Nasib suatu kaum, ditentukan usaha kaum itu sendiri.
KALIMAT di atas, yang ada dalam kitab suci agama Islam, menjadi dasar pembahasan cukup pelik dalam seminar sehari Posisi dan Peran Serta Masyarakat Tempatan dalam Zona Perdagangan Bebas di Provinsi Kepulauan Riau, akhir minggu lalu.
Satu alasan yang selama ini mendasari ketertinggalan masyarakat tempatan terhadap orang lain yang notabene pendatang, adalah sediktinya kerja keras dan minimnya kreatifitas serta rasa puas diri yang terlalu dini. Hal itu dirasa menjadi penghambat utama yang bisa "membahayakan" posisi putra tempatan, khususnya dalam perburuan kerja di era FTZ.
Padahal jika dihitung secara acak, potensi tempatan jelas tak kalah besar dan luasnya dengan para pendatang. Pengenalan alam, lingkungan dan potensi lainnya, jelas menjadi kekuatan tersendiri masyarakat tempatan yang tidak dimiliki orang lain. Itu yang bisa membuat masyarakat tempatan seharusnya, selalu dua langkah di depan.
"Tapi memang kita mungkin terlena dengan masa lalu, dan itu tidak kita sadari, sehingga masyarakat kita terlalu apatis dan akhirnya hanya menunggu 'bagian' semata, padahal peluang terbuka lebar di era modern ini,"ujar M Sani, Wagub Kepri.
Satu yang pasti, secara kuantitatif sektor Usaha Kecil dan Menengah (UKM) menjadi kekuatan tersendiri.. Kedekatan geografis dengan kawasan Asia jelas menjadi nilai lebih tersendiri. Sayang, sekali lagi sektor ini juga kurang diperhatikan.
Sekedar ilustrasi, di Batam saja kini ada lebih 6 ribu UMKM dan UKM, namun ternyata alokasi dana pembinaan hanya Rp500 juta, turun dari nilai tahun sebelumnya yang masih menyentuh angka Rp1 miliar. Jumlah itu pun ditengerai tidak turun utuh ke level akar rumput alias ada pemangkasan di level birokrasi. "Birokrasi memang masih menjadi alat ampuh untuk korupsi, dan itu sudah terbukti di pelbagai instansi, yang akibatnya jelas menyentuh level masyarakat,"ujar Eko Prasojo, Guru Besar FISIP UI, yang juga pria asli Kijang kabupaten Bintang.
Padahal jika ditilik, nilai kapitalisasi UMKM dan UKM cukup besar. Jika di Kepri saja ada lebih dari 15 ribu UMKM dan UKM, tentu nilai asetnya tak kurang dari Rp300 miliar lebih.
Terleas dari itu, sebenarnya Kepri memerlukan perpaduan sistem dan strategi untuk mempersiapkan tenaga kerja lokal dengan kebutuhan ketenagakerjaan di sera FTZ. Tentu satu syaratnya adalah memperkuat struktur dan infrastruktur pendidikan tinggi bersrtata dan berkeahlian diploma di daerah.
"Jika itu tidak terlaksana, mustahil anak bangsa alias anak tempatan mampu menerabas kekuatan dari luar yang memiliki jiwa bertahan sangat tinggi, ditambah kualitas pengetahuan dan pengalaman yang memang biasanya sudah kalah terlebih dulu,"jelas Syamsul Bahrum, Ketua Tim SEZ Batam.
Saat ini, pengangguran di kota Batam khususnya cukup memprihatinkan. Bagaimana tidak, penggangguran yang berasal dari luar saja sudah mencapai angka 23.500 orang. Angka ini jelas menjadi pesaing berat bagi tenaga kerja tempatan untuk mendapatkan pekerjaan yang layak. Ironisnya, saat ini di level pengangguran tempatan mereka bagaikan api dalam sekam, nyaris tidak bisa berbuat banyak.
Satu terobosan yang berhasil terungkap adalah pemaduan strategi pemberdayaan tenaga kerja lokal melalui pendirian perguruan tinggi negeri bersubsidi yang diperuntukkan bagi masyarakat lokal untuk mempersiapkan mengisi kemungkinan peningkatan pasaran kerja. "Jadi budak melayu tidak kalah dengan yang lain,"ujar Sani.
FTZ dan manajemen ketenagakerjaan bagaikan dua sisi berbeda dari mata uang yang sama, yakni mampu memberikan makna dan nilai. Pemikiran ini menawarkan suatu asumsi, kesuksesan FTZ jelas ditentukan pula keberhasilan mengelola pelbagai substansi dan persoalan ketengakerjaan yang ada dan yang akan datang.
Karena itulah, FTZ dalam prespektif ketenagakerjaan tidak hanya membutuhkan sebuah legel framework bagi menciptakan hubungan industrial yang haromis. Tapi juga memberi makna dan signifikansi atas diterapkannya aturan tersebut sesuai dengan aturan perburuhan internasional.
Memiliki jumlah penduduk 1.338.000, angkatan kerja di Kepri berada di angka 64,2 persen. Hanya 87,8 persen yang bekerja, dan ironisnya tidak sampai 50 persen jumlah tenaga kerja yang berasal dari masyarakat tempatan. Bahkan beberapa bidang pekerjaan sudah memiliki spesifikasi asal tersendiri.
Menurut Eko Prasojo, di Batam sektor keamanan seperti sudah menjadi ikon dipegang masyarakat dari kawasan Timur Indonesia, tukang ban dari Sumut dan sopir taksi dari Sumbar. "Itu idiomnya saja, masyarakat asli kemana?nyaris hanya berperan sangat sedikit, karena memang kualitasnya masih harus terus ditingkatkan,"ujar Guru Besar Fisip UI ini.
"Jadi memang kini saatnya masyarakat tempatan bekerja lebih keras untuk menunjukkan eksistensinya, sekaligus mengisi pembangunan di negerinya sendiri,"tegas Hasbi Armia, Ketua Umum Gerakan Masyarakat Peduli Kepulauan Riau (Kepri). (persda network/nurfahmi)
KALIMAT di atas, yang ada dalam kitab suci agama Islam, menjadi dasar pembahasan cukup pelik dalam seminar sehari Posisi dan Peran Serta Masyarakat Tempatan dalam Zona Perdagangan Bebas di Provinsi Kepulauan Riau, akhir minggu lalu.
Satu alasan yang selama ini mendasari ketertinggalan masyarakat tempatan terhadap orang lain yang notabene pendatang, adalah sediktinya kerja keras dan minimnya kreatifitas serta rasa puas diri yang terlalu dini. Hal itu dirasa menjadi penghambat utama yang bisa "membahayakan" posisi putra tempatan, khususnya dalam perburuan kerja di era FTZ.
Padahal jika dihitung secara acak, potensi tempatan jelas tak kalah besar dan luasnya dengan para pendatang. Pengenalan alam, lingkungan dan potensi lainnya, jelas menjadi kekuatan tersendiri masyarakat tempatan yang tidak dimiliki orang lain. Itu yang bisa membuat masyarakat tempatan seharusnya, selalu dua langkah di depan.
"Tapi memang kita mungkin terlena dengan masa lalu, dan itu tidak kita sadari, sehingga masyarakat kita terlalu apatis dan akhirnya hanya menunggu 'bagian' semata, padahal peluang terbuka lebar di era modern ini,"ujar M Sani, Wagub Kepri.
Satu yang pasti, secara kuantitatif sektor Usaha Kecil dan Menengah (UKM) menjadi kekuatan tersendiri.. Kedekatan geografis dengan kawasan Asia jelas menjadi nilai lebih tersendiri. Sayang, sekali lagi sektor ini juga kurang diperhatikan.
Sekedar ilustrasi, di Batam saja kini ada lebih 6 ribu UMKM dan UKM, namun ternyata alokasi dana pembinaan hanya Rp500 juta, turun dari nilai tahun sebelumnya yang masih menyentuh angka Rp1 miliar. Jumlah itu pun ditengerai tidak turun utuh ke level akar rumput alias ada pemangkasan di level birokrasi. "Birokrasi memang masih menjadi alat ampuh untuk korupsi, dan itu sudah terbukti di pelbagai instansi, yang akibatnya jelas menyentuh level masyarakat,"ujar Eko Prasojo, Guru Besar FISIP UI, yang juga pria asli Kijang kabupaten Bintang.
Padahal jika ditilik, nilai kapitalisasi UMKM dan UKM cukup besar. Jika di Kepri saja ada lebih dari 15 ribu UMKM dan UKM, tentu nilai asetnya tak kurang dari Rp300 miliar lebih.
Terleas dari itu, sebenarnya Kepri memerlukan perpaduan sistem dan strategi untuk mempersiapkan tenaga kerja lokal dengan kebutuhan ketenagakerjaan di sera FTZ. Tentu satu syaratnya adalah memperkuat struktur dan infrastruktur pendidikan tinggi bersrtata dan berkeahlian diploma di daerah.
"Jika itu tidak terlaksana, mustahil anak bangsa alias anak tempatan mampu menerabas kekuatan dari luar yang memiliki jiwa bertahan sangat tinggi, ditambah kualitas pengetahuan dan pengalaman yang memang biasanya sudah kalah terlebih dulu,"jelas Syamsul Bahrum, Ketua Tim SEZ Batam.
Saat ini, pengangguran di kota Batam khususnya cukup memprihatinkan. Bagaimana tidak, penggangguran yang berasal dari luar saja sudah mencapai angka 23.500 orang. Angka ini jelas menjadi pesaing berat bagi tenaga kerja tempatan untuk mendapatkan pekerjaan yang layak. Ironisnya, saat ini di level pengangguran tempatan mereka bagaikan api dalam sekam, nyaris tidak bisa berbuat banyak.
Satu terobosan yang berhasil terungkap adalah pemaduan strategi pemberdayaan tenaga kerja lokal melalui pendirian perguruan tinggi negeri bersubsidi yang diperuntukkan bagi masyarakat lokal untuk mempersiapkan mengisi kemungkinan peningkatan pasaran kerja. "Jadi budak melayu tidak kalah dengan yang lain,"ujar Sani.
FTZ dan manajemen ketenagakerjaan bagaikan dua sisi berbeda dari mata uang yang sama, yakni mampu memberikan makna dan nilai. Pemikiran ini menawarkan suatu asumsi, kesuksesan FTZ jelas ditentukan pula keberhasilan mengelola pelbagai substansi dan persoalan ketengakerjaan yang ada dan yang akan datang.
Karena itulah, FTZ dalam prespektif ketenagakerjaan tidak hanya membutuhkan sebuah legel framework bagi menciptakan hubungan industrial yang haromis. Tapi juga memberi makna dan signifikansi atas diterapkannya aturan tersebut sesuai dengan aturan perburuhan internasional.
Memiliki jumlah penduduk 1.338.000, angkatan kerja di Kepri berada di angka 64,2 persen. Hanya 87,8 persen yang bekerja, dan ironisnya tidak sampai 50 persen jumlah tenaga kerja yang berasal dari masyarakat tempatan. Bahkan beberapa bidang pekerjaan sudah memiliki spesifikasi asal tersendiri.
Menurut Eko Prasojo, di Batam sektor keamanan seperti sudah menjadi ikon dipegang masyarakat dari kawasan Timur Indonesia, tukang ban dari Sumut dan sopir taksi dari Sumbar. "Itu idiomnya saja, masyarakat asli kemana?nyaris hanya berperan sangat sedikit, karena memang kualitasnya masih harus terus ditingkatkan,"ujar Guru Besar Fisip UI ini.
"Jadi memang kini saatnya masyarakat tempatan bekerja lebih keras untuk menunjukkan eksistensinya, sekaligus mengisi pembangunan di negerinya sendiri,"tegas Hasbi Armia, Ketua Umum Gerakan Masyarakat Peduli Kepulauan Riau (Kepri). (persda network/nurfahmi)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar