By noenx’s
APA sih yang salah dengan adanya Indonesia alias Nusantara ini?bentangan sayapnya aja sudah melahap hampir 50 derajad bujur. Posisi yang sangat menguntungkan kiranya. Pasalnya jelas masyarakat seluruh Indonesia ini tidak perlu khawatir dengan perbedaan musim antar daerah. Bisa dibayangkan kalau misalnya republik ini seperti layaknya Jepang, Australia atau bahkan Rusia. Tentu iklim kehangat tidak akan lama dinikmati anak-anak, remaja maupun orang dewasa.
Tapi kenapa kelembutan dan kehijauan lima pulau besar dan lebih dari 13 ribu pulau kecil lainnya seolah tiada artinya. Gelontoran mesin-mesin menghancurkan kehidupan yang sudah seimbang di hutan yang masih perawan. Begitupun dengan terumbu karang yang sangat indah namun tiba-tiba saja lenyap. Alam murka dikira hal biasa, padahal itu semua berawal dari manusia. Ujung dari semua itu hanyalah keinginan sebuah kapitalisasi yang tiada akhir. Menghalalkan segala cara untuk menumpuk uang kertas di gudang atau almari besi dengan 10 ribu sandi, yang tak mungkin dibawa mati. Iklim kapitalisasi benar-benar mampu menyesakkan dada setiap manusia. Korbannya?ya manusia itu juga, meski cepat atau lambat.....
Lalu apa hubungannya dengan topik di atas. Yang jelas, bagi manusia awam mungkin sangat susah untuk mencerna, begitupun dengan pikiran ini sebenarnya. Namun secara logika saja, keterkaitan antara Indonesia dengan AS tentu sangat erat, terutama di bidang ekonomi. Sama halnya dengan negara-negara lain di dunia, kecuali Uni Eropa, keberadaan AS sangat kuat dengan mata uangnya. Yup, dolar AS seolah sudah menjadi polisi dunia ekonomi, sama seperti si empunya yang “berkamuflase” menjadi polisi dunia. Sesuatu yang bahkan untuk mengatur diri mereka sendiri juga sangat lemah. Tapi ya itulah tadi yang namanya pengaruh. Dolar AS begitu erat, yang membuat korporasi keIndonesiaan akhirnya muncul. Sebuah paradigma yang membuat masa orde baru sangat berjaya tatkala mampu menjaga kestabilan nilai mata uang rupiah terhadap dolar AS. Sesuatu yang di kemudian hari justru menendang balik bangsa ini, seperti yang apa dialami Indonesia saat ini. Namun secara proporsional ekonomis, kini keberadaan dolar AS memang tengah terpuruk. Satu pertanyaan yang banyak bermunculan di sekeliling adalah, beranikah Indonesia mengubah haluan untuk menerapkan mata uang Euro?sebuah pilihan yang dilematis memang. Bukan karena sebagian besar pengambil kebijakan ekonomi berasal dari pendidikan bisnis di Amerika, namuun faktor dijungsi dan dispotik bisa saja menjadi perhatian utama, istilahnya unsur kelanggengan tetap menjadi patokan utama. Terus saat ini yang tengah diramaikan adalah iklim keekonomian AS yang tengah dilanda bukan hanya badai tornado, tapi lebih dari itu.
Si Paman Sam saat ini sedang mengalami krisis ekonomi cukup parah di beberapa sektor. Tidak hanya suprime mortgage semata, namun ternyata posisi keuangan AS juga sebenarnya sama dengan perwujudan negara berkembang. Bayangkan saja, secara riil AS merilis jika posisi hutang saat ini menyentuh angka 8,9 triliun dolar AS. Sebuah angka yang sesuai dengan julukan AS selama ini, digdaya. Ini diperparah dengan kondisi produk domestik bruto yang menjadi indikator kekuatan makro ekonomi sebuah negara, hanya berada di level 13 triliun dolar AS.
Pos lain yang sangat menyedot kas negara adidaya tersebut adalah keputusan untuk terus menggelar peperangan dengan beberapa negera, utamanya menyokong penuh aksi di kawasan jazirah Arab dan kawasan Asia Tengah dan sebagian Afrika. Sebuah keputusan yang sangat menyakitkan tentunya bagi AS.
Sialnya bagi AS, krisis yang melanda di sektor internal dengan pelbagai kerugian yang diumumkan korporasi besarnya beberapa waktu lalu, menyebabkan pendapatan di sektor pajak korporasi langsung terjun bebas. Sekedar informasi, George W Bush ternyata telah mengenakan pajak yang cukup rendah terhadap korporasi. Niatan yang dulunya terbilang positif guna mengurangi angka pengangguran. Namun apa lacur, justru langkah tersebut kini menjadi bumerang yang sangat tajam bagi perekonomian di AS. Mereka pun langsung terjun bebas, tana ada payung yang sanggup menahan untuk sementara posisi mereka di atas. Akibatnya, nilai tukar dolar AS juga sempat menembus angka terendah dalam dua tahun terakhir di pelbagai pasar bursa. Indeks pun selalu terkoreksi naik turun, namun sebagian tetap bergerak negatif sampai awal tahun 2008 ini. Sebuah penggambaran betapa iklim perekonomian sangat menurun.
Di level AS sendiri, kongkalikong sebagai penyebab terjadinya krisis ekonomi yang cukup berbahaya ini terus bergulir. Seperti halnya Alm Soeharto saat memimpin dulu, Bush pun diduga kuat menggunakan beragam jalan untuk menguasai korporasi dan perekonomian AS. Ada beberapa fakta yang mengaitkan kepemilikan orang-orang dekat Bush terhadap beberapa korporasi. Dick Cheney, Wakil Presiden AS, merupakan mantan CEO Halliburton. Perusahaan ini mendapat kontrak pengadaan bahan bakar untuk Irak. Sebuah anak perusahaan Halliburton mendapat sejumlah kontrak besar dari pemerintah AS untuk berbagai proyek di Irak, tanpa mengikuti penawaran terbuka. Kontrak-kontrak itu bisa mencapai lebih dari 15 miliar dolar AS.
Bush sendiri memiliki perusahaan Harken, yang di tahun 1990-an pernah mendapatkan kontrak eksplorasi minyak lepas pantai yang terletak di antara lahan dari dua negara yang dimiliki Saudi Arabia dan Qatar. Saat itu perusahaan Bush belum memiliki pengalaman internasional dibanding perusahaan minyak besar seperti Chevron atau Amoco. Kebijakan pengurangan pajak korporasi tentu bakal menyita penerimaan negara. Dan ini ditengerai semakin menguntungkan orang-orang dekat Bush tersebut. Akibat dari riak ekonomi di AS, nyaris semua negara di dunia harus merasakan pahitnya krisis ekonomi. Khusus di kawasan Asia Tenggara, fobia era 1997-1998 tentu masih teringat jelas. Indonesia pun kini terkena imbasnya. Meski sudah mulai stabil, tapi tetap saja semua korporasi telah bersiap untuk melakukan langkah terbaik guna mecegah hal negatif terulang kembali. Satu sisi, negeri ini memang sangat kaya dengan pelbagai barang terlengkap di dunia yang tidak dimiliki orang lain, namun di sisi lain sangat jelas jika negeri ini seolah tak berdaya sama sekali. We just wait and see....
Tapi kenapa kelembutan dan kehijauan lima pulau besar dan lebih dari 13 ribu pulau kecil lainnya seolah tiada artinya. Gelontoran mesin-mesin menghancurkan kehidupan yang sudah seimbang di hutan yang masih perawan. Begitupun dengan terumbu karang yang sangat indah namun tiba-tiba saja lenyap. Alam murka dikira hal biasa, padahal itu semua berawal dari manusia. Ujung dari semua itu hanyalah keinginan sebuah kapitalisasi yang tiada akhir. Menghalalkan segala cara untuk menumpuk uang kertas di gudang atau almari besi dengan 10 ribu sandi, yang tak mungkin dibawa mati. Iklim kapitalisasi benar-benar mampu menyesakkan dada setiap manusia. Korbannya?ya manusia itu juga, meski cepat atau lambat.....
Lalu apa hubungannya dengan topik di atas. Yang jelas, bagi manusia awam mungkin sangat susah untuk mencerna, begitupun dengan pikiran ini sebenarnya. Namun secara logika saja, keterkaitan antara Indonesia dengan AS tentu sangat erat, terutama di bidang ekonomi. Sama halnya dengan negara-negara lain di dunia, kecuali Uni Eropa, keberadaan AS sangat kuat dengan mata uangnya. Yup, dolar AS seolah sudah menjadi polisi dunia ekonomi, sama seperti si empunya yang “berkamuflase” menjadi polisi dunia. Sesuatu yang bahkan untuk mengatur diri mereka sendiri juga sangat lemah. Tapi ya itulah tadi yang namanya pengaruh. Dolar AS begitu erat, yang membuat korporasi keIndonesiaan akhirnya muncul. Sebuah paradigma yang membuat masa orde baru sangat berjaya tatkala mampu menjaga kestabilan nilai mata uang rupiah terhadap dolar AS. Sesuatu yang di kemudian hari justru menendang balik bangsa ini, seperti yang apa dialami Indonesia saat ini. Namun secara proporsional ekonomis, kini keberadaan dolar AS memang tengah terpuruk. Satu pertanyaan yang banyak bermunculan di sekeliling adalah, beranikah Indonesia mengubah haluan untuk menerapkan mata uang Euro?sebuah pilihan yang dilematis memang. Bukan karena sebagian besar pengambil kebijakan ekonomi berasal dari pendidikan bisnis di Amerika, namuun faktor dijungsi dan dispotik bisa saja menjadi perhatian utama, istilahnya unsur kelanggengan tetap menjadi patokan utama. Terus saat ini yang tengah diramaikan adalah iklim keekonomian AS yang tengah dilanda bukan hanya badai tornado, tapi lebih dari itu.
Si Paman Sam saat ini sedang mengalami krisis ekonomi cukup parah di beberapa sektor. Tidak hanya suprime mortgage semata, namun ternyata posisi keuangan AS juga sebenarnya sama dengan perwujudan negara berkembang. Bayangkan saja, secara riil AS merilis jika posisi hutang saat ini menyentuh angka 8,9 triliun dolar AS. Sebuah angka yang sesuai dengan julukan AS selama ini, digdaya. Ini diperparah dengan kondisi produk domestik bruto yang menjadi indikator kekuatan makro ekonomi sebuah negara, hanya berada di level 13 triliun dolar AS.
Pos lain yang sangat menyedot kas negara adidaya tersebut adalah keputusan untuk terus menggelar peperangan dengan beberapa negera, utamanya menyokong penuh aksi di kawasan jazirah Arab dan kawasan Asia Tengah dan sebagian Afrika. Sebuah keputusan yang sangat menyakitkan tentunya bagi AS.
Sialnya bagi AS, krisis yang melanda di sektor internal dengan pelbagai kerugian yang diumumkan korporasi besarnya beberapa waktu lalu, menyebabkan pendapatan di sektor pajak korporasi langsung terjun bebas. Sekedar informasi, George W Bush ternyata telah mengenakan pajak yang cukup rendah terhadap korporasi. Niatan yang dulunya terbilang positif guna mengurangi angka pengangguran. Namun apa lacur, justru langkah tersebut kini menjadi bumerang yang sangat tajam bagi perekonomian di AS. Mereka pun langsung terjun bebas, tana ada payung yang sanggup menahan untuk sementara posisi mereka di atas. Akibatnya, nilai tukar dolar AS juga sempat menembus angka terendah dalam dua tahun terakhir di pelbagai pasar bursa. Indeks pun selalu terkoreksi naik turun, namun sebagian tetap bergerak negatif sampai awal tahun 2008 ini. Sebuah penggambaran betapa iklim perekonomian sangat menurun.
Di level AS sendiri, kongkalikong sebagai penyebab terjadinya krisis ekonomi yang cukup berbahaya ini terus bergulir. Seperti halnya Alm Soeharto saat memimpin dulu, Bush pun diduga kuat menggunakan beragam jalan untuk menguasai korporasi dan perekonomian AS. Ada beberapa fakta yang mengaitkan kepemilikan orang-orang dekat Bush terhadap beberapa korporasi. Dick Cheney, Wakil Presiden AS, merupakan mantan CEO Halliburton. Perusahaan ini mendapat kontrak pengadaan bahan bakar untuk Irak. Sebuah anak perusahaan Halliburton mendapat sejumlah kontrak besar dari pemerintah AS untuk berbagai proyek di Irak, tanpa mengikuti penawaran terbuka. Kontrak-kontrak itu bisa mencapai lebih dari 15 miliar dolar AS.
Bush sendiri memiliki perusahaan Harken, yang di tahun 1990-an pernah mendapatkan kontrak eksplorasi minyak lepas pantai yang terletak di antara lahan dari dua negara yang dimiliki Saudi Arabia dan Qatar. Saat itu perusahaan Bush belum memiliki pengalaman internasional dibanding perusahaan minyak besar seperti Chevron atau Amoco. Kebijakan pengurangan pajak korporasi tentu bakal menyita penerimaan negara. Dan ini ditengerai semakin menguntungkan orang-orang dekat Bush tersebut. Akibat dari riak ekonomi di AS, nyaris semua negara di dunia harus merasakan pahitnya krisis ekonomi. Khusus di kawasan Asia Tenggara, fobia era 1997-1998 tentu masih teringat jelas. Indonesia pun kini terkena imbasnya. Meski sudah mulai stabil, tapi tetap saja semua korporasi telah bersiap untuk melakukan langkah terbaik guna mecegah hal negatif terulang kembali. Satu sisi, negeri ini memang sangat kaya dengan pelbagai barang terlengkap di dunia yang tidak dimiliki orang lain, namun di sisi lain sangat jelas jika negeri ini seolah tak berdaya sama sekali. We just wait and see....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar