by noenx's
”PERTAMA kali mereka menolak karena merasa tidak ada masalah saat melayani tamu tanpa kondom, namun kita selalu menjelaskan secara nyata dan kontinyu, sehingga lambat laun mereka sadar betapa pentingnya pemakaian pengaman saat berhubungan seks,” ujar Madi.
Tidak jauh berbeda, Andi mengaku tidak terlalu bermasalah untuk menyebarkan bahaya HIV dan AIDS, bahkan kini ia bersama teman-temannya membuat tempelan-tempelan dan sebaran-sebaran tentang HIV dan AIDS.
Semua piranti yang digunakan tersebut ia dapatkan dari hasil jerih payahnya bersama teman. Tentang materi tempelan atapun selebaran, Andi selalu mendapatkannya dari LSM, baik itu dari LSM YBS ataupun Yayasan AIDS Kota Tanjungpinang.
Selain di lokalisasi, Madi dan teman-temannya juga selalu memberi pengarahan terhadap penumpang setiap harinya, terutama yang berprofesi WPS atau pengguna.
“Setiap saya memboncengkan wanita malam yang berprofesi sebagai WPS saya selalu mengajak ngobrol sedikit demi sedikit dengan mereka. Setelah agak mencair suasananya biasanya saya baru masukkan pengertian tentang penyakit tersebut sekaligus bagaimana simpelnya mencegah tertular dan terjadinya virus tersebut ke tubuh manusia,” tegas Madi.
Efeknya langsung terasa, meski harus tetap pelan-pelan. “Jika sudah seperti itu biasanya sebelum saya antar dia ke tempat yang dituju baik itu rumah kos ataupun hotel, KTV dan tempat hiburan serta tempat prostitusi lainnya saya sarankan dia membawa alat pengaman, jika belum bawa, biasanya saya sarankan pakai kondom saja, sekaligus memberitahu kalau tamunya tidak makai kondom jangan mau karena bahayanya itu tadi,” jelas Madi.
Saat ditanya tentang penumpangnya yang WPS-ODHA, Andi menyebut tetap saja pihaknya terus memberi pengertian dan pemberitahuan jika apa yang dilakukan sangat merugikan orang lain, tentu dengan bahasa yang halus dan tidak menyinggung. Penekanannya lebih dalam terutama menyangkut bahaya penularan penyakit.
Mengenai kesuksesan menjalankan keteraturan di sekitar kawasan Batu 15, Madi mengaku bakal terus berjuang untuk semakin menertibkan dan menyehatkan lingkungan. Begitupun Andi, dengan pengalaman dan pengetahuan yang diberikan selama pelatihan HIV/AIDS, ia bakal berusaha semakin sering berkomunikasi dengan warga, karena ternyata hasilnya sangat memuaskan.
“Jelas masih banyak PR yang harus kita selesaikan. Memang sekarang sepertinya teratur tapi memang setiap orang kan tidak bisa dipastikan apa maunya. Mungkin saja karena merasa terdesak, meski tamunya sudah membeli kondom (meski mungkin terpaksa), ia mau saja melayani dengan ‘langsung’ tanpa penghalang apapun, dan mungkin saja ‘keluarnya’ di dalam karena tanggung alias kepalang tanggung. Nah itu yang terkadang tetap kita pikirkan,” jelas Madi.
Solusi awalnya Madi dan Andi seolah sangat kompak. “Kita tentu tidak bisa mengurusi privasi orang lain, tapi kita usahakan kita bisa tahu dan tanyakan kepada si WPS apakah saat melayani tamu menggunakan kondom atau tidak. Namun sekali lagi variable itu memang tidak terlalu meyakinkan, tapi kita bisa lihat hasilnya dari pemeriksaan kesehatan yang rutin dilakukan setiap dua minggu di klinik. Atau kalau tidak, jika si WPS sudah kita kenal baik kita pasti memperhatikan apakah ada sampah kondom atau tidak setelah mereka berhubungan,” ujar keduanya.
Jika ada gejala WPS tersebut tidak menggunakan kondom, tindakan yang dilakukan adalah menegurnya. “Karena bagaimanapun semua itu demi kesehatan seluruh penghuni, jangan gara-gara satu orang semuanya terkena. Karena yang saya tahu prinsip penyebaran HIV tergolong cepat, apalagi bisa saja tamu yang sama datang di malam berikutnya tapi beda WPS, itu yang sangat riskan bukan, beda dengan yang langganan,” tutur Madi.
Lalu bagaimana sikap para tukang ojek yang berada di luar sistem koordinasi kelompok alias yang bebas secara individu?Ternyata dari perbincangan dengan beberapa tukang ojek tersirat niatan mereka untuk meniru apa yang telah dilakukan rekan-rekannya yang tergabung dalam suatu kelompok atau tempat mangkal.
Satrio contohnya. Bapak tiga orang anak ini mengaku sebenarnya ia sering juga mengantar WPS ke sebuah tempat, namun tidak dalam bentuk langganan penumpang, karena memang dirinya selalu bergerak mencari penumpang baik di pasar, saat pergi-pulang anak-anak sekolah, pegawai pulang sampai malam harinya serabutan mencari penumpang.
“Asyik juga sih sebenarnya mengikuti pelatihan dan berkegiatan seperti yang diceritakan apalagi ini menyangkut HIV/AIDS, sesuatu yang selama ini belum saya ketahui, tapi ternyata belum bisa,” ujarnya. (persda network/nurfahmi budi)
Tidak jauh berbeda, Andi mengaku tidak terlalu bermasalah untuk menyebarkan bahaya HIV dan AIDS, bahkan kini ia bersama teman-temannya membuat tempelan-tempelan dan sebaran-sebaran tentang HIV dan AIDS.
Semua piranti yang digunakan tersebut ia dapatkan dari hasil jerih payahnya bersama teman. Tentang materi tempelan atapun selebaran, Andi selalu mendapatkannya dari LSM, baik itu dari LSM YBS ataupun Yayasan AIDS Kota Tanjungpinang.
Selain di lokalisasi, Madi dan teman-temannya juga selalu memberi pengarahan terhadap penumpang setiap harinya, terutama yang berprofesi WPS atau pengguna.
“Setiap saya memboncengkan wanita malam yang berprofesi sebagai WPS saya selalu mengajak ngobrol sedikit demi sedikit dengan mereka. Setelah agak mencair suasananya biasanya saya baru masukkan pengertian tentang penyakit tersebut sekaligus bagaimana simpelnya mencegah tertular dan terjadinya virus tersebut ke tubuh manusia,” tegas Madi.
Efeknya langsung terasa, meski harus tetap pelan-pelan. “Jika sudah seperti itu biasanya sebelum saya antar dia ke tempat yang dituju baik itu rumah kos ataupun hotel, KTV dan tempat hiburan serta tempat prostitusi lainnya saya sarankan dia membawa alat pengaman, jika belum bawa, biasanya saya sarankan pakai kondom saja, sekaligus memberitahu kalau tamunya tidak makai kondom jangan mau karena bahayanya itu tadi,” jelas Madi.
Saat ditanya tentang penumpangnya yang WPS-ODHA, Andi menyebut tetap saja pihaknya terus memberi pengertian dan pemberitahuan jika apa yang dilakukan sangat merugikan orang lain, tentu dengan bahasa yang halus dan tidak menyinggung. Penekanannya lebih dalam terutama menyangkut bahaya penularan penyakit.
Mengenai kesuksesan menjalankan keteraturan di sekitar kawasan Batu 15, Madi mengaku bakal terus berjuang untuk semakin menertibkan dan menyehatkan lingkungan. Begitupun Andi, dengan pengalaman dan pengetahuan yang diberikan selama pelatihan HIV/AIDS, ia bakal berusaha semakin sering berkomunikasi dengan warga, karena ternyata hasilnya sangat memuaskan.
“Jelas masih banyak PR yang harus kita selesaikan. Memang sekarang sepertinya teratur tapi memang setiap orang kan tidak bisa dipastikan apa maunya. Mungkin saja karena merasa terdesak, meski tamunya sudah membeli kondom (meski mungkin terpaksa), ia mau saja melayani dengan ‘langsung’ tanpa penghalang apapun, dan mungkin saja ‘keluarnya’ di dalam karena tanggung alias kepalang tanggung. Nah itu yang terkadang tetap kita pikirkan,” jelas Madi.
Solusi awalnya Madi dan Andi seolah sangat kompak. “Kita tentu tidak bisa mengurusi privasi orang lain, tapi kita usahakan kita bisa tahu dan tanyakan kepada si WPS apakah saat melayani tamu menggunakan kondom atau tidak. Namun sekali lagi variable itu memang tidak terlalu meyakinkan, tapi kita bisa lihat hasilnya dari pemeriksaan kesehatan yang rutin dilakukan setiap dua minggu di klinik. Atau kalau tidak, jika si WPS sudah kita kenal baik kita pasti memperhatikan apakah ada sampah kondom atau tidak setelah mereka berhubungan,” ujar keduanya.
Jika ada gejala WPS tersebut tidak menggunakan kondom, tindakan yang dilakukan adalah menegurnya. “Karena bagaimanapun semua itu demi kesehatan seluruh penghuni, jangan gara-gara satu orang semuanya terkena. Karena yang saya tahu prinsip penyebaran HIV tergolong cepat, apalagi bisa saja tamu yang sama datang di malam berikutnya tapi beda WPS, itu yang sangat riskan bukan, beda dengan yang langganan,” tutur Madi.
Lalu bagaimana sikap para tukang ojek yang berada di luar sistem koordinasi kelompok alias yang bebas secara individu?Ternyata dari perbincangan dengan beberapa tukang ojek tersirat niatan mereka untuk meniru apa yang telah dilakukan rekan-rekannya yang tergabung dalam suatu kelompok atau tempat mangkal.
Satrio contohnya. Bapak tiga orang anak ini mengaku sebenarnya ia sering juga mengantar WPS ke sebuah tempat, namun tidak dalam bentuk langganan penumpang, karena memang dirinya selalu bergerak mencari penumpang baik di pasar, saat pergi-pulang anak-anak sekolah, pegawai pulang sampai malam harinya serabutan mencari penumpang.
“Asyik juga sih sebenarnya mengikuti pelatihan dan berkegiatan seperti yang diceritakan apalagi ini menyangkut HIV/AIDS, sesuatu yang selama ini belum saya ketahui, tapi ternyata belum bisa,” ujarnya. (persda network/nurfahmi budi)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar