by noenx's
HASIL yang dilakukan komunitas tukang ojek yang seolah tidak mengenal lelah untuk terus memberi penyuluhan tentang HIV/AIDS tersebut, menurut Novi, memang terbukti di lapangan. Paling tidak dari daya tarik alias atensi tersendiri yang diberikan para WPS di lapangan menunjukkan hal positif.
Ia melihat, ternyata kemampuan para tukang ojek sebagai media penyampai bisa diandalkan menjadi satu di antara agen efektif untuk memberi keterangan dan hal positif lainnya yang mampu memberi kesadaran tentang bahayanya beberapa tindakan yang bisa menyebabkan seseorang terkena virus HIV.
Sementara itu Direktur Eksekutif YBS, Harmoni, mengungkapkan pihaknya saat ini memang terus menerus menjadikan tukang ojek sebagai sasaran tembak utama program sosialisasi HIV/AIDS, terutama di kalangan pekerja seks.
Meski saat ini sistem pelatihan tidak seperti dulu yang mengumpulkan para tukang ojek dalam satu wadah acara guna memberikan materi secara langsung, namun obsesi lembaganya terus berkelanjutan dengan lebih intens turun ke lapangan menyambangi para tukang ojek.
“Perhatian kita terutama ditujukan pada tukang ojek yang tidak terkoordinasi alias selalu berpindah-pindah alias tidak memiliki pangkalan tertentu. Biasanya kita adakan itu saat mereka berada di pasar,” ujar Harmoni.
Tentang jumlah tukang ojek yang telah mengikuti pelatihan yang digelar lembaganya, pria setinggi 175 cm ini tidak tahu persis. Namun pihaknya telah melakukan pelatihan sebanyak tiga gelombang dengan rataan peserta 30 orang per gelombang.
“Namun itu bukan jumlah aslinya, karena di luar itu kita juga memberi penyuluhan, semacam pelatihan, terhadap tukang ojek di beberapa tempat yang jumlahnya tidak bisa diketahui secara pasti, yang jelas kita sudah cukup banyak memberi pelatihan terhadap tukang ojek di kota Gurindam ini,” sebut Harmoni.
Saat ditanya kemungkinan tukang ojek tetap berfungsi sebagai agen, Harmoni menyebut kemungkinan fungsi itu tetap ada karena tidak adanya pengawasan secara terus menerus terhadap aktifitas mereka setiap harinya.
Hanya saja ia percaya jika kelompok-kelompok tukang ojek yang telah ia beri pengertian tentang bahaya HIV/AIDS tidak akan menjadi agen. “Jaminannya memang tidak ada sama sekali, namun dari prilaku mereka kita percaya mereka akan berbuat yang positif, itu juga demi kepentingan lingkungan mereka kan,” imbuh Harmoni.
Ia menyebut tukang ojek yang memiliki pangkalan tetap menjadi objek paling bagus untuk menjadi agen penyuluh HIV/AIDS. Pemberi semangat bagi mereka tidak lain adalah perhatian yang kontinyu atas kinerja mereka. “Dan itu terus kita lakukan,” katanya pendek.
Bagi para tukang ojek tersebut, penyemangat terbesar untuk bekerja maupun mensosialisasikan tentang HIV/AIDS datang dari lingkungan keluarga. Hal itu sudah terbukti pada Madi, yang memiliki keluarga mendukung penuh aktifitasnya, baik sebagai tukang ojek maupun sekaligus penyuluh. Contoh nyata ada pada Ana, istri Madi.
Saat pertama kali suaminya memutuskan untuk berprofesi sebagai tukang ojek dan mangkal di sebuah kawasan lokalisasi besar di kota Tanjungpinang, Ia mengaku setengah keberatan Namun setelah diberi pengertian mendalam dari suaminya, tak urung justru kemudian berbalik mendukung.
“Sebelumnya dia sudah mengatakan dan menjelaskan kepada saya tentang pekerjaan dan posisinya setiap hari. Jadi saya tidak perlu khawatir karena saya percaya dengan suami saya, toh yang penting dia mendapat pekerjaan dan hasil jerih payah yang halal,” katanya.
Rasa ikhlas dan penuh percaya pada suaminya ia terapkan dalam kehidupan sehari-hari. Meski mengaku hidup serba pas-pasan, namun rasa bangga menyelinap di dada wanita ini. Selain sebagai tukang ojek, kapasitas suaminya yang sekaligus sebagai penyuluh “dadakan” bagi virus HIV dan penyakit AIDS menjadi warna tersendiri, ternyata suaminya masih bisa berguna bagi orang lain.
“Pokoknya gak masalah dia mau berpangkalan di manapun, yang penting tidak menyalahgunakan kepercayaan saya, karena saya sudah percaya 100 persen pada suami,” tutur Ani.
Penuturan Ani tersebut menandakan betapa kepercayaan dan kesetiaan bisa mendatangkan sebuah manfaat, yakni tidak akan adanya perselingkuhan yang menjurus pada gonta-ganti pasangan dalam berhubungan seksual. Jika ini bisa dilakukan, tidak hanya dalam lingkup tukang ojek namun secara keseluruhan keluarga Indonesia, bisa menjadi penghambat persebaran HIV/AIDS. (persda network/nurfahmi)
Ia melihat, ternyata kemampuan para tukang ojek sebagai media penyampai bisa diandalkan menjadi satu di antara agen efektif untuk memberi keterangan dan hal positif lainnya yang mampu memberi kesadaran tentang bahayanya beberapa tindakan yang bisa menyebabkan seseorang terkena virus HIV.
Sementara itu Direktur Eksekutif YBS, Harmoni, mengungkapkan pihaknya saat ini memang terus menerus menjadikan tukang ojek sebagai sasaran tembak utama program sosialisasi HIV/AIDS, terutama di kalangan pekerja seks.
Meski saat ini sistem pelatihan tidak seperti dulu yang mengumpulkan para tukang ojek dalam satu wadah acara guna memberikan materi secara langsung, namun obsesi lembaganya terus berkelanjutan dengan lebih intens turun ke lapangan menyambangi para tukang ojek.
“Perhatian kita terutama ditujukan pada tukang ojek yang tidak terkoordinasi alias selalu berpindah-pindah alias tidak memiliki pangkalan tertentu. Biasanya kita adakan itu saat mereka berada di pasar,” ujar Harmoni.
Tentang jumlah tukang ojek yang telah mengikuti pelatihan yang digelar lembaganya, pria setinggi 175 cm ini tidak tahu persis. Namun pihaknya telah melakukan pelatihan sebanyak tiga gelombang dengan rataan peserta 30 orang per gelombang.
“Namun itu bukan jumlah aslinya, karena di luar itu kita juga memberi penyuluhan, semacam pelatihan, terhadap tukang ojek di beberapa tempat yang jumlahnya tidak bisa diketahui secara pasti, yang jelas kita sudah cukup banyak memberi pelatihan terhadap tukang ojek di kota Gurindam ini,” sebut Harmoni.
Saat ditanya kemungkinan tukang ojek tetap berfungsi sebagai agen, Harmoni menyebut kemungkinan fungsi itu tetap ada karena tidak adanya pengawasan secara terus menerus terhadap aktifitas mereka setiap harinya.
Hanya saja ia percaya jika kelompok-kelompok tukang ojek yang telah ia beri pengertian tentang bahaya HIV/AIDS tidak akan menjadi agen. “Jaminannya memang tidak ada sama sekali, namun dari prilaku mereka kita percaya mereka akan berbuat yang positif, itu juga demi kepentingan lingkungan mereka kan,” imbuh Harmoni.
Ia menyebut tukang ojek yang memiliki pangkalan tetap menjadi objek paling bagus untuk menjadi agen penyuluh HIV/AIDS. Pemberi semangat bagi mereka tidak lain adalah perhatian yang kontinyu atas kinerja mereka. “Dan itu terus kita lakukan,” katanya pendek.
Bagi para tukang ojek tersebut, penyemangat terbesar untuk bekerja maupun mensosialisasikan tentang HIV/AIDS datang dari lingkungan keluarga. Hal itu sudah terbukti pada Madi, yang memiliki keluarga mendukung penuh aktifitasnya, baik sebagai tukang ojek maupun sekaligus penyuluh. Contoh nyata ada pada Ana, istri Madi.
Saat pertama kali suaminya memutuskan untuk berprofesi sebagai tukang ojek dan mangkal di sebuah kawasan lokalisasi besar di kota Tanjungpinang, Ia mengaku setengah keberatan Namun setelah diberi pengertian mendalam dari suaminya, tak urung justru kemudian berbalik mendukung.
“Sebelumnya dia sudah mengatakan dan menjelaskan kepada saya tentang pekerjaan dan posisinya setiap hari. Jadi saya tidak perlu khawatir karena saya percaya dengan suami saya, toh yang penting dia mendapat pekerjaan dan hasil jerih payah yang halal,” katanya.
Rasa ikhlas dan penuh percaya pada suaminya ia terapkan dalam kehidupan sehari-hari. Meski mengaku hidup serba pas-pasan, namun rasa bangga menyelinap di dada wanita ini. Selain sebagai tukang ojek, kapasitas suaminya yang sekaligus sebagai penyuluh “dadakan” bagi virus HIV dan penyakit AIDS menjadi warna tersendiri, ternyata suaminya masih bisa berguna bagi orang lain.
“Pokoknya gak masalah dia mau berpangkalan di manapun, yang penting tidak menyalahgunakan kepercayaan saya, karena saya sudah percaya 100 persen pada suami,” tutur Ani.
Penuturan Ani tersebut menandakan betapa kepercayaan dan kesetiaan bisa mendatangkan sebuah manfaat, yakni tidak akan adanya perselingkuhan yang menjurus pada gonta-ganti pasangan dalam berhubungan seksual. Jika ini bisa dilakukan, tidak hanya dalam lingkup tukang ojek namun secara keseluruhan keluarga Indonesia, bisa menjadi penghambat persebaran HIV/AIDS. (persda network/nurfahmi)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar