by noenx's
MENGENAI pembiayaan untuk operasional mereka dalam hal di atas, Madi mencontohkan dia dan teman-temannya memang telah mengalokasikan secuil dana untuk kerja mereka, terutama menyediakan poster-poster sosialisasi.
“Kita menyisihkan sebagian pendapatan kita tiap minggu, namun tidak ada paksaan, toh poster-poster itu kan tidak seberapa modalnya, kebetulan kita juga punya teman yang membua poster, tentu kita dapat harganya miring,” ujar Madi, yang menyebut dalam sebulan uang yang terkumpul bisa mencapai Rp 500 ribu.
“Gak masalah tuh dengan langkah itu karena pada dasarnya yang terpenting bagi kita adalah tujuan yang akan kita sampaikan, semuanya demi kemaslahatan masyarakat, tidak hanya kita. Jadi tidak ada masalah kehilangan sedikit harta, daripada nanti terjadi sesuatu yang merugikan kita semua,” terang Paulus, yang mengaku minimal ia memberi iuran berupa materi sebesar Rp 100 ribu.
Saat ditanya bagaimana jika justru ditinggalkan penumpang yang mau masuk ke kawasan, Madi dengan gamblang mengatakan, ”Jelas kita tidak takut karena itulah aturannya di sini dan setiap tamu harus mematuhi apa yang sudah digariskan di wilayah ini. Jika mereka enggan atau bahkan melanggar, silahkan meninggalkan tempat ini. Tentang pelanggan kan berhubungan dengan rejeki, dan kita yakin yang di-Atas pasti sudah menentukan rejekinya, jadi kita tidak perlu takut, apalagi itu demi keselamatan atau kesehatan kita semua. Apa jadinya jika satu saja WPS terkena penyakit mengerikan, tentu semuanya bakal riskan terkena,” ungkap Madi panjang lebar.
Terkait pengetahuan tentang HIV dan AIDS, Madi dan Andi mengaku mendapatkan penjelasan singkat maupun detail dari beberapa pelatihan yang diikutinya. “Saya tahu dari beberapa pelatihan yang ikuti bersama teman-teman tukang ojek se-kota Tanjungpipinang,” kata Madi.
“Biasanya memang berkala. Saya pernah ikut pelatihan tiga hari bersama Yayasan Bentan Serumpun (YBS). Di situ saya diberi kuesioner terlebih dahulu, baru materi oleh beberapa orang diberi materi tertulis sampai di akhir kegiatan diberi tes lagi,” imbuh laki-laki yang sehari-harinya selalu menyempatkan diri untuk berdialog dengan keluarga tentang fenomena-fenomena yang terjadi di lingkungan masyarakatnya.
Sedang Andi mengaku sangat senang dengan pelatihan yang ia dapatkan tentang HIV dan AIDS oleh yayasan. Ilmu dan pengetahuan, meski terbatas, tetap bisa diaplikasikan ke tengah masyarakat meski hanya dari mulut-mulut.
“Jelas senang, apalagi tidak hanya di tempat mangkal saja, namun akhirnya kita terdorong untuk menyampaikannya di lingkungan saya, dan saya juga mengatakan kepada teman-teman sesama pengojek untuk menyebarluaskan hal yang sama,” jelas Andi, yang sependapat dengan Madi.
Nada setuju juga dinyatakan Hamta, teman mangkal Andi. Ia yang mengikuti kegiatan pelatihan gelombang pertama di YBS bersama Andi mengaku mendapat banyak sekali manfaat dari materi yang ia peroleh. Selain kesehatan secara umum, ia juga bisa merasakan betapa banyak hal yang bisa ia petik dari dunia yang selama ini dekat dengan profesinya.
Betapa tidak, ia kini bisa mengaplikasikan apa yang telah didapatnya di pelatihan ke dunia nyata, yakni para WPS, agar bersikap hati-hati. Tidak itu saja, ia juga bisa bercerita kepada lingkungan sosial sesungguhnya saat ia berinteraksi. Satu lagi yang ia rasakan adalah kebanggan yang menyelinap di dalam dirinya jika ternyata ia bisa juga memberi sesuatu kepada orang lain. “Ya itu tadi, apalagi terkait HIV/AIDS,” imbuh bapak satu anak ini.
Mengenai hasil pelatihan dikonversikan pada tingkat keberhasilan di kawasan lokalisasi, Madi, Andi,. Lukas, Andri, Dani sampai Hamata menyebut karena maksud yang baik semuanya pun menerima, terutama para WPS. “Lain soal jika ternyata mereka menolak mentah-mentah, nah itu baru masalah besar. Namun sejauh ini tidak ada masalah meski tetap untuk yang pertama jelas ada kesulitan,” ujar Madi.
Ia menjelaskan kesulitan yang dirasakan bersama teman-temannya adalah saat pertama kali menjelaskan tentang maksud dan tujuan, belum termasuk pengusulan penggunaan piranti khusus. Pertentangan sempat dirasakan, terutama terhadap pihak-pihak yang sudah terbiasa tanpa aturan, apalagi yang berhubungan dengan kesehatan seksual.
Namun setelah dilakukan pendekatan secara persuasif, terus menerus dan kekeluargaan akhirnya ada kesadaran untuk mengetahui lebih lanjut. Sementara kesulitan lain pertama kali timbul khusus untuk penerimaan WPS adalah saat memperkenalkan penggunaan kondom sebagai tindakan preventif terhadap timbulnya penyakit seksual. (persda network/nurfahmi budi)
“Kita menyisihkan sebagian pendapatan kita tiap minggu, namun tidak ada paksaan, toh poster-poster itu kan tidak seberapa modalnya, kebetulan kita juga punya teman yang membua poster, tentu kita dapat harganya miring,” ujar Madi, yang menyebut dalam sebulan uang yang terkumpul bisa mencapai Rp 500 ribu.
“Gak masalah tuh dengan langkah itu karena pada dasarnya yang terpenting bagi kita adalah tujuan yang akan kita sampaikan, semuanya demi kemaslahatan masyarakat, tidak hanya kita. Jadi tidak ada masalah kehilangan sedikit harta, daripada nanti terjadi sesuatu yang merugikan kita semua,” terang Paulus, yang mengaku minimal ia memberi iuran berupa materi sebesar Rp 100 ribu.
Saat ditanya bagaimana jika justru ditinggalkan penumpang yang mau masuk ke kawasan, Madi dengan gamblang mengatakan, ”Jelas kita tidak takut karena itulah aturannya di sini dan setiap tamu harus mematuhi apa yang sudah digariskan di wilayah ini. Jika mereka enggan atau bahkan melanggar, silahkan meninggalkan tempat ini. Tentang pelanggan kan berhubungan dengan rejeki, dan kita yakin yang di-Atas pasti sudah menentukan rejekinya, jadi kita tidak perlu takut, apalagi itu demi keselamatan atau kesehatan kita semua. Apa jadinya jika satu saja WPS terkena penyakit mengerikan, tentu semuanya bakal riskan terkena,” ungkap Madi panjang lebar.
Terkait pengetahuan tentang HIV dan AIDS, Madi dan Andi mengaku mendapatkan penjelasan singkat maupun detail dari beberapa pelatihan yang diikutinya. “Saya tahu dari beberapa pelatihan yang ikuti bersama teman-teman tukang ojek se-kota Tanjungpipinang,” kata Madi.
“Biasanya memang berkala. Saya pernah ikut pelatihan tiga hari bersama Yayasan Bentan Serumpun (YBS). Di situ saya diberi kuesioner terlebih dahulu, baru materi oleh beberapa orang diberi materi tertulis sampai di akhir kegiatan diberi tes lagi,” imbuh laki-laki yang sehari-harinya selalu menyempatkan diri untuk berdialog dengan keluarga tentang fenomena-fenomena yang terjadi di lingkungan masyarakatnya.
Sedang Andi mengaku sangat senang dengan pelatihan yang ia dapatkan tentang HIV dan AIDS oleh yayasan. Ilmu dan pengetahuan, meski terbatas, tetap bisa diaplikasikan ke tengah masyarakat meski hanya dari mulut-mulut.
“Jelas senang, apalagi tidak hanya di tempat mangkal saja, namun akhirnya kita terdorong untuk menyampaikannya di lingkungan saya, dan saya juga mengatakan kepada teman-teman sesama pengojek untuk menyebarluaskan hal yang sama,” jelas Andi, yang sependapat dengan Madi.
Nada setuju juga dinyatakan Hamta, teman mangkal Andi. Ia yang mengikuti kegiatan pelatihan gelombang pertama di YBS bersama Andi mengaku mendapat banyak sekali manfaat dari materi yang ia peroleh. Selain kesehatan secara umum, ia juga bisa merasakan betapa banyak hal yang bisa ia petik dari dunia yang selama ini dekat dengan profesinya.
Betapa tidak, ia kini bisa mengaplikasikan apa yang telah didapatnya di pelatihan ke dunia nyata, yakni para WPS, agar bersikap hati-hati. Tidak itu saja, ia juga bisa bercerita kepada lingkungan sosial sesungguhnya saat ia berinteraksi. Satu lagi yang ia rasakan adalah kebanggan yang menyelinap di dalam dirinya jika ternyata ia bisa juga memberi sesuatu kepada orang lain. “Ya itu tadi, apalagi terkait HIV/AIDS,” imbuh bapak satu anak ini.
Mengenai hasil pelatihan dikonversikan pada tingkat keberhasilan di kawasan lokalisasi, Madi, Andi,. Lukas, Andri, Dani sampai Hamata menyebut karena maksud yang baik semuanya pun menerima, terutama para WPS. “Lain soal jika ternyata mereka menolak mentah-mentah, nah itu baru masalah besar. Namun sejauh ini tidak ada masalah meski tetap untuk yang pertama jelas ada kesulitan,” ujar Madi.
Ia menjelaskan kesulitan yang dirasakan bersama teman-temannya adalah saat pertama kali menjelaskan tentang maksud dan tujuan, belum termasuk pengusulan penggunaan piranti khusus. Pertentangan sempat dirasakan, terutama terhadap pihak-pihak yang sudah terbiasa tanpa aturan, apalagi yang berhubungan dengan kesehatan seksual.
Namun setelah dilakukan pendekatan secara persuasif, terus menerus dan kekeluargaan akhirnya ada kesadaran untuk mengetahui lebih lanjut. Sementara kesulitan lain pertama kali timbul khusus untuk penerimaan WPS adalah saat memperkenalkan penggunaan kondom sebagai tindakan preventif terhadap timbulnya penyakit seksual. (persda network/nurfahmi budi)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar