by noenx's
BERAWAL dari semua medium yang digunakan mulai dari sosialisasi Dinas Kesehatan sampai seminar tentang HIV/AIDS, ternyata tukang ojek bisa menjadi sebuah jembatan momentum untuk diajak kerjasama dalam hal penerapan pencegahan penularan dan persebaran HIV dan AIDS.
Beberapa pengalaman tukang ojek bisa menjadi acuan tersendiri tentang betapa strategisnya peran tukang ojek dalam hal ini. Tidak tanggung-tanggung mereka bisa menjadi satu di antara garda depan pencegahan.
Mereka terkenal dengan keberanian untuk bergabung, bergaul dan mendekat pada komunitas golongan resiko tinggi tersebut. Seolah menjadi cermin untuk masyarakat, tukang ojek justru menjadi orang yang bisa berdiri paling dekat dengan para Wanita Pekerja Seks (WPS) dan pelanggannya.
Justru secara hemat, pengalaman mereka bergaul dengan kehidupan, komunitas dan lingkungan seperti itulah yang seharusnya memberi motivasi kepada semua pihak untuk senantiasa tidak berputus asa dalam mencegah, minimal meminimalisir, persebaran HIV yang menimbulkan AIDS tersebut.
Sudarmadi contohnya. Pria asal Semarang ini mengaku tidak masalah jika harus bergabung dan bersenda gurau dengan mereka yang mengidap HIV bahkan AIDS sekalipun. Tapi dengan kepercayaan keluarga dan ketebalan iman, ia bisa terus menjaga hubungan dan aktifitas fisik dengan penumpang tetapnya.
Lelaki berusia 45 tahun dan mangkal di gerbang lokalisasi Batu 15 kota Tanjungpinang ini mengaku sejak pertama kali menjadi tukang ojek langsung berhadapan dengan para WPS yang memang berdomisili di sekitar kawasan tersebut. Meski relatif fluktuatif, namun ia menyebut jumlah teman-temannya kini yang tergabung dalam kelompok mencapai kisaran 33 orang, meski jumlahnya terkadang bertambah akibat kedatang tukang ojek baru.
Namun kedatangan mereka, lanjut Sudarmadi, biasanya hanya temporal saja, setelah itu bisa keluar dari kelompoknya. “Memang sejak saya pertama kali ngojek, saya sering nongkrong di sini, dulu masih sepi, tapi sekarang memang sudah sangat ramai,” ujarnya membuka cerita.
Godaan di lingkungan tentu silih berganti saling berdatangan, tak heran jika Madi selalu membentengi diri dengan kualitas iman yang memang sudah ia peroleh sebelumnya. Beberapa godaan yang sempat dirasakannya antara lain karena seringnya melihat para WPS mengenakan kaos ketat yang menonjolkan tubuh ataupun penggunaan tanktop, sehingga terkadang terlintas untuk merasakan bagaimana “tidur” bersama mereka.
Begitu juga yang dialami Andi Susilo yang biasa disapa Andi. Ia mengaku di sekitar pangkalannya, meski tidak berada di kawasan lokalisasi, terdapat beberapa WPS, baik yang terkena HIV ataupun tidak.
“Jelas mereka terkadang menggoda, apalagi kalau tidak dapat pelanggan, namun sampai sekarang saya tidak tergoda dan tidak akan karena memang resikonya sangat besar dibanding kenikmatannya,” jelas lelaki asli Tanjungpinang tersebut.
Madi menyebut bersosialisasi dan hidup di sekitar WPS memang sangat variatif. Saat disinggung pernahkah berselisih dengan WPS yang tinggal di lokalisasi Batu 15 Tanjungpinang, ia menyebut kalau itu sudah menjadi pengalaman yang wajar.
Apalagi jika si WPS tidak puas dengan bayaran atau pendapatan satu malamnya, mereka pasti akan ngomel-ngomel dan biasanya ia yang kena, tapi dianggapnya hanya angin lalu saja, sesuatu yang wajar dan tidak perlu dibesar-besarkan. (persda network/nurfahmi budi)
Beberapa pengalaman tukang ojek bisa menjadi acuan tersendiri tentang betapa strategisnya peran tukang ojek dalam hal ini. Tidak tanggung-tanggung mereka bisa menjadi satu di antara garda depan pencegahan.
Mereka terkenal dengan keberanian untuk bergabung, bergaul dan mendekat pada komunitas golongan resiko tinggi tersebut. Seolah menjadi cermin untuk masyarakat, tukang ojek justru menjadi orang yang bisa berdiri paling dekat dengan para Wanita Pekerja Seks (WPS) dan pelanggannya.
Justru secara hemat, pengalaman mereka bergaul dengan kehidupan, komunitas dan lingkungan seperti itulah yang seharusnya memberi motivasi kepada semua pihak untuk senantiasa tidak berputus asa dalam mencegah, minimal meminimalisir, persebaran HIV yang menimbulkan AIDS tersebut.
Sudarmadi contohnya. Pria asal Semarang ini mengaku tidak masalah jika harus bergabung dan bersenda gurau dengan mereka yang mengidap HIV bahkan AIDS sekalipun. Tapi dengan kepercayaan keluarga dan ketebalan iman, ia bisa terus menjaga hubungan dan aktifitas fisik dengan penumpang tetapnya.
Lelaki berusia 45 tahun dan mangkal di gerbang lokalisasi Batu 15 kota Tanjungpinang ini mengaku sejak pertama kali menjadi tukang ojek langsung berhadapan dengan para WPS yang memang berdomisili di sekitar kawasan tersebut. Meski relatif fluktuatif, namun ia menyebut jumlah teman-temannya kini yang tergabung dalam kelompok mencapai kisaran 33 orang, meski jumlahnya terkadang bertambah akibat kedatang tukang ojek baru.
Namun kedatangan mereka, lanjut Sudarmadi, biasanya hanya temporal saja, setelah itu bisa keluar dari kelompoknya. “Memang sejak saya pertama kali ngojek, saya sering nongkrong di sini, dulu masih sepi, tapi sekarang memang sudah sangat ramai,” ujarnya membuka cerita.
Godaan di lingkungan tentu silih berganti saling berdatangan, tak heran jika Madi selalu membentengi diri dengan kualitas iman yang memang sudah ia peroleh sebelumnya. Beberapa godaan yang sempat dirasakannya antara lain karena seringnya melihat para WPS mengenakan kaos ketat yang menonjolkan tubuh ataupun penggunaan tanktop, sehingga terkadang terlintas untuk merasakan bagaimana “tidur” bersama mereka.
Begitu juga yang dialami Andi Susilo yang biasa disapa Andi. Ia mengaku di sekitar pangkalannya, meski tidak berada di kawasan lokalisasi, terdapat beberapa WPS, baik yang terkena HIV ataupun tidak.
“Jelas mereka terkadang menggoda, apalagi kalau tidak dapat pelanggan, namun sampai sekarang saya tidak tergoda dan tidak akan karena memang resikonya sangat besar dibanding kenikmatannya,” jelas lelaki asli Tanjungpinang tersebut.
Madi menyebut bersosialisasi dan hidup di sekitar WPS memang sangat variatif. Saat disinggung pernahkah berselisih dengan WPS yang tinggal di lokalisasi Batu 15 Tanjungpinang, ia menyebut kalau itu sudah menjadi pengalaman yang wajar.
Apalagi jika si WPS tidak puas dengan bayaran atau pendapatan satu malamnya, mereka pasti akan ngomel-ngomel dan biasanya ia yang kena, tapi dianggapnya hanya angin lalu saja, sesuatu yang wajar dan tidak perlu dibesar-besarkan. (persda network/nurfahmi budi)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar