By noenx’s
TERLALU bombastiskah?atau terlalu jauh untuk berpikiran ke arah itu?atau bahkan bisa jadi dibilang gila jika mengacu kini berjuta orang mengandalkan hidupnya pada sektor peternakan?
Seingat dulu, Indonesia selalu dibidik menjadi kalangan konsumen karena kesenangannya untuk membeli, menikmati, mengoleksi dan akhirnya tergantung pada dunia luar.
Namun hal itu tidak terjadi pada dua sektor yang saling bertautan. Itulah pertanian dan peternakan. Meski masih dalam satu bidang, yakni pertanian, namun pada realisasinya sudah tidak ada lagi disparitas dan pembedaan. Karena keduanya menjadi sebuah kesatuan yang tidak bisa dipisahkan. Sektor pertanian jelas mendukung dan membutuhkan peternakan, begitu pula kancah peternakan yang juga sangat memimpikan hadirnya pertanian yang sehat.
Kemarin, ada lagi sebuah email yang cukup membuat bulu kuduk ini berdiri. Bukan karena ketakutan ada vampire, penjahat atau apalah sejenisnya. Namun “pengabaran” jika dunia peternakan berada di ujung tanduk adalah sebuah kenyataan yang sebenarnya tidak bisa diterima nalar. Bagaimana mungkin bumi Indonesia yang memiliki banyak macam ragam tanaman istimewa yang sangat cocok untuk menghidupi semua jenis ternak, harus tergerus sendiri oleh ulah peternakan itu sendiri?
Tentu sebuah tanda tanya besar. Karena bagaimanapun bangsa ini satu di antaranya dibangun berdasar dan didukung pengembangan dunia peternakan. Tentu tidak bisa dilepaskan arti penting kehadiran produk susu dengan ragam pernik turunannya, ataupun daging sapi dan daging ayam yang sangat lezat dilidah dengan segala integralnya. Tentu sangat mencengangkan jika ternyata ada sebuah kabar betapa menderitanya kalangan dunia peternakan saat ini. Dianalisis dari segi apapun, seharusnya dunia peternakan ini tidak akan pernah mati. Konsumen yang seabreg paling tidak ada 150 juta penduduk Indonesia, jelas memberi angin segar untuk kalangan peternak. Bagaimana tidak, bisa dihitung berapa besar perputaran uang dan modal di seputar industri mereka.
Lalu kenapa itu semua justru mengancam kalangan peternakan itu sendiri. Lagi-lagi yang harus ditembak terlebih dulu jelas pemerintah. Regulasi yang tidak sepadan dan kontinyu serta tak berpihak pada peternak memberi andil terbesar dalam semakin merosotnya kalangan peternak.
Khusus di unggas misalnya, kini para peternak harus bertarung dengan semakin tingginya modal yang harus mereka keluarkan. Padahal itu tak seimbang dengan harga jual yang mereka dapatkan. Harga DOC maupun DOD selalu tinggi yang diikuti dengan semakin merangkaknya harga pangan. Belum lagi sistem biaya sanitasi dan pakan ternak yang terus membumbung. Kini perbandinganpun semakin tipis. Jika dulu masih bisa mengambil margin cukup besar, kini berada di level 10 persen saja sudah menjadi berkah luar biasa bagi mereka.
-------------------------------------------------------------------------------- -----------------------------------------------------------------------------
Tidak hanya regulasi, sistem distribusi pakan ternak juga menjadi masalah tersendiri, belum lagi semakin langkanya obat-obatan di lapangan. Entah dimana menghilangnya barang berharga tersebut, namun yang jelas begitu harganya melonjak, biasanya selalu ada barang tersebut.
Seorang dosen di sebuah perguruan tinggi di Karrisidenan Banyumas menyebut, sebenarnya pemerintah memiliki kapasitas kuat untuk menopang dan menyelamatkan sendiri dunia peternakan. Tanpa perlu bantuan pihak luar, sebenarnya dirjen, kepala dinas ataupun apalah di level plat merah jelas memiliki tangkup tersendiri untuk melancarkan ketersediaan apapun yang dibutuhkan peternak.
Satu yang pasti, meski seabreg orang pintar di lintas departemen, namun tetap saja di subsektor peternakan kurang diperhatikan kinerjanya. Bisa dilihat, jika dicermati tentu hal yang paling mencolok adalah tidak adanya ahli di bidang modelling dan simulasi.
Mengutip sedikit di email yang diterima, ia mengungkapkan jika sistem ini sangat cocok untuk diterapkan di Indonesia. Bagaimana tidak, kini peternak di kawasan Jawa Tengah, DIY, sentra peternakan di Jawa Timur dan Jawa Barat harus bersiap-siap gulung tikar. Apalagi jika cuaca tidak bersahabat, tentu kerugian lebih cepat menghampiri mereka.
Seperti halnya pada sistem ekonomi makro atau moneter. Modelling dan simulasi ini tidak hanya membuat model dengan input parameter yang asal-asalan seperti dalam mata kuliah dulu di level usaha tani. Tetapi seharusnya tampak lebih riil, sesuai dengan kondisi di masyarakat.
Misalnya sudah ada rumus, kalau harga pakan sekian, harga DOC sekian dan input-input lainnya sekian, maka harga jual telur atau daging sebaiknya sekian. Plus ada parameter kagetan seperti lebaran dan sebagainya. Kalau sekiranya harga di modelling tidak sesuai dengan harga di pasaran, apa itu terlalu tinggi atau terlalu rendah, maka bisa dicari anomali-nya di mana. Untuk pertama kalinya mungkin dirasa agak berat, karena harus investigasi dan sebagainya. Tapi setelah beberapa kali hal itu bakal seperti mengalirkan air lewat jaringan pipa. kalau masuk sekian liter, maka keluar sekian liter. Kalau sampai keluarnya kurang atau berlebih berarti ada kebocoran. Dalam artian, airnya tidak sampai, atau air dari luar yang masuk ke dalam saluran, sehingga banjir.
Tapi dasar di Indonesia, implementasi ideal seperti itu sangat susah untuk tercapai. Bukan bermaksud untuk pesimis, namun melihat kenyataan yang ada, siapa sih yang mau berkorban untuk sesuatu yang tidak ada nilai materiilnya sama sekali?pasti bisa dihitung dengan jari, padahal untuk penopang program seperti itu jelas membutuhkan orang-orang yang “gila”. Tapi kita semua tentu berharap, semoga industri peternakan tidak hancur. Darimana kita dapat susu dan ayam goreng renyah lagi....?
Seingat dulu, Indonesia selalu dibidik menjadi kalangan konsumen karena kesenangannya untuk membeli, menikmati, mengoleksi dan akhirnya tergantung pada dunia luar.
Namun hal itu tidak terjadi pada dua sektor yang saling bertautan. Itulah pertanian dan peternakan. Meski masih dalam satu bidang, yakni pertanian, namun pada realisasinya sudah tidak ada lagi disparitas dan pembedaan. Karena keduanya menjadi sebuah kesatuan yang tidak bisa dipisahkan. Sektor pertanian jelas mendukung dan membutuhkan peternakan, begitu pula kancah peternakan yang juga sangat memimpikan hadirnya pertanian yang sehat.
Kemarin, ada lagi sebuah email yang cukup membuat bulu kuduk ini berdiri. Bukan karena ketakutan ada vampire, penjahat atau apalah sejenisnya. Namun “pengabaran” jika dunia peternakan berada di ujung tanduk adalah sebuah kenyataan yang sebenarnya tidak bisa diterima nalar. Bagaimana mungkin bumi Indonesia yang memiliki banyak macam ragam tanaman istimewa yang sangat cocok untuk menghidupi semua jenis ternak, harus tergerus sendiri oleh ulah peternakan itu sendiri?
Tentu sebuah tanda tanya besar. Karena bagaimanapun bangsa ini satu di antaranya dibangun berdasar dan didukung pengembangan dunia peternakan. Tentu tidak bisa dilepaskan arti penting kehadiran produk susu dengan ragam pernik turunannya, ataupun daging sapi dan daging ayam yang sangat lezat dilidah dengan segala integralnya. Tentu sangat mencengangkan jika ternyata ada sebuah kabar betapa menderitanya kalangan dunia peternakan saat ini. Dianalisis dari segi apapun, seharusnya dunia peternakan ini tidak akan pernah mati. Konsumen yang seabreg paling tidak ada 150 juta penduduk Indonesia, jelas memberi angin segar untuk kalangan peternak. Bagaimana tidak, bisa dihitung berapa besar perputaran uang dan modal di seputar industri mereka.
Lalu kenapa itu semua justru mengancam kalangan peternakan itu sendiri. Lagi-lagi yang harus ditembak terlebih dulu jelas pemerintah. Regulasi yang tidak sepadan dan kontinyu serta tak berpihak pada peternak memberi andil terbesar dalam semakin merosotnya kalangan peternak.
Khusus di unggas misalnya, kini para peternak harus bertarung dengan semakin tingginya modal yang harus mereka keluarkan. Padahal itu tak seimbang dengan harga jual yang mereka dapatkan. Harga DOC maupun DOD selalu tinggi yang diikuti dengan semakin merangkaknya harga pangan. Belum lagi sistem biaya sanitasi dan pakan ternak yang terus membumbung. Kini perbandinganpun semakin tipis. Jika dulu masih bisa mengambil margin cukup besar, kini berada di level 10 persen saja sudah menjadi berkah luar biasa bagi mereka.
-------------------------------------------------------------------------------- -----------------------------------------------------------------------------
Tidak hanya regulasi, sistem distribusi pakan ternak juga menjadi masalah tersendiri, belum lagi semakin langkanya obat-obatan di lapangan. Entah dimana menghilangnya barang berharga tersebut, namun yang jelas begitu harganya melonjak, biasanya selalu ada barang tersebut.
Seorang dosen di sebuah perguruan tinggi di Karrisidenan Banyumas menyebut, sebenarnya pemerintah memiliki kapasitas kuat untuk menopang dan menyelamatkan sendiri dunia peternakan. Tanpa perlu bantuan pihak luar, sebenarnya dirjen, kepala dinas ataupun apalah di level plat merah jelas memiliki tangkup tersendiri untuk melancarkan ketersediaan apapun yang dibutuhkan peternak.
Satu yang pasti, meski seabreg orang pintar di lintas departemen, namun tetap saja di subsektor peternakan kurang diperhatikan kinerjanya. Bisa dilihat, jika dicermati tentu hal yang paling mencolok adalah tidak adanya ahli di bidang modelling dan simulasi.
Mengutip sedikit di email yang diterima, ia mengungkapkan jika sistem ini sangat cocok untuk diterapkan di Indonesia. Bagaimana tidak, kini peternak di kawasan Jawa Tengah, DIY, sentra peternakan di Jawa Timur dan Jawa Barat harus bersiap-siap gulung tikar. Apalagi jika cuaca tidak bersahabat, tentu kerugian lebih cepat menghampiri mereka.
Seperti halnya pada sistem ekonomi makro atau moneter. Modelling dan simulasi ini tidak hanya membuat model dengan input parameter yang asal-asalan seperti dalam mata kuliah dulu di level usaha tani. Tetapi seharusnya tampak lebih riil, sesuai dengan kondisi di masyarakat.
Misalnya sudah ada rumus, kalau harga pakan sekian, harga DOC sekian dan input-input lainnya sekian, maka harga jual telur atau daging sebaiknya sekian. Plus ada parameter kagetan seperti lebaran dan sebagainya. Kalau sekiranya harga di modelling tidak sesuai dengan harga di pasaran, apa itu terlalu tinggi atau terlalu rendah, maka bisa dicari anomali-nya di mana. Untuk pertama kalinya mungkin dirasa agak berat, karena harus investigasi dan sebagainya. Tapi setelah beberapa kali hal itu bakal seperti mengalirkan air lewat jaringan pipa. kalau masuk sekian liter, maka keluar sekian liter. Kalau sampai keluarnya kurang atau berlebih berarti ada kebocoran. Dalam artian, airnya tidak sampai, atau air dari luar yang masuk ke dalam saluran, sehingga banjir.
Tapi dasar di Indonesia, implementasi ideal seperti itu sangat susah untuk tercapai. Bukan bermaksud untuk pesimis, namun melihat kenyataan yang ada, siapa sih yang mau berkorban untuk sesuatu yang tidak ada nilai materiilnya sama sekali?pasti bisa dihitung dengan jari, padahal untuk penopang program seperti itu jelas membutuhkan orang-orang yang “gila”. Tapi kita semua tentu berharap, semoga industri peternakan tidak hancur. Darimana kita dapat susu dan ayam goreng renyah lagi....?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar