DI tengah kondisi iklim bursa yang masih gonjang-ganjing, langkah berani dilakukan manajemen penyelia LQ-45, sebuah indeks pemeringkat yang menggambarkan saham-saham yang memiliki tingkat likuiditas terbaik. Bagaimana tidak, seiring pergeseran unit ekonomi dan finansial, enam pendatang baru masuk ke dalam list entry indeks LQ-45. Mereka menggantikan enam saham yang harus rela terdepak dari kelompok elit ini. Enam yang masuk sebagia new comer masing-masing saham milik Bank Negara Indonesia (BBNI), Sentul City, Charoen Pokphand Indonesia, Mobile-8 Telecom, Tunas Baru Lampung dan PT Unilever.
Sementara enam saham yang terdepak dari kelompok LQ-45 antara lain PT Bank Bukopin Tbk, PT Citra Marga Nushapala Persada Tbk, PT Ciputra Surya Tbk, PT Bank Pan Indonesia Tbk dan PT Tempo Scan Pacific Tbk.
Meski secara analisis makro tidak terlalu mengejutkan, namun pergantian personal pengisi LQ-45 tetap sangat menarik untuk dibahas di tengah kondisi indeks dan bursa yang labil. Bagaimana tidak labil, meski tahun lalu sempat bertengger di angka 2.800, namun tiba-tiba saja Indeks Harga Saham Gabungan langsung turun drastis hingga sempat menyentuh level 2600-an. Ini tentu fluktuatif angka yang sangat tajam dan menggambarkan kondisi pasar yang tidak pernah stabil.
Tentu langkah berani Bursa Efek Indonesia (BEI) untuk memasukkan enam emiten baru ke dalam kelompok LQ-45 jelas memiliki dasar yang kuat. Paling tidak kini perusahaan yang berada di dalam lingkup indeks likuid tersebut harus tetap berhati-hati jika tidak ingin keluar dan nilai sahamnya langsung anjlok drastis.
Di sisi lain, masuknya enam pilar baru tersebut tentu mengindikasikan adanya bullish pada segmen-segmen tertentu. Masukanya Bank Negara Indonesia yang berkode BBNI tentu sudah bisa diperkirakan sebelumnya. Seperti halnya Bank Mandiri, bank milik pemerintah ini jelas memiliki tingkat signifikansi cukup tinggi. Pertaruhannya untuk mengakuisisi bank BTN tentu menjadi catatan tersendiri yang cukup meningkatkan nilai sahamnya. Analis bahkan menyebut, jika range nilai saham yang akan disematkan dalam label BBNI bakal banyak diburu orang, di tengah instrumen investasi yang semakin berisiko. Kini orang pun cenderung untuk memecah dananya ke beberapa instrumen investasi guna menghindari kerugian yang lebih besar di sektor finansial.
Selain itu munculanya Charoen Pokphand Indonesia dan Mobile-8 Telecom juga patut mendapat perhatian tersendiri. Bukan bermaksud mengecilkan prestasi milik PT Unilever dan Sentul City, namun keduanya mewakili sebuah dimensi lain. Bagaimana tidak, CPI lebih cenderung bergerak di level peternakan dan produsen obat-obatan. Jelas, jika segmen saham ini saja sudah masuk ke level LQ-45 tentu tengah terjadi sesuatu di balik itu semua. Pasalnya tidak banyak perusahaan seperti CPI yang masuk level bergengsi seperti itu. Meski masih terlalu dangkal, namun analitik sederhana tentu menggambarkan betapa segmen ini bakal menjadi primadona tersendiri. Tidak hanya itu, masuknya perusahaan telekomunikasi kembali ke level tertinggi perdagangan saham di lantai bursa ini, semakin menegaskan jika piranti telekomunikasi dna sisi integralnya jelas sudah menjadi pilihan tersendiri bagi kalangan masyarakat. Tak heran memang jika melihat bisnis ini telah menguasai hajat hidup orang banyak. Karenanya tentu sangat riskan bagi si pemilik saham umum jika harus melepas kepemilikan saham di level perusahaan komunikasi. Karena bagaimanapun segmen investasi ini tidak akan pernah mati seiring semakin banyaknya para konsumen yang memanfaatkan media telekomunkasi bergerak. So, berharap saja kondisi lantai bursa semakin membaik dan tidak terkena dampak resesi ekonomi di negara lain. Artinya, ilim ekonomi semakin kondusif dan mampu memberikan nilai progress tersendri.
Sementara enam saham yang terdepak dari kelompok LQ-45 antara lain PT Bank Bukopin Tbk, PT Citra Marga Nushapala Persada Tbk, PT Ciputra Surya Tbk, PT Bank Pan Indonesia Tbk dan PT Tempo Scan Pacific Tbk.
Meski secara analisis makro tidak terlalu mengejutkan, namun pergantian personal pengisi LQ-45 tetap sangat menarik untuk dibahas di tengah kondisi indeks dan bursa yang labil. Bagaimana tidak labil, meski tahun lalu sempat bertengger di angka 2.800, namun tiba-tiba saja Indeks Harga Saham Gabungan langsung turun drastis hingga sempat menyentuh level 2600-an. Ini tentu fluktuatif angka yang sangat tajam dan menggambarkan kondisi pasar yang tidak pernah stabil.
Tentu langkah berani Bursa Efek Indonesia (BEI) untuk memasukkan enam emiten baru ke dalam kelompok LQ-45 jelas memiliki dasar yang kuat. Paling tidak kini perusahaan yang berada di dalam lingkup indeks likuid tersebut harus tetap berhati-hati jika tidak ingin keluar dan nilai sahamnya langsung anjlok drastis.
Di sisi lain, masuknya enam pilar baru tersebut tentu mengindikasikan adanya bullish pada segmen-segmen tertentu. Masukanya Bank Negara Indonesia yang berkode BBNI tentu sudah bisa diperkirakan sebelumnya. Seperti halnya Bank Mandiri, bank milik pemerintah ini jelas memiliki tingkat signifikansi cukup tinggi. Pertaruhannya untuk mengakuisisi bank BTN tentu menjadi catatan tersendiri yang cukup meningkatkan nilai sahamnya. Analis bahkan menyebut, jika range nilai saham yang akan disematkan dalam label BBNI bakal banyak diburu orang, di tengah instrumen investasi yang semakin berisiko. Kini orang pun cenderung untuk memecah dananya ke beberapa instrumen investasi guna menghindari kerugian yang lebih besar di sektor finansial.
Selain itu munculanya Charoen Pokphand Indonesia dan Mobile-8 Telecom juga patut mendapat perhatian tersendiri. Bukan bermaksud mengecilkan prestasi milik PT Unilever dan Sentul City, namun keduanya mewakili sebuah dimensi lain. Bagaimana tidak, CPI lebih cenderung bergerak di level peternakan dan produsen obat-obatan. Jelas, jika segmen saham ini saja sudah masuk ke level LQ-45 tentu tengah terjadi sesuatu di balik itu semua. Pasalnya tidak banyak perusahaan seperti CPI yang masuk level bergengsi seperti itu. Meski masih terlalu dangkal, namun analitik sederhana tentu menggambarkan betapa segmen ini bakal menjadi primadona tersendiri. Tidak hanya itu, masuknya perusahaan telekomunikasi kembali ke level tertinggi perdagangan saham di lantai bursa ini, semakin menegaskan jika piranti telekomunikasi dna sisi integralnya jelas sudah menjadi pilihan tersendiri bagi kalangan masyarakat. Tak heran memang jika melihat bisnis ini telah menguasai hajat hidup orang banyak. Karenanya tentu sangat riskan bagi si pemilik saham umum jika harus melepas kepemilikan saham di level perusahaan komunikasi. Karena bagaimanapun segmen investasi ini tidak akan pernah mati seiring semakin banyaknya para konsumen yang memanfaatkan media telekomunkasi bergerak. So, berharap saja kondisi lantai bursa semakin membaik dan tidak terkena dampak resesi ekonomi di negara lain. Artinya, ilim ekonomi semakin kondusif dan mampu memberikan nilai progress tersendri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar