by noenx's
ENTAH karena negeri ini sudah tak rupa-rupa lagi atau memang sudah bingung entah mau dibawa kemana. Tabik!. Tapi itu belum cukup untuk menunjukkan ini sebagai hal yang luar biasa. Di balik iklim ekonomi yang semakin membaik dengan taksiran nilai bunga bank semakin rendah, eh..itu ternyata belum cukup untuk mengumpulkan fulus dari hak sendiri. Masih banyak perlakuan korupsi terus menjadi "raja". Tidak hanya kalangan pegawai rendahan, pegawa yang semakin tinggi jabatannya malah semakin mudah untuk melakukan penilepan uang. "Hebatnya" , terkadang ia malah bangga tatkala menyedot uang itu untuk kepentingan pribadi dia, dan mengurasnya dari kantong rakyat. Luar biasa tabik, kalau sudah begini.
Pepatan jawa yang menyebut nila setitik rusak susu sebelanga benar -benar cocok untuk saat ini. Di saat hampir semuanya ingin berubah menuju keadaan yang lebih baik, dalam hal kasus korupsi, malah masih ada yang tega mencederai hal yang sangat memalukan itu. Itu jelas dilakukan oleh segelintir oknum, tapi ya tetap aja menimbulkan prasangka negatif jika semuanya melakukan hal yang sama, paling tidak ya dianggap pernah melakukan, entah kapan itu. Sungguh ironis aparat di negeri ini, apakah mereka benar-benar tidak punya urat malu sedikitpun?ataukah hanya ingin mengeluarkan nafsu "birahinya"?. Entahlah yang jelas beberapa kasus dalam tiga bulan terakhir menunjukkan semakin sablengnya kalangan birokrasi di negeri ini.
Terakhir, tertanngkapnya Urip Tri Gunawan (UTG), Ketua Tim II Jaksa Penyelidik kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI), menjadi sorotan berbagai media cetak dan elektronik di Tanah Air.
Pada satu sisi, berita ini menutupi berita sebelumnya tentang Kejaksaan Agung menutup kasus BLBI Anthony Salim dan Syamsul Nursalim karena tidak menemukan unsur perbuatan melawan hukum. Ini merupakan berita buruk dan merugikan bagi citra pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang menjadikan isu korupsi sebagai leading issue dalam pembentukan citra politiknya. Oleh karenanya, dibutuhkan isu lain yang bobot beritanya atau nilai sensasionalnya minimal setara dengan isu yang terdahulu.
Dilihat dari aspek ini, penangkapan jaksa UTG berhasil meredam kekecewaan publik atas kegagalan pemerintah menangani dua obligor paling kakap dalam skandal BLBI. Namun, pada sisi lain, kita juga melihat sebuah kenyataan atau fenomena gunung es dari tertangkapnya jaksa UTG ini. Sebab, bila dilihat secara keseluruhan, perilaku korup dalam dunia hukum atau yang dikenal dengan mafia peradilan merupakan penyakit kronis aparat hukum kita. Mulai dari pengacara, polisi, jaksa hingga hakim dan panitera, dalam sejarah dunia hukum Indonesia, sudah ada beberapa pihak yang menjadi pesakitan dalam kasus suap-menyuap perkara.
Ini membuktikan bahwa aparat hukum di Indonesia sangat rentan terkena virus korupsi ini. Hanya orang-orang yang benar-benar bermental tahan goda yang mampu bertahan dalam situasi seperti ini. Dalam kasus-kasus megaskandal atau kasus yang nilai rupiahnya berjumlah miliaran atau triliunan seperti BLBI ini, semua aparat penegak hukum akan meneteskan air liur untuk berharap ikut menikmati rupiah atau dolar dalam kasus jaksa UTG. Jadi, sejak awal, kasus BLBI ini memang merupakan kasus incaran semua pihak, khususnya para penegak hukum, untuk ikut andil dalam proses hukumnya.
Maka, tidak aneh jika kasus BLBI sejak pemerintahan sebelumnya selalu menjadi ajang tarik ulur antara pemerintah dan obligor penerima BLBI. Substansi hukum dalam kasus BLBI menempati prioritas yang paling buncit dalam upaya penyelesaian menyeluruh dana BLBI.
Blunder Hukum
Pada 30 Desember 2002, Presiden telah menerbitkan Instruksi Presiden (Inpres) No 8 Tahun 2002 tentang Pemberian Jaminan Kepastian Hukum kepada Debitor yang Telah Menyelesaikan Kewajibannya atau Tindakan Hukum kepada Debitor yang Tidak Menyelesaikan Kewajibannya Berdasarkan Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham yang dikenal sebagai release and discharge.
Inpres No 8 Tahun 2002 inilah yang menjadi titik simpul dari benang kusut kasus BLBI ini. Inpres tersebut berisikan instruksi untuk membebaskan dan memberikan pengampunan terhadap sejumlah debitor/obligor dari proses hukum termasuk aspek pidananya. Padahal, telah diketahui bahwa para obligor tersebut diduga telah melakukan tindak pidana perbankan dengan pemberian kredit yang melampaui BMPK sebagaimana diatur dalam Undang- Undang Perbankan No 7 Tahun 1992 jo Undang-Undang No 10 Tahun 1998 dan penyimpangan dana BLBI yang telah merugikan keuangan negara.
Intervensi terhadap proses hukum oleh Presiden dengan menerbitkan inpres merupakan tindakan inkonstitusional serta dapat dikategorikan sebagai penyalahgunaan kekuasaan (abuses of power) atau melampaui batas kewenangan Presiden dan penerbitan inpres tersebut jelas-jelas bertentangan dengan UUD 1945, UU No 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, UU No 7 Tahun 1992 jo UU No 10 Tahun 1998 tentang Perbankan serta bertentangan dengan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
Keppres Ilegal
Berdasar konsideran huruf a Inpres No 8 Tahun 2002, disebutkan bahwa dalam rangka melaksanakan Ketetapan Majelis Pemusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (TAP MPR RI) VI/MPR/2002 tentang Rekomendasi atas Laporan Pelaksanaan Putusan MPR RI oleh Presiden, DPA, DPR, BPK, MA pada Sidang Tahunan MPR RI Tahun 2002 dan Ketetapan MPR RI No X/MPR/2001tentang Laporan Pelaksanaan Putusan MPR RI oleh Lembaga Tinggi Negara pada Sidang Tahunan MPR RI Tahun 2001, Badan Penyehatan Perbankan Nasional telah melakukan Perjanjian Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham dengan debitor yang berbentuk perjanjian Master of Settlement and Acquisition Agreement (MSAA), MasterofRefinancingand Note Issuance Agreement (MRNIA), dan/atau Perjanjian Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham dan Pengakuan Utang (Akta Pengakuan Utang/APU).
Jadi, dalam konsideran ini tertulis secara eksplisit bahwa MSAA, MRNIA, dan APU merupakan pelaksanaan dari TAP MPR No VI Tahun 2002 dan TAP MPR No X Tahun 2001 yang diamanatkan kepada BPPN. Padahal, fakta hukumnya, proses penandatanganan MSAA, MRNIA, dan/atau APU antara BPPN dengan para obligor telah ditandatangani pada 1999 hingga 2000.
Sementara TAP MPR No VI/MPR/2002 dan TAP MPR No X/MPR/2001 tersebut baru ditetapkan pada 2002 dan tahun 2001. Dengan demikian secara kronologis prosedural, tindakan BPPN yang membuat perjanjian MSAA, MRNIA maupun APU bukanlah atas mandat atau menjalankan perintah TAP MPR sebagaimana yang ditulis dalam konsideran Inpres No 8 Tahun 2002. BPPN membuat MSAA, MRNIA maupun APU semata-mata adalah dalam skema bisnis dan sebagai konsekuensi pengalihan hak tagih dari Bank Indonesia kepada pemerintah, dalam hal ini Menteri Keuangan yang kemudian membentuk BPPN.
Jadi, Inpres No 8 tersebut merupakan inpres yang secara formal mengandung cacat hukum dan mestinya batal demi hukum sebagai dasar untuk membebaskan obligor dari jerat hukum melalui realease and discharge.
Kerugian Negara
Pasal 4 UU No 31/1999 menyebutkan bahwa "pengembalian kerugian kekuangan negara atau perekonomian negara tidak menghapuskan dipidananya pelaku tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 3. Jadi, walaupun para obligor tersebut telah secara keseluruhan mengembalikan dana BLBI yang telah diselewengkan dan dibawa kabur ke luar negeri, tetap saja hal itu tidak bisa menghapuskan unsur pidana. Apalagi pengembalian dana BLBI ini hanya 10 persen saja.
Bila kesimpulan tim BLBI Kejaksaan Agung menyatakan bahwa tidak ditemukan unsur melawan hukum, hal itu karena penyelidik hanya berfokus pada proses pengembalian dana BLBI. Proses ini adalah berupa penyerahan aset dan dana cash dari obligor yang tentu saja berdasarkan prosedur hukum perdata. Dan bila melihat kasus BLBI tersebut dari sudut pandang hukum perdata, para penyelidik tinggal tidur saja,lalu kemudian kasak-kusuk dengan penerima dana BLBI seolaholah bisa membantu membebaskannya dari jerat hukum, lalu mengumumkan tidak menemukan unsur pidana dan si penyelidik terima uang setoran dalam jumlah miliaran rupiah. Inilah yang terjadi dalam kasus BLBI ini.
Namun, bila tim penyelidik BLBI mau sedikit bekerja keras, dalam arti melakukan strategi dan pendekatan yang berbeda, yaitu melihatnya dari sudut pandang "digunakan untuk apa dan disalurkan ke mana dana BLBI dan bagaimana proses keluarnya dana BLBI dari bank penerima", para penyelidik tidak perlu sampai berbulan-bulan bekerja tetapi hanya menghasilkan kesimpulan yang sudah disimpulkan oleh pemerintah sebelumnya.
Pesan untuk Pak Hendarman, jangan larut dalam kasus jaksa UTG. Lakukan dengan pendekatan pidana, jangan berfokus pada proses perdata pengembalian dana BLBI. Mudah-mudahan pendekatan baru ini akan membawa hasil yang optimal.
Pepatan jawa yang menyebut nila setitik rusak susu sebelanga benar -benar cocok untuk saat ini. Di saat hampir semuanya ingin berubah menuju keadaan yang lebih baik, dalam hal kasus korupsi, malah masih ada yang tega mencederai hal yang sangat memalukan itu. Itu jelas dilakukan oleh segelintir oknum, tapi ya tetap aja menimbulkan prasangka negatif jika semuanya melakukan hal yang sama, paling tidak ya dianggap pernah melakukan, entah kapan itu. Sungguh ironis aparat di negeri ini, apakah mereka benar-benar tidak punya urat malu sedikitpun?ataukah hanya ingin mengeluarkan nafsu "birahinya"?. Entahlah yang jelas beberapa kasus dalam tiga bulan terakhir menunjukkan semakin sablengnya kalangan birokrasi di negeri ini.
Terakhir, tertanngkapnya Urip Tri Gunawan (UTG), Ketua Tim II Jaksa Penyelidik kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI), menjadi sorotan berbagai media cetak dan elektronik di Tanah Air.
Pada satu sisi, berita ini menutupi berita sebelumnya tentang Kejaksaan Agung menutup kasus BLBI Anthony Salim dan Syamsul Nursalim karena tidak menemukan unsur perbuatan melawan hukum. Ini merupakan berita buruk dan merugikan bagi citra pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang menjadikan isu korupsi sebagai leading issue dalam pembentukan citra politiknya. Oleh karenanya, dibutuhkan isu lain yang bobot beritanya atau nilai sensasionalnya minimal setara dengan isu yang terdahulu.
Dilihat dari aspek ini, penangkapan jaksa UTG berhasil meredam kekecewaan publik atas kegagalan pemerintah menangani dua obligor paling kakap dalam skandal BLBI. Namun, pada sisi lain, kita juga melihat sebuah kenyataan atau fenomena gunung es dari tertangkapnya jaksa UTG ini. Sebab, bila dilihat secara keseluruhan, perilaku korup dalam dunia hukum atau yang dikenal dengan mafia peradilan merupakan penyakit kronis aparat hukum kita. Mulai dari pengacara, polisi, jaksa hingga hakim dan panitera, dalam sejarah dunia hukum Indonesia, sudah ada beberapa pihak yang menjadi pesakitan dalam kasus suap-menyuap perkara.
Ini membuktikan bahwa aparat hukum di Indonesia sangat rentan terkena virus korupsi ini. Hanya orang-orang yang benar-benar bermental tahan goda yang mampu bertahan dalam situasi seperti ini. Dalam kasus-kasus megaskandal atau kasus yang nilai rupiahnya berjumlah miliaran atau triliunan seperti BLBI ini, semua aparat penegak hukum akan meneteskan air liur untuk berharap ikut menikmati rupiah atau dolar dalam kasus jaksa UTG. Jadi, sejak awal, kasus BLBI ini memang merupakan kasus incaran semua pihak, khususnya para penegak hukum, untuk ikut andil dalam proses hukumnya.
Maka, tidak aneh jika kasus BLBI sejak pemerintahan sebelumnya selalu menjadi ajang tarik ulur antara pemerintah dan obligor penerima BLBI. Substansi hukum dalam kasus BLBI menempati prioritas yang paling buncit dalam upaya penyelesaian menyeluruh dana BLBI.
Blunder Hukum
Pada 30 Desember 2002, Presiden telah menerbitkan Instruksi Presiden (Inpres) No 8 Tahun 2002 tentang Pemberian Jaminan Kepastian Hukum kepada Debitor yang Telah Menyelesaikan Kewajibannya atau Tindakan Hukum kepada Debitor yang Tidak Menyelesaikan Kewajibannya Berdasarkan Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham yang dikenal sebagai release and discharge.
Inpres No 8 Tahun 2002 inilah yang menjadi titik simpul dari benang kusut kasus BLBI ini. Inpres tersebut berisikan instruksi untuk membebaskan dan memberikan pengampunan terhadap sejumlah debitor/obligor dari proses hukum termasuk aspek pidananya. Padahal, telah diketahui bahwa para obligor tersebut diduga telah melakukan tindak pidana perbankan dengan pemberian kredit yang melampaui BMPK sebagaimana diatur dalam Undang- Undang Perbankan No 7 Tahun 1992 jo Undang-Undang No 10 Tahun 1998 dan penyimpangan dana BLBI yang telah merugikan keuangan negara.
Intervensi terhadap proses hukum oleh Presiden dengan menerbitkan inpres merupakan tindakan inkonstitusional serta dapat dikategorikan sebagai penyalahgunaan kekuasaan (abuses of power) atau melampaui batas kewenangan Presiden dan penerbitan inpres tersebut jelas-jelas bertentangan dengan UUD 1945, UU No 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, UU No 7 Tahun 1992 jo UU No 10 Tahun 1998 tentang Perbankan serta bertentangan dengan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
Keppres Ilegal
Berdasar konsideran huruf a Inpres No 8 Tahun 2002, disebutkan bahwa dalam rangka melaksanakan Ketetapan Majelis Pemusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (TAP MPR RI) VI/MPR/2002 tentang Rekomendasi atas Laporan Pelaksanaan Putusan MPR RI oleh Presiden, DPA, DPR, BPK, MA pada Sidang Tahunan MPR RI Tahun 2002 dan Ketetapan MPR RI No X/MPR/2001tentang Laporan Pelaksanaan Putusan MPR RI oleh Lembaga Tinggi Negara pada Sidang Tahunan MPR RI Tahun 2001, Badan Penyehatan Perbankan Nasional telah melakukan Perjanjian Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham dengan debitor yang berbentuk perjanjian Master of Settlement and Acquisition Agreement (MSAA), MasterofRefinancingand Note Issuance Agreement (MRNIA), dan/atau Perjanjian Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham dan Pengakuan Utang (Akta Pengakuan Utang/APU).
Jadi, dalam konsideran ini tertulis secara eksplisit bahwa MSAA, MRNIA, dan APU merupakan pelaksanaan dari TAP MPR No VI Tahun 2002 dan TAP MPR No X Tahun 2001 yang diamanatkan kepada BPPN. Padahal, fakta hukumnya, proses penandatanganan MSAA, MRNIA, dan/atau APU antara BPPN dengan para obligor telah ditandatangani pada 1999 hingga 2000.
Sementara TAP MPR No VI/MPR/2002 dan TAP MPR No X/MPR/2001 tersebut baru ditetapkan pada 2002 dan tahun 2001. Dengan demikian secara kronologis prosedural, tindakan BPPN yang membuat perjanjian MSAA, MRNIA maupun APU bukanlah atas mandat atau menjalankan perintah TAP MPR sebagaimana yang ditulis dalam konsideran Inpres No 8 Tahun 2002. BPPN membuat MSAA, MRNIA maupun APU semata-mata adalah dalam skema bisnis dan sebagai konsekuensi pengalihan hak tagih dari Bank Indonesia kepada pemerintah, dalam hal ini Menteri Keuangan yang kemudian membentuk BPPN.
Jadi, Inpres No 8 tersebut merupakan inpres yang secara formal mengandung cacat hukum dan mestinya batal demi hukum sebagai dasar untuk membebaskan obligor dari jerat hukum melalui realease and discharge.
Kerugian Negara
Pasal 4 UU No 31/1999 menyebutkan bahwa "pengembalian kerugian kekuangan negara atau perekonomian negara tidak menghapuskan dipidananya pelaku tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 3. Jadi, walaupun para obligor tersebut telah secara keseluruhan mengembalikan dana BLBI yang telah diselewengkan dan dibawa kabur ke luar negeri, tetap saja hal itu tidak bisa menghapuskan unsur pidana. Apalagi pengembalian dana BLBI ini hanya 10 persen saja.
Bila kesimpulan tim BLBI Kejaksaan Agung menyatakan bahwa tidak ditemukan unsur melawan hukum, hal itu karena penyelidik hanya berfokus pada proses pengembalian dana BLBI. Proses ini adalah berupa penyerahan aset dan dana cash dari obligor yang tentu saja berdasarkan prosedur hukum perdata. Dan bila melihat kasus BLBI tersebut dari sudut pandang hukum perdata, para penyelidik tinggal tidur saja,lalu kemudian kasak-kusuk dengan penerima dana BLBI seolaholah bisa membantu membebaskannya dari jerat hukum, lalu mengumumkan tidak menemukan unsur pidana dan si penyelidik terima uang setoran dalam jumlah miliaran rupiah. Inilah yang terjadi dalam kasus BLBI ini.
Namun, bila tim penyelidik BLBI mau sedikit bekerja keras, dalam arti melakukan strategi dan pendekatan yang berbeda, yaitu melihatnya dari sudut pandang "digunakan untuk apa dan disalurkan ke mana dana BLBI dan bagaimana proses keluarnya dana BLBI dari bank penerima", para penyelidik tidak perlu sampai berbulan-bulan bekerja tetapi hanya menghasilkan kesimpulan yang sudah disimpulkan oleh pemerintah sebelumnya.
Pesan untuk Pak Hendarman, jangan larut dalam kasus jaksa UTG. Lakukan dengan pendekatan pidana, jangan berfokus pada proses perdata pengembalian dana BLBI. Mudah-mudahan pendekatan baru ini akan membawa hasil yang optimal.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar