INILAH bangsaku, bangsa Indonesia yang memang sangat toleran dan selalu berdiri menjunjung tinggi azas "pertemanan" dan kerikuhan. Sampai rikuhnya, bahkan untuk berdiri dan mencoba mensejajarkan diri dengan bangsa lain, harus menunggu reaksi dari negara lain juga.
Sebenarnya apa yang sesungguhnya terjadi dengan bangsa ini sampai sebegitunya untuk bergerak sendiri pun harus memohon wangsit dari negara tetangga yang kadang kala justru tidak memikirkan apa yang terjadi pada dalam negeri kita.
Padahal kita kaya akan kekuatan kombinasi modern dan lawas. Ada ibu Hj Dzuriah alias bu pendiri masjid Kubah Limo yang marmernya langsung datang dari Italia, langsung juga dengan tukang gergajinya, atau kubah dan dindingnya yang berhiaskan emas dan pertama yang tak terbayangkan dimiliki anak desa. Bahkan kita punya ki gendeng pamungkas yang bakalan menyantet Bush tapi tak jadi karena azar rikuh itu, bahkan kita juga mempunyai mbah Maridjan yang kuat menahan amukan Merapi, seorang diri menerjang kawah Merapi, padahal orang lain sudah pontang panting gak karuan melarikan diri. Yah itulah potret lain bangsa ini, yang tentu memiliki sisi positif: terus belajar dan belajar. Mau bukti?berapa ratus ribu orang berstatus sarjana S1, S2 bahkan S3 lulusan mulai dari University Technologies of Singapore sampai Harvard, dari Universitas Cenderawasih sampai Universitas Indonesia. Ini membuktikan bangsa ini tidak pernah lelah untuk belajar dan terus belajar.
Meskaipun berusaha disangkal dan dibantah, tampaknya pengaruh resesi Amerika Serikat (AS) terhadap perekonomian dunia tidak terelakkan. Langkah Bank Sentral AS (The Fed) yang terus menurunkan tingkat suku bunga, dengan konsekuensi melemahnya nilai tukar dolar AS, tampaknya tidak cukup untuk membendung terjadinya resesi. Laju inflasi saat ini menjadi perhatian masyarakat AS yang sebelumnya tidak sering terganggu inflasi tinggi. Harga minyak yang mencapai rekor hingga melewati USD100 per barel makin membuat AS sulit mengelak dari bayang-bayang resesi.
Dalam konteks perekonomian dunia, memang ada China dan India yang diharapkan dapat menggantikan atau paling tidak mengurangi pengaruh perekonomian AS tersebut. Namun, harus disadari juga bahwa kedua negara tersebut sedang mengalami laju pertumbuhan tinggi dan belum sepenuhnya bisa dianggap sebagai negara maju seperti AS, Jepang, dan komunitas Eropa.
Dengan fakta itu, tidak ada pilihan lain bagi perekonomian Indonesia untuk bersiap siaga mengeluarkan semua jurus yang memungkinkan untuk meredam dampak buruk resesi perekonomian AS. Pendapat yang menyatakan bahwa perekonomian Indonesia tidak akan terlalu terpengaruh oleh resesi AS memang ada benarnya mengingat AS tidak lagi menjadi salah satu negara tujuan ekspor utama maupun sumber investasi asing terbesar di Indonesia.
Meskipun begitu, tetap saja harus diantisipasi kemungkinan pelemahan permintaan ekspor dan menurunnya aliran investasi AS serta harus dicari cara untuk mengompensasi penurunan tersebut. Penurunan permintaan ekspor Indonesia serta penurunan aliran investasi asing sangat vital pengaruhnya bagi perekonomian Indonesia yang saat ini pertumbuhannya masih ditopang oleh ekspor dan konsumsi masyarakat. Menurunnya permintaan ekspor jelas akan mengganggu target laju pertumbuhan 2008. Sementara kurangnya aliran investasi asing akan mengganggu upaya menjadikan kembali investasi sebagai motor pertumbuhan nasional.
Dengan kata lain, pengaruh resesi AS mungkin bisa lebih besar daripada sekadar yang ditunjukkan oleh data ekspor dan investasi asing. Untuk meredam dampak negatif resesi AS tersebut, pemerintah dan dunia usaha harus bahu-membahu mencari cara untuk menemukan pasar ekspor yang sekiranya bisa menggantikan penurunan permintaan ekspor AS. Pemerintah juga perlu mencari sumber investasi asing baru yang bisa menggerakkan perekonomian Indonesia, terutama di sektor pertambangan, infrastruktur, dan manufaktur.
Diversifikasi perekonomian yang menjadi mitra dagang dan investasi asing adalah hal yang memang harus dilakukan oleh setiap perekonomian yang berhadapan dengan globalisasi. Ketergantungan pada sedikit mitra akan sangat membahayakan dan mengganggu stabilitas perekonomian mengingat mitra tersebut dapat dengan mudah berpaling ke perekonomian lain yang dianggap lebih menjanjikan dan bersahabat. Dalam kasus Indonesia saat ini,perekonomian Asia Timur tetap merupakan andalan untuk meningkatkan ekspor dan meraup investasi asing.
China dan India tetap merupakan primadona dan Indonesia harus pandai-pandai meraih keuntungan dari hubungan ekonomi bilateral dengan tiap negara raksasa tersebut. Satu hal yang sudah pasti, kedua negara yang ekonominya tumbuh secara fantastis pada beberapa tahun terakhir ini haus akan energi dan bahan baku. Begitu pula potensi pasar domestik mereka luar biasa besar dengan perkiraan jumlah penduduk 2,4 miliar. Tren yang terjadi saat ini, ditambah dengan realitas ekonomi, memang mengarahkan Indonesia untuk mulai fokus pada ekspor sumber energi primer dan terbarukan ke kedua negara tersebut.
Beberapa perusahaan China sudah bersiap-siap mengalirkan investasinya untuk ikut mengeksplorasi migas dan batubara di Indonesia. Perusahaan India juga mulai melakukan hal yang sama, khususnya di batubara. Terkait dengan makin langkanya sumber energi yang tak terbarukan, perlu kiranya Indonesia mengembangkan secara besar-besaran berbagai sumber energi terbarukan, khususnya yang terkait dengan komoditas perkebunan.
Untuk kepentingan Indonesia sendiri, saat ini perlu segera dilakukan upaya mempersiapkan cadangan energi masa depan dengan komitmen penuh. Pemenuhan kebutuhan energi domestik harus menjadi prioritas utama, tidak peduli apa sumber energinya, sejauh pasokannya terjamin dan harganya wajar. Pada akhirnya, persaingan ekonomi dunia akan kembali pada persaingan mendapatkan atau menghasilkan energi. Indonesia yang kebetulan masih punya potensi yang cukup besar sebagai penghasil energi terbarukan dan tak terbarukan sudah saatnya segera memosisikan diri sebagai produsen energi yang berdaya saing internasional.
Di sisi lain, tidak boleh dilupakan bahwa posisi tersebut juga harus mampu menjamin kecukupan energi domestik yang pada akhirnya dapat segera mengatasi kemiskinan secara lebih cepat dan lebih luas. Permasalahan kemiskinan yang terjadi akhir-akhir ini, ironisnya, sangat terkait dengan pasokan dan harga energi di negara yang seharusnya kaya akan sumber energi ini. Antrean minyak tanah dan kelangkaan premium di beberapa tempat, misalnya, jelas mengganggu kelancaran aktivitas perekonomian dan hanya menciptakan kemiskinan baru di berbagai tempat.
Sudah banyak rencana kebijakan yang akan dilakukan pemerintah terkait dengan kelangkaan tersebut, tetapi eksekusi di lapangan ternyata kurang sesuai dengan harapan. Yang bisa disimpulkan --dan agak mengecewakan-- adalah kurangnya urgensi untuk mencegah proses pemiskinan sebagai akibat resesi ekonomi dunia saat ini. Konversi minyak tanah ke elpiji, misalnya, jelas bukan sekadar proyek temporer untuk mengurangi konsumsi minyak tanah, tetapi lebih jauh lagi untuk mengajak masyarakat lebih efisien menggunakan bahan bakar minyak dan menyehatkan keuangan negara yang sebenarnya bisa lebih difokuskan untuk prioritas lain yang lebih mendesak.
Kunci dalam menghadapi resesi AS, yang juga untuk mencegah kemiskinan lebih besar, adalah adanya sense of urgency dari kemungkinan meluasnya kemiskinan serta komitmen penuh semua pihak di Indonesia untuk mengutamakan sumber energi bagi keperluan domestik.
Tersedianya input energi yang memadai akan menggerakkan perekonomian Indonesia secara stabil dan berpotensi tumbuh cepat. Energi harus diprioritaskan untuk kegiatan produktif, sedangkan untuk kegiatan konsumtif perlu dilakukan penghematan yang signifikan. Apabila energi tersedia dan pemakaiannya efisien, kemiskinan dapat dikurangi melalui perbaikan upah riil masyarakat. Keuangan negara juga dapat menjadi lebih sehat karena tidak hanya habis dipakai untuk subsidi bahan bakar minyak (BBM), tetapi juga dapat dialihkan menjadi subsidi yang tidak kalah penting untuk masyarakat, yaitu subsidi pangan, pendidikan, dan kesehatan.
Semua pihak harus mau mengerti dan ikut menyukseskan program pengalihan subsidi dari subsidi harga komoditas menjadi subsidi individu yang tepat sasaran. Meskipun mungkin tidak populer dan cenderung rumit, harus ada upaya untuk segera memulainya sebelum semuanya menjadi terlambat dan perekonomian Indonesia hanya menjadi perekonomian yang sekadar mencoba bertahan hidup dan tidak bertumbuh cepat untuk menyejahterakan rakyatnya. (*)
Padahal kita kaya akan kekuatan kombinasi modern dan lawas. Ada ibu Hj Dzuriah alias bu pendiri masjid Kubah Limo yang marmernya langsung datang dari Italia, langsung juga dengan tukang gergajinya, atau kubah dan dindingnya yang berhiaskan emas dan pertama yang tak terbayangkan dimiliki anak desa. Bahkan kita punya ki gendeng pamungkas yang bakalan menyantet Bush tapi tak jadi karena azar rikuh itu, bahkan kita juga mempunyai mbah Maridjan yang kuat menahan amukan Merapi, seorang diri menerjang kawah Merapi, padahal orang lain sudah pontang panting gak karuan melarikan diri. Yah itulah potret lain bangsa ini, yang tentu memiliki sisi positif: terus belajar dan belajar. Mau bukti?berapa ratus ribu orang berstatus sarjana S1, S2 bahkan S3 lulusan mulai dari University Technologies of Singapore sampai Harvard, dari Universitas Cenderawasih sampai Universitas Indonesia. Ini membuktikan bangsa ini tidak pernah lelah untuk belajar dan terus belajar.
Meskaipun berusaha disangkal dan dibantah, tampaknya pengaruh resesi Amerika Serikat (AS) terhadap perekonomian dunia tidak terelakkan. Langkah Bank Sentral AS (The Fed) yang terus menurunkan tingkat suku bunga, dengan konsekuensi melemahnya nilai tukar dolar AS, tampaknya tidak cukup untuk membendung terjadinya resesi. Laju inflasi saat ini menjadi perhatian masyarakat AS yang sebelumnya tidak sering terganggu inflasi tinggi. Harga minyak yang mencapai rekor hingga melewati USD100 per barel makin membuat AS sulit mengelak dari bayang-bayang resesi.
Dalam konteks perekonomian dunia, memang ada China dan India yang diharapkan dapat menggantikan atau paling tidak mengurangi pengaruh perekonomian AS tersebut. Namun, harus disadari juga bahwa kedua negara tersebut sedang mengalami laju pertumbuhan tinggi dan belum sepenuhnya bisa dianggap sebagai negara maju seperti AS, Jepang, dan komunitas Eropa.
Dengan fakta itu, tidak ada pilihan lain bagi perekonomian Indonesia untuk bersiap siaga mengeluarkan semua jurus yang memungkinkan untuk meredam dampak buruk resesi perekonomian AS. Pendapat yang menyatakan bahwa perekonomian Indonesia tidak akan terlalu terpengaruh oleh resesi AS memang ada benarnya mengingat AS tidak lagi menjadi salah satu negara tujuan ekspor utama maupun sumber investasi asing terbesar di Indonesia.
Meskipun begitu, tetap saja harus diantisipasi kemungkinan pelemahan permintaan ekspor dan menurunnya aliran investasi AS serta harus dicari cara untuk mengompensasi penurunan tersebut. Penurunan permintaan ekspor Indonesia serta penurunan aliran investasi asing sangat vital pengaruhnya bagi perekonomian Indonesia yang saat ini pertumbuhannya masih ditopang oleh ekspor dan konsumsi masyarakat. Menurunnya permintaan ekspor jelas akan mengganggu target laju pertumbuhan 2008. Sementara kurangnya aliran investasi asing akan mengganggu upaya menjadikan kembali investasi sebagai motor pertumbuhan nasional.
Dengan kata lain, pengaruh resesi AS mungkin bisa lebih besar daripada sekadar yang ditunjukkan oleh data ekspor dan investasi asing. Untuk meredam dampak negatif resesi AS tersebut, pemerintah dan dunia usaha harus bahu-membahu mencari cara untuk menemukan pasar ekspor yang sekiranya bisa menggantikan penurunan permintaan ekspor AS. Pemerintah juga perlu mencari sumber investasi asing baru yang bisa menggerakkan perekonomian Indonesia, terutama di sektor pertambangan, infrastruktur, dan manufaktur.
Diversifikasi perekonomian yang menjadi mitra dagang dan investasi asing adalah hal yang memang harus dilakukan oleh setiap perekonomian yang berhadapan dengan globalisasi. Ketergantungan pada sedikit mitra akan sangat membahayakan dan mengganggu stabilitas perekonomian mengingat mitra tersebut dapat dengan mudah berpaling ke perekonomian lain yang dianggap lebih menjanjikan dan bersahabat. Dalam kasus Indonesia saat ini,perekonomian Asia Timur tetap merupakan andalan untuk meningkatkan ekspor dan meraup investasi asing.
China dan India tetap merupakan primadona dan Indonesia harus pandai-pandai meraih keuntungan dari hubungan ekonomi bilateral dengan tiap negara raksasa tersebut. Satu hal yang sudah pasti, kedua negara yang ekonominya tumbuh secara fantastis pada beberapa tahun terakhir ini haus akan energi dan bahan baku. Begitu pula potensi pasar domestik mereka luar biasa besar dengan perkiraan jumlah penduduk 2,4 miliar. Tren yang terjadi saat ini, ditambah dengan realitas ekonomi, memang mengarahkan Indonesia untuk mulai fokus pada ekspor sumber energi primer dan terbarukan ke kedua negara tersebut.
Beberapa perusahaan China sudah bersiap-siap mengalirkan investasinya untuk ikut mengeksplorasi migas dan batubara di Indonesia. Perusahaan India juga mulai melakukan hal yang sama, khususnya di batubara. Terkait dengan makin langkanya sumber energi yang tak terbarukan, perlu kiranya Indonesia mengembangkan secara besar-besaran berbagai sumber energi terbarukan, khususnya yang terkait dengan komoditas perkebunan.
Untuk kepentingan Indonesia sendiri, saat ini perlu segera dilakukan upaya mempersiapkan cadangan energi masa depan dengan komitmen penuh. Pemenuhan kebutuhan energi domestik harus menjadi prioritas utama, tidak peduli apa sumber energinya, sejauh pasokannya terjamin dan harganya wajar. Pada akhirnya, persaingan ekonomi dunia akan kembali pada persaingan mendapatkan atau menghasilkan energi. Indonesia yang kebetulan masih punya potensi yang cukup besar sebagai penghasil energi terbarukan dan tak terbarukan sudah saatnya segera memosisikan diri sebagai produsen energi yang berdaya saing internasional.
Di sisi lain, tidak boleh dilupakan bahwa posisi tersebut juga harus mampu menjamin kecukupan energi domestik yang pada akhirnya dapat segera mengatasi kemiskinan secara lebih cepat dan lebih luas. Permasalahan kemiskinan yang terjadi akhir-akhir ini, ironisnya, sangat terkait dengan pasokan dan harga energi di negara yang seharusnya kaya akan sumber energi ini. Antrean minyak tanah dan kelangkaan premium di beberapa tempat, misalnya, jelas mengganggu kelancaran aktivitas perekonomian dan hanya menciptakan kemiskinan baru di berbagai tempat.
Sudah banyak rencana kebijakan yang akan dilakukan pemerintah terkait dengan kelangkaan tersebut, tetapi eksekusi di lapangan ternyata kurang sesuai dengan harapan. Yang bisa disimpulkan --dan agak mengecewakan-- adalah kurangnya urgensi untuk mencegah proses pemiskinan sebagai akibat resesi ekonomi dunia saat ini. Konversi minyak tanah ke elpiji, misalnya, jelas bukan sekadar proyek temporer untuk mengurangi konsumsi minyak tanah, tetapi lebih jauh lagi untuk mengajak masyarakat lebih efisien menggunakan bahan bakar minyak dan menyehatkan keuangan negara yang sebenarnya bisa lebih difokuskan untuk prioritas lain yang lebih mendesak.
Kunci dalam menghadapi resesi AS, yang juga untuk mencegah kemiskinan lebih besar, adalah adanya sense of urgency dari kemungkinan meluasnya kemiskinan serta komitmen penuh semua pihak di Indonesia untuk mengutamakan sumber energi bagi keperluan domestik.
Tersedianya input energi yang memadai akan menggerakkan perekonomian Indonesia secara stabil dan berpotensi tumbuh cepat. Energi harus diprioritaskan untuk kegiatan produktif, sedangkan untuk kegiatan konsumtif perlu dilakukan penghematan yang signifikan. Apabila energi tersedia dan pemakaiannya efisien, kemiskinan dapat dikurangi melalui perbaikan upah riil masyarakat. Keuangan negara juga dapat menjadi lebih sehat karena tidak hanya habis dipakai untuk subsidi bahan bakar minyak (BBM), tetapi juga dapat dialihkan menjadi subsidi yang tidak kalah penting untuk masyarakat, yaitu subsidi pangan, pendidikan, dan kesehatan.
Semua pihak harus mau mengerti dan ikut menyukseskan program pengalihan subsidi dari subsidi harga komoditas menjadi subsidi individu yang tepat sasaran. Meskipun mungkin tidak populer dan cenderung rumit, harus ada upaya untuk segera memulainya sebelum semuanya menjadi terlambat dan perekonomian Indonesia hanya menjadi perekonomian yang sekadar mencoba bertahan hidup dan tidak bertumbuh cepat untuk menyejahterakan rakyatnya. (*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar