Kabil.
Sedangkan dalam SEZ Batam diharapkan juga terdapat STZ (Special Tourism Zone)-kawasan khusus belanja seperti STZ-Nongsa, STZ Marina City dan STZ Nagoya. Model STZ lain dapat dalam bentuk DFS (Duty Free Shops) atau DFH (Duty Free Hotels) untuk tamu yang menginap di hotels atau dengan menjadikan Nagoya sebagai Zona Syurga Belanja (SPZ/Shopping Paradises Zone). Kenapa Nagoya? Karena Nagoya memiliki jaringan hotel (31 berbintang dan 61 melati) dan berbagai mall dan shopping complexes. Pemerintah dapat membatasi zone ini dengan membentuk garis imajiner STZ melalui ”hotel chains” atau jaringan hotel (Royal Hotel, Nagoya Plaza, Virgo hotel, Seruni Hotel, Puri Garden, Island Garden, Sarijaya, Goodway, Harmoni, Planet Holiday, Hotel 2000, Melia Panorama, Grand Majesty, Novotel, Hotel Kapal, Harbour Front, Oasis, dll), Keterkaitan komersial kawasan ini diperkuat dengan menyatunya berbagai mall dan shopping centers (Mega Mall, Batam City Square, Top 100, Lucky Plaza, Centerpoint, Ramayana Department store, Pasar Induk Jodoh, termasuk pusat bisnis baru di Nagoya Hill new CBD dan Tang Trade Center, serta serangkaian 3 hotel baru bintang empat yang sedang dibangun di kawasan NTZ (Nagoya Tourism Zone). Kawasan ini akan semakin menarik apabila telah terealisasinya ”city-pedestrian walk” dalam kota seperti Jodoh Boulevard ataupun ”boardwalk” pinggir pantai yang akan dibangun yang menghubungkan dari Harbour Front City sampai ke Pasar Jodoh dalam bentuk ”Bay View City Promenade”-sarana pejalan kaki yang menyisiri bibir pantai dengan pemandangan Teluk Jodoh.
”The Fourth Element of SEZ” adalah berkaitan dengan sektor ekonomi yang diprioritaskan mendapat perlakuan khusus Mengingat SEZ masih berada di wilayah pabean Indonesia, berbeda dengan FTZ/EPZ (luar wilayah pabean Indonesia), maka harus ada kejelasan akan fasilitas fiskal dan insentif ekonomi apa saja yang akan diberikan. Idealnya segala bentuk faktor-faktor ekonomi yang bisa mempengaruhi kinerja ekonomi dikawasan SEZ harus diberi insentif fiskal dan moneter. Baik barang produksi, konstruksi, transportasi maupun konsumsi. Bentuk ekstrim bebas pajak (free taxes) bisa diberikan di FTZ/EPZ/STZ/DFS seperti ”tax holiday-5,10-15 tahun akan tetapi pengurangan, pengecualian terbatas atau penundaan pajak (tax reduction and exemption) harus diberikan bagi seluruh masyarakat dan pelaku ekonomi di Batam termasuk pemasukan sembako dan sektor informal. Jika tidak ada kemudahan bagi barang konsumsi impor, tujuan SEZ mewujudkan ”low cost economic area” akan gagal karena tanpa bebas impor sembako akan mempengaruhi kenaikan harga dan akan menggiring ke phenomena UMR (upah minimum regional) yang semakin tinggi dan memberatkan pengusaha dan masyarakat pekerja. Hal ini sejalan dengan landasan philosofis dan konsepsional SEZ. ”Special”: kenapa ia menjadi khusus, ”Economic”: apa dan sektor mana yang dikhususkan, dan ”Zone”: kawasan mana yang perlu dikhususkan. Jika tidak ada yang ”dikhususkan”, konsep SEZ menjadi berlawanan arti (contradiction in terminis).
”The Fifth Element of SEZ” yakni penyediaan infrastruktur ekonomi dan utilitas sosial. SEZ membutuhkan daya rangsang fisik untuk berkembang. SEZ sama artinya dengan ”investable area” atau daerah yang kondusif bagi ”capital and physical investment”. SEZ lebih merefleksikan “economic software” bagi masuknya investasi. Ia baru implementatif apabila ada infrastruktur fisik yang berfungsi sebagai “economic hardware”. Inipun tidak cukup efektif tanpa dibarengi dengan kesiapan sumber daya manusia (economic brain-ware). Berbicara SEZ selalu melekat issu kawasan yang dikhususkan secara ekonomi. Kawasan memuat makna lahan dan pembangunan fisik yang ada diatasnya. Keduanya menjadi sarana dan prasarana yang merupakan basis utama SEZ itu sendiri. Jalan, jembatan, pelabuhan, pergudangan, perkantoran, perhotelan, perbankan, kawasan industri dengan utilitas seperti air, listrik, telekomunikasi, sangat menentukan bekerjanya mesin SEZ.
Dibandingkan dengan 10 kawasan lainnya yang akan diterapkan SEZ baik di Sumatera Utara, Banten, Sulawesi Selatan, Kalimantan Timur, maka Propinsi Kepulauan Riau jauh lebih siap. Propinsi Kepri memiliki berbagai keunggulan dalam menangkap peluang SEZ bagi kemajuan daerah dan kontribusinya bagi kemajuan nasional. Propinsi Kepri semenjak dulu sudah “berpengalaman” sebagai “Daerah Bebas Ekonomi”. Secara historikal SEZ ibarat “mengangkat barang yang terendan” saja di Daerah “Kewedanaan Dollar” 1947-1966. Apalagi semenjak 1970-2004 Batam sudah berpengalaman sebagai “Bonded Zone de jure- Free Trade Zone de facto” dan sampai saat ini mendapat perlakuan khusus sebagai BZP (Bonded Zone Plus). Batam telah lama menjadi “regional branding” sebagai kawasan ITT (Industry-Trade-Tourism). SEZ juga membutuhkan letak yang strategis bagi akses pasar, transportasi dan distribusi jasa dan barang produksi dan konsumsi. Faktor geo-stratejik ini menjadi bahagian dari esensi SEZ itu sendiri, karena SEZ baru efektif di zona stratejik ekonomis secara geografis (geo-economy). Geo-stratejik ini menjadikan SEZ tidak terlepas dari perkembangan kemajuan Singapura.
“The Sixth Element of FTZ”-yakni implikasinya terhadap masyarakat tempatan dan pengusaha lokal. SEZ dalam konteks ini harus memberikan kontribusi positif pada industri kecil dan ekonomi kerakyatan yang ada di dalam kawasan SEZ termasuk ekonomi kelautan dan perikanan. Dalam skala lebih luas, SEZ juga harus membuka peluang bagi berkembangnya ekonomi pulau-pulau disekitarnya yang tidak masuk kawasan SEZ. Visi idealnya “Kota Batam menjadi Bandar Dunia Madani dan sebagai lokomotif pembangunan ekonomi regional”-RPJM Walikota baru (2006-2011), tentunya menginginkan SEZ di Kota Batam memberikan nilai tambah bagi perkembangan kawasan di sekitarnya.
SEZ memang konsep Pemerintah Pusat, namun ide pengembangannya harus berdimensi kedaerahan, karena implikasi social ekonomi dan konsekwensi atas berlakunya SEZ akan sangat dirasakan di Daerah. Disinilah konsep dasar SEZ di Daerah Otonom harus memperkuat otonomi daerah dalam bentuk “Otonomi Plus” bukan “Otonomi Minus”. Jika ia menjadi “Otonomi Minus” maka SEZ akan sulit mencapai dua sasaran utamanya; yakni menggairahkan investasi di Daerah sekaligus sebagai mesin ekonomi bagi pertumbuhan regional yang sekaligus bahagian yang tidak terpisahkan bagi kemajuan pembangunan ekonomi nasional. SEZ dalam perspektif social diharapkan juga dapat memperkuat dimensi sosio-kultural, meskipun esensi SEZ lebih ke konsep ekonomi. Dalam konteks ini, nilai jual SEZ adalah pada “local content” yakni keunggulan dan kearifan lokal dalam semua aspek yang memperkuat struktur ekonomi termasuk didalamnya rekayasa social, stabilitas politik, suasana aman, kelestarian lingkungan, kepastian hukum dan partisipasi social. SEZ dalam analisis ini merupakan suatu strategi ekonomi dalam dimensi kebijakan yang diharapkan dapat meminimalisir kompleksitas problema investasi yang ada saat ini. SEZ adalah “shortcut” kebijakan ekonomi ditataran pusat bagi percepatan pembangunan di Daerah. Karena Daerah adalah daerahnya Pusat dan Pusat adalah pusatnya Daerah, maka SEZ akan semakin memperkuat NKRI dari perspektif ekonomi. Hanya saja dalam SEZ aspek kajian geo-politik dan ketahanan nasional tidak boleh diabaikan. “Dual policies” dalam SEZ dibutuhkan karena aspek keamanan territorial (security) dan kesejahteraan ekonomi (prosperity) harus berada dalam satu kerangka SEZ-NKRI. Semoga ini semua bukan hanya teori belaka....(foto.www.google.com)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar