By noenx’s
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
BAGI orang yang mungkin tidak pernah belajar sejarah ataupun ilmu arkeologis, kata Machu Picchu mungkin terasa sangat asing di telinga. Bagaimana tidak, istilah tersebut memang sempat terkubur selama ratusan tahun dan tidak semua oarang mampu mengingatnya karena terbatasnya akses untuk ke sana.
Namun mungkin ingatan orang atau pengetahuan orang akan sedikit berubaha tatkala menyebut istilah Vitcabamba. Meski masih agak aneh, namun tetap saja kata yang merujuk pada sebuah tempat itu lebih familiar dan mudah untuk dicari di dunia maya dari pada unsur yang pertama, sebuah literatur yang masih sulit untuk digapai.
Saat menghubungkan antara Machu Picchu dan Vitcabamba, tentu orang bakal lebih menaikkan alisnya, baik dikatupkan tepat di atas tulang hidung ataupun justru menaikkan satu alis matanya. Yang jelas, kedua unsur tersebut memang memiliki kedekatan sangat erat, layaknya kisah tokoh Noah dan Allie di film the Notebook ataupun pameo Romeo and Juliet yang sangat terkenal itu.
Di antara gabungan dua kata tersebut, jika Anda belum juga ingat, tentu akan menyembul sebuah bagian kerucut bernama Inca. Jika tidak juga tahu, sepertinya Anda harus segera mem-browsingnya di search engine Yahoo! Ataupun Altavista sekalipun.
Yup, sejarah Inca memang sangat luar biasa. Bahkan menjadi bagian dari dunia yang tak pernah terpisahkan. Bahkan kalau diingat, saat kurikulum 1994 diberlakukan bagi sistem pendidikan di Indonesia, Inca mendapat prioritas terbesar dalam pelajaran Sejarah.
Sekedar flash back, Peru, untuk berabad-abad merupakan tempat peradaban tertinggi Andes. Di sinilah raja matahari Inca menguasai kerajaan mahabesar terbentang 2000 mil sepanjang pegunungan Amerika Selatan.
Pada tahun 1532 kerajaan tersebut dirusak dengan tragis oleh bangsa Spanyol. Sewaktu dunia mereka diremah-remah, bangsawan Inca mengasingkan diri ke hutan yang tersembunyi di pegunungan yang tak dapat dicapai.
Di tempat itulah mereka bertahan untuk tetap menghidupkan budaya kota terakhir Inca: Vilcabamba. Beruntung ada seseorang yang memiliki kemauan besar untuk mencari kunci dari ketersembunyian kerajaan terbesar yang pernah ada di muka bumi ini.
Berlatar belakang pencarian Vitcabamba tahun 1911, seorang pelajar muda Hiram Bingham mendapati satu dari penemuan arkeologis ternama di abad ini yakni reruntuhan terindah Machu Picchu yang pada akhirnya mampu menyingkap keagungan kebudayaan dan pesona Inca ke seluruh dunia. Jika Anda belum mengerti juga berarti memang harus rajin-rajin untuk berselancar guna melihat pelbagia panorama indah masa lalu, yang kini bahkan beberapa di antaranya telah lenyap.
Sebenarnya tidak ada koherensi apapun latar di atas dengan penuturan kali ini. Namun satu catatan penting adalah sebesar apapun sebuah kekuasaan, sehebat apapun orang pada saat itu, dan segemerlap apapun dunianya saat itu, percayalah jika suatu saat nanti bakal tenggelam dan hilang untuk kemudian hanya menjadi bagian dari sejarah, itupun kalau ditemukan oleh generasi yang peduli dengan sejarah itu sendiri. Jika tidak tentu alamat nama tak terkenang, jasa tak berbekas, sejarahpun bagai asap belaka.
Bukan menjadi pesan, namun hanya sebagai ingatan jika apa yang dilakukan sekarang jelas memiliki sumbangsih besar pada saat yang akan datang. Jika tidak benar-benar berada di rel yang benar, jangan harap output dari itu semua dalam jangka waktu panjang bakal berakhir dengan rel yang baik. Pasalnya kerikil, kerusakan besi sampai pembangunan jalan mungkin saja bakal menghapuskan jejak rel yang sebenarnya akan dilewati kereta masa lalu. Akibatnya?kebingungan, hedonisme, kenangan kejayaan masa lalu dan antipati bakal menjadi bumerang tersendiri.
Apa yang tercermin dari itu jelas memiliki arti mendalam. Pernah melihat adegan dalam monolog Sarimin-nya Butet Kartarejasa?jika iya, potret kehidupan pada sisi aparat yang sepertinya itulah yang membuat tidak hanya aparat saja yang keparat, namun masyarakatnya juga bisa lebih hebat dari itu, jadi seorang bangsat. Keras dan kasar?tentu tidak untuk istilah guna menggambarkan kondisi saat ini.
Sebuah kondisi yang sangat terpuruk, lebih terpuruk dari apa yang terjadi di zaman orde baru , sebuah zaman yang dikabarkan bakal memberikan penderitaan kepada banyak orang. Namun apa realitasnya kini?catatan pertama tentu kondisi perekonomian, baik mikro maupun makro. Tidak hanya daya beli masyarakat yang rendah, tingkat ketersediaan lapangan kerja juga sangat rendah, diperparah lagi dengan laju inflasi yang terkadang membuat pemerintah panik akibat adanya gejolak alias fluktuatif harga yang tidak menentu. Pemerintah tak berdaya, rakyat menderita, pelaksana semakin berbahagia. Lho?ya jelas, karena justru terkadang aparat atau pelaksana itulah yang mensetting ini semua supaya mendapatkan keuntungan yang luar biasa di tengah terjangan penderitaan masyarakat luas. Semakin sedih tatkala harus terus melihat nilai tukar rupiah-nya Merah Putih ini tetap saja tidak pernah berdaya.
Jangankan untuk menjadi pedoman di bagian Asia Tenggara, bisa stabil dan tidak terpengaruh kondisi eksternal saja sudah menjadi prestasi yang sangat luar biasa. Namun sayang ekspektasi seperti itu tak pernah terwujud. Yang ada hanya saling cuek. Masyarakat sudah tidak punya waktu lagi untuk mengurusi hal lain di tengah balutan kemiskinan dan ketidakberdayaan mengais rejeki. Jangan lihat di daerah, di ibukota saja sudah jamak terlihat bergelimpangannya para pengemis,pengamen bahkan tukang ojek yang rela berpisah dari keluarga dan tiduran di emperan toko hanya untuk menanti esok yang juga belum tentu pasti untuk mereka. Di balik awan sana, di tempat yang tidak mungkin terjangkau mereka, semakin banyak orang yang memanfaatkan kegetiran orang lain untuk mengambil sari madu demi ecapan rasa manis diri mereka sendiri. Pemerintah yang bego, masyarakat yang bodoh, pejabat yang tak berpendidikan atau masyarakat yang tak mau sekolah?
Entahlah, yang jelas pemerintah telah membuat sebuah program nyata di level tingkat pertumbuhan ekonomi yang tahun lalu berada di angka 6,02 kini berani mematok angka tujuh persen, sebuah target yang ternyata tidak begitu lama langsung dikebiri sendiri dengan merubah susunan APBN. Sebuah inkonsistensi dan penerawangan yang tak pernah berhasil, selalu berganti dan membuat bingung orang-orang di sekitarnya. Masih beginikah kinerja dan kerja para lulusan S3 Havard, Oxford, Michigan State University, UBM, UI, ITB, IPB?sungguh menyesakkan mengingat sebenarnya yang rakyat inginkan teramat sangat sederhana, mereka cukup makan, cukup uang untuk biaya anak-anak mereka sekolah dan cukup waktu untuk menentukan masa depan yang membentang. Kondisi kini?tak jauh beda dengan 1965, hanya beda dimensinya. Bagaimana pemerintah?masihkah kau tak bisa bergerak lincah?atau menunggu hujatan dari kalangan mahasiswa yang nyata-nyata ditunggangi oknum tertentu?hanya Anda yang bisa merasakan dan memilih tuan-tuan, puan-puan, cik, pakdhe, cak, mpok, akang dan abang yang ada di jajaran plat merah sana. (foto.www.google.com)
Saat menghubungkan antara Machu Picchu dan Vitcabamba, tentu orang bakal lebih menaikkan alisnya, baik dikatupkan tepat di atas tulang hidung ataupun justru menaikkan satu alis matanya. Yang jelas, kedua unsur tersebut memang memiliki kedekatan sangat erat, layaknya kisah tokoh Noah dan Allie di film the Notebook ataupun pameo Romeo and Juliet yang sangat terkenal itu.
Di antara gabungan dua kata tersebut, jika Anda belum juga ingat, tentu akan menyembul sebuah bagian kerucut bernama Inca. Jika tidak juga tahu, sepertinya Anda harus segera mem-browsingnya di search engine Yahoo! Ataupun Altavista sekalipun.
Yup, sejarah Inca memang sangat luar biasa. Bahkan menjadi bagian dari dunia yang tak pernah terpisahkan. Bahkan kalau diingat, saat kurikulum 1994 diberlakukan bagi sistem pendidikan di Indonesia, Inca mendapat prioritas terbesar dalam pelajaran Sejarah.
Sekedar flash back, Peru, untuk berabad-abad merupakan tempat peradaban tertinggi Andes. Di sinilah raja matahari Inca menguasai kerajaan mahabesar terbentang 2000 mil sepanjang pegunungan Amerika Selatan.
Pada tahun 1532 kerajaan tersebut dirusak dengan tragis oleh bangsa Spanyol. Sewaktu dunia mereka diremah-remah, bangsawan Inca mengasingkan diri ke hutan yang tersembunyi di pegunungan yang tak dapat dicapai.
Di tempat itulah mereka bertahan untuk tetap menghidupkan budaya kota terakhir Inca: Vilcabamba. Beruntung ada seseorang yang memiliki kemauan besar untuk mencari kunci dari ketersembunyian kerajaan terbesar yang pernah ada di muka bumi ini.
Berlatar belakang pencarian Vitcabamba tahun 1911, seorang pelajar muda Hiram Bingham mendapati satu dari penemuan arkeologis ternama di abad ini yakni reruntuhan terindah Machu Picchu yang pada akhirnya mampu menyingkap keagungan kebudayaan dan pesona Inca ke seluruh dunia. Jika Anda belum mengerti juga berarti memang harus rajin-rajin untuk berselancar guna melihat pelbagia panorama indah masa lalu, yang kini bahkan beberapa di antaranya telah lenyap.
Sebenarnya tidak ada koherensi apapun latar di atas dengan penuturan kali ini. Namun satu catatan penting adalah sebesar apapun sebuah kekuasaan, sehebat apapun orang pada saat itu, dan segemerlap apapun dunianya saat itu, percayalah jika suatu saat nanti bakal tenggelam dan hilang untuk kemudian hanya menjadi bagian dari sejarah, itupun kalau ditemukan oleh generasi yang peduli dengan sejarah itu sendiri. Jika tidak tentu alamat nama tak terkenang, jasa tak berbekas, sejarahpun bagai asap belaka.
Bukan menjadi pesan, namun hanya sebagai ingatan jika apa yang dilakukan sekarang jelas memiliki sumbangsih besar pada saat yang akan datang. Jika tidak benar-benar berada di rel yang benar, jangan harap output dari itu semua dalam jangka waktu panjang bakal berakhir dengan rel yang baik. Pasalnya kerikil, kerusakan besi sampai pembangunan jalan mungkin saja bakal menghapuskan jejak rel yang sebenarnya akan dilewati kereta masa lalu. Akibatnya?kebingungan, hedonisme, kenangan kejayaan masa lalu dan antipati bakal menjadi bumerang tersendiri.
Apa yang tercermin dari itu jelas memiliki arti mendalam. Pernah melihat adegan dalam monolog Sarimin-nya Butet Kartarejasa?jika iya, potret kehidupan pada sisi aparat yang sepertinya itulah yang membuat tidak hanya aparat saja yang keparat, namun masyarakatnya juga bisa lebih hebat dari itu, jadi seorang bangsat. Keras dan kasar?tentu tidak untuk istilah guna menggambarkan kondisi saat ini.
Sebuah kondisi yang sangat terpuruk, lebih terpuruk dari apa yang terjadi di zaman orde baru , sebuah zaman yang dikabarkan bakal memberikan penderitaan kepada banyak orang. Namun apa realitasnya kini?catatan pertama tentu kondisi perekonomian, baik mikro maupun makro. Tidak hanya daya beli masyarakat yang rendah, tingkat ketersediaan lapangan kerja juga sangat rendah, diperparah lagi dengan laju inflasi yang terkadang membuat pemerintah panik akibat adanya gejolak alias fluktuatif harga yang tidak menentu. Pemerintah tak berdaya, rakyat menderita, pelaksana semakin berbahagia. Lho?ya jelas, karena justru terkadang aparat atau pelaksana itulah yang mensetting ini semua supaya mendapatkan keuntungan yang luar biasa di tengah terjangan penderitaan masyarakat luas. Semakin sedih tatkala harus terus melihat nilai tukar rupiah-nya Merah Putih ini tetap saja tidak pernah berdaya.
Jangankan untuk menjadi pedoman di bagian Asia Tenggara, bisa stabil dan tidak terpengaruh kondisi eksternal saja sudah menjadi prestasi yang sangat luar biasa. Namun sayang ekspektasi seperti itu tak pernah terwujud. Yang ada hanya saling cuek. Masyarakat sudah tidak punya waktu lagi untuk mengurusi hal lain di tengah balutan kemiskinan dan ketidakberdayaan mengais rejeki. Jangan lihat di daerah, di ibukota saja sudah jamak terlihat bergelimpangannya para pengemis,pengamen bahkan tukang ojek yang rela berpisah dari keluarga dan tiduran di emperan toko hanya untuk menanti esok yang juga belum tentu pasti untuk mereka. Di balik awan sana, di tempat yang tidak mungkin terjangkau mereka, semakin banyak orang yang memanfaatkan kegetiran orang lain untuk mengambil sari madu demi ecapan rasa manis diri mereka sendiri. Pemerintah yang bego, masyarakat yang bodoh, pejabat yang tak berpendidikan atau masyarakat yang tak mau sekolah?
Entahlah, yang jelas pemerintah telah membuat sebuah program nyata di level tingkat pertumbuhan ekonomi yang tahun lalu berada di angka 6,02 kini berani mematok angka tujuh persen, sebuah target yang ternyata tidak begitu lama langsung dikebiri sendiri dengan merubah susunan APBN. Sebuah inkonsistensi dan penerawangan yang tak pernah berhasil, selalu berganti dan membuat bingung orang-orang di sekitarnya. Masih beginikah kinerja dan kerja para lulusan S3 Havard, Oxford, Michigan State University, UBM, UI, ITB, IPB?sungguh menyesakkan mengingat sebenarnya yang rakyat inginkan teramat sangat sederhana, mereka cukup makan, cukup uang untuk biaya anak-anak mereka sekolah dan cukup waktu untuk menentukan masa depan yang membentang. Kondisi kini?tak jauh beda dengan 1965, hanya beda dimensinya. Bagaimana pemerintah?masihkah kau tak bisa bergerak lincah?atau menunggu hujatan dari kalangan mahasiswa yang nyata-nyata ditunggangi oknum tertentu?hanya Anda yang bisa merasakan dan memilih tuan-tuan, puan-puan, cik, pakdhe, cak, mpok, akang dan abang yang ada di jajaran plat merah sana. (foto.www.google.com)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar