MESKI masih belum jelas terasa realisasi nyata dari sosok Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam, Bintan dan Karimun (BBK), pelbagai ekspektasi tinggi nan sumringah sudah keburu dicanangkan. Seperti halnya sebuah kawasan yang akan berkembang pesat nantinya, satu di antara yang paling menonjol adalah sampai seberapa besar potensi masyarakat tempatan menjadi bagian penting implementasi FTZ BBK ini. Apakah mereka patut mendapat tempat ataukah hanya akan berstatus menjadi tuan rumah di negeri sendiri?
Nah, untuk mengupas potensi, peluang dan pelbagai langkah strategis untuk mempersiapkan era baru itu, Kerabat Masyarakat Lingga, Gerakan Masyarakat Peduli Kepulauan Riau dan Pusat Studi Pemberdayaan Masyarakat mengadakan seminar sehari penuh bertajuk Posisi dan Peran serta Masyarakat Tempatan dalam Zona Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas di provinsi Kepulauan Riau.
Seminar yang diselenggarakan Sabtu (15/3) di hotel Aryadhuta Jakarta, kemarin menghadirkan beberapa tokoh dan pakar seperti Wakil Gubernur Kepri M Sani, Eko Prasojo Guru Besar FISIP UI, Prof Dr H Nen Amran SE, Mec Guru Besar FE Universitas Padjadjaran Bandung, Prof Dr Ermaya Suradinata MS MH Pembina Utama Lemhanas dan Syamsul Bahrum PhD Asisten Ekonomi dan Pembangunan Pemko Batam yang juga Ketua Tim SEZ Batam.
Berikut isi dan temuan menarik dari seminar yang diikuti sekitar 120 orang dari pelbagai elemen masyarakat Kepri yang ada di Jakarta dan Bandung.
SEBUAH kondisi klise memang jika sebuah daerah telah berkembang pesat menjadi sentra ekonomi dan pelbagia kegiatan umum, tiba-tiba saja ada yang kurang. Apa itu?lenyapnya sebuah klan khusus, yakni masyarakat lokal alias orang tempatan.
Tidak bisa dipungkiri memang hal itu lambat laun sudah menjadi budaya dan tradisi yang berakar di Indonesia. Nyaris di semua daerah yang memiliki tingkat pertumbuhan ekonomi pesat, masyarakat tempatan seolah "terpinggirkan", meski secara harfiah itu tidak terjadi, hanya secara fisik semata.
Beberapa daerah telah mengalami itu. Jakarta hampir kehilangan identitas dan entitas Betawi yang notabene adalah "pemilik" ranah ibukota. Dalam skup lebih kecil lagi, di kawasan kampus universitas besar nyaris susah menemukan orang asli yang tinggal di lingkup kampus. Semuanya nyaris menyingkir dan memberikan lahan mereka kepada pendatang ataupun menyediakan rumah kos.
Selain sisi positif, fenomena pluralisme itu jelas mengandung sisi negatif bagi kehidupan bermasyarakat. Hilangnya budaya dan entitas lokal adalah kerugian terbesar yang justru menjadi porsi terbesar dalam kemungkinan dampak negatif yang ada dari perkembangan dan pengembangan sebuah kawasan menjadi sentra kegiatan ekonomi. "Dan sepertinya Kepri jika tidak dijaga, tiga daerahnya, Batam, Bintan dan Karimun bakal menghadapi kenyataan itu,"ujar Eko Prasojo.
Putra asli Kijang, Kabupaten Bintang ini menyorot lebih pada kesiapan masyarakat tempatan untuk menjadi modal penting sebuah pengembangan ekonomi. Jangankan mengarah pada menjadi bagian tenaga kerja dalam level FTZ, perhatian lebih harus tertuju pada kesiapan mental masyarakat itu sendiri. Jika tidak siap, konflik panjang antara masyarakat-pendatang, masyarakat-investor dan masyarakat dengan pemerintah bakal terus berlanjut, yang imbasnya tentu merembet pada ketidakstabilan situasi. "Investor pun bakal kabur lagu, jadi yang paling utama tentu kesiapan masyarakat sendiri, selanjutnya baru keikutsertaan mereka dalam status naker,"tegas tokoh progresif ini.
Seminar ini juga mampu membongkar beberapa poin yang selama ini seolah tabu untuk diungkapkan di wilayah lokal. Prof Ermaya menyebut, ada banyak hal kelemahan yang ada di Kepri, yang seolah kurang disadari di tengah euforia yang belum tentu bakal terealisir dalam rentang dua tahun mendatang.
Beberapa permasalahan yang menggelayuti di kawasan Kepulauan Riau (Kepri) antara lain rendahanya kualitas sumber daya manusia, penanganan kawasan khusus belum optimal secara terpadu, rendahnya aksebilitas yang menghubungkan wilayah kawasan khusus di provinsi Kepri yan tertinggal dan terpencil dengan pusat pemerintahan, terbatasnya sarana dan prasarana baik pemerintahan, perhubungan, pendidikan, kesehatan, perekonomian, komunikasi, air bersih, ketenagalistrikan serta pertahanan dan keamanan.
Padahal di sisi lain, secara kuantitatif, dalam lima tahun terakhir Batam sendiri telah menyumbang pajak penghasilan Rp4,4 triliun ke pemerintah pusat. Belum lagi perputaran keuangan via pengiriman wesel dan prosesi transfer uang melalui perbankan yang menembus angka Rp142 miliar per tahun.
Dampak dari angka kuantitatif tersebut tentu merangsek ke sektor kualitatif. Saat ini PDRB Kepri saja sudah sama dengan Sumbar, tiga kali Jambi dan empat kali Bangka Belitung. Belum lagi pendapatan per kapita yang mencapai Rp23.831.469. Angka ini berarti empat kali Sumbar dan Bangka Belitung, tujuh kali Lampung dan tiga kali lebih besar secara nasional.
Nilai rupiah tersebut tentu tergolong besar bagi sebuah kawasan industri yang terus berkembang. Status FTZ pun menjadi harapan tersendiri bagi pelaku usaha guna mengembangkan sayap bisnis mereka.
Namun sayang, di balik itu semua ada sebuah ironi. Seperti disampaikan di bagian atas, masyarakat tempatan kini seolah terpinggirkan di level penggerak dan penentu. Lihat saja dari jumlah nilai yang keluar melalui wesel pos. Angka Rp142 miliar per tahun itu jelas menjadi volume yang dinikmati masyarakat luar. Masyarakat tempatan?seolah tertelungkup atau enggan berdiri, namun terasa masih sulit bersaing dengan gaya strunggle dan survivor pendatang.
"Itu memang masih sebuah kelemahan, euforia masa lalu dan masa sekarang jelas berbeda, realistis jelas menjadi beban sekarang. Satu sisi kawasan maju, namun di sisi lain nyaris tidak ada tempat untuk masyarakat lokal,"papar Eko.
Kenyataan betapa lemahnya sisi survivor tersebut tergambar dari sedikitnya peserta Balai Latihan Kerja (BLK) Batam yang berasal dari masyarakat tempatan. Dalam forum itu tergambar, dari 200 orang yang saat ini menjadi peserta kursus, tidak ada seorang pun yang berasal dari masyarakat tempatan.
Pembedahan ini membuat semua pihak pun tersentak. Keinginan kuat tidak hanya ingin menjadi tuan rumah di negeri sendiri pun menguat. "Kini saatnya jangan hanya bereforia di level kebijakan, tapi bagaimana kebijakan itu bisa memberi arti lebih pada masyarakat tempatan,"ujar M Sani.
Ia pun berjanji untuk memberikan porsi lebih bagi setiap masyarakat tempatan untuk berada di garda depan implementasi FTZ. Langkah ini akan dilakukan dengan memberikan batas porsi perekrutas tenaga kerja dari dalam dan luar. "Setiap perusahaan bakal diwajibkan untuk memberikan porsi tersendiri bagi pekerja lokal,"janji Sani. (persda network/nurfahmi)
Nah, untuk mengupas potensi, peluang dan pelbagai langkah strategis untuk mempersiapkan era baru itu, Kerabat Masyarakat Lingga, Gerakan Masyarakat Peduli Kepulauan Riau dan Pusat Studi Pemberdayaan Masyarakat mengadakan seminar sehari penuh bertajuk Posisi dan Peran serta Masyarakat Tempatan dalam Zona Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas di provinsi Kepulauan Riau.
Seminar yang diselenggarakan Sabtu (15/3) di hotel Aryadhuta Jakarta, kemarin menghadirkan beberapa tokoh dan pakar seperti Wakil Gubernur Kepri M Sani, Eko Prasojo Guru Besar FISIP UI, Prof Dr H Nen Amran SE, Mec Guru Besar FE Universitas Padjadjaran Bandung, Prof Dr Ermaya Suradinata MS MH Pembina Utama Lemhanas dan Syamsul Bahrum PhD Asisten Ekonomi dan Pembangunan Pemko Batam yang juga Ketua Tim SEZ Batam.
Berikut isi dan temuan menarik dari seminar yang diikuti sekitar 120 orang dari pelbagai elemen masyarakat Kepri yang ada di Jakarta dan Bandung.
SEBUAH kondisi klise memang jika sebuah daerah telah berkembang pesat menjadi sentra ekonomi dan pelbagia kegiatan umum, tiba-tiba saja ada yang kurang. Apa itu?lenyapnya sebuah klan khusus, yakni masyarakat lokal alias orang tempatan.
Tidak bisa dipungkiri memang hal itu lambat laun sudah menjadi budaya dan tradisi yang berakar di Indonesia. Nyaris di semua daerah yang memiliki tingkat pertumbuhan ekonomi pesat, masyarakat tempatan seolah "terpinggirkan", meski secara harfiah itu tidak terjadi, hanya secara fisik semata.
Beberapa daerah telah mengalami itu. Jakarta hampir kehilangan identitas dan entitas Betawi yang notabene adalah "pemilik" ranah ibukota. Dalam skup lebih kecil lagi, di kawasan kampus universitas besar nyaris susah menemukan orang asli yang tinggal di lingkup kampus. Semuanya nyaris menyingkir dan memberikan lahan mereka kepada pendatang ataupun menyediakan rumah kos.
Selain sisi positif, fenomena pluralisme itu jelas mengandung sisi negatif bagi kehidupan bermasyarakat. Hilangnya budaya dan entitas lokal adalah kerugian terbesar yang justru menjadi porsi terbesar dalam kemungkinan dampak negatif yang ada dari perkembangan dan pengembangan sebuah kawasan menjadi sentra kegiatan ekonomi. "Dan sepertinya Kepri jika tidak dijaga, tiga daerahnya, Batam, Bintan dan Karimun bakal menghadapi kenyataan itu,"ujar Eko Prasojo.
Putra asli Kijang, Kabupaten Bintang ini menyorot lebih pada kesiapan masyarakat tempatan untuk menjadi modal penting sebuah pengembangan ekonomi. Jangankan mengarah pada menjadi bagian tenaga kerja dalam level FTZ, perhatian lebih harus tertuju pada kesiapan mental masyarakat itu sendiri. Jika tidak siap, konflik panjang antara masyarakat-pendatang, masyarakat-investor dan masyarakat dengan pemerintah bakal terus berlanjut, yang imbasnya tentu merembet pada ketidakstabilan situasi. "Investor pun bakal kabur lagu, jadi yang paling utama tentu kesiapan masyarakat sendiri, selanjutnya baru keikutsertaan mereka dalam status naker,"tegas tokoh progresif ini.
Seminar ini juga mampu membongkar beberapa poin yang selama ini seolah tabu untuk diungkapkan di wilayah lokal. Prof Ermaya menyebut, ada banyak hal kelemahan yang ada di Kepri, yang seolah kurang disadari di tengah euforia yang belum tentu bakal terealisir dalam rentang dua tahun mendatang.
Beberapa permasalahan yang menggelayuti di kawasan Kepulauan Riau (Kepri) antara lain rendahanya kualitas sumber daya manusia, penanganan kawasan khusus belum optimal secara terpadu, rendahnya aksebilitas yang menghubungkan wilayah kawasan khusus di provinsi Kepri yan tertinggal dan terpencil dengan pusat pemerintahan, terbatasnya sarana dan prasarana baik pemerintahan, perhubungan, pendidikan, kesehatan, perekonomian, komunikasi, air bersih, ketenagalistrikan serta pertahanan dan keamanan.
Padahal di sisi lain, secara kuantitatif, dalam lima tahun terakhir Batam sendiri telah menyumbang pajak penghasilan Rp4,4 triliun ke pemerintah pusat. Belum lagi perputaran keuangan via pengiriman wesel dan prosesi transfer uang melalui perbankan yang menembus angka Rp142 miliar per tahun.
Dampak dari angka kuantitatif tersebut tentu merangsek ke sektor kualitatif. Saat ini PDRB Kepri saja sudah sama dengan Sumbar, tiga kali Jambi dan empat kali Bangka Belitung. Belum lagi pendapatan per kapita yang mencapai Rp23.831.469. Angka ini berarti empat kali Sumbar dan Bangka Belitung, tujuh kali Lampung dan tiga kali lebih besar secara nasional.
Nilai rupiah tersebut tentu tergolong besar bagi sebuah kawasan industri yang terus berkembang. Status FTZ pun menjadi harapan tersendiri bagi pelaku usaha guna mengembangkan sayap bisnis mereka.
Namun sayang, di balik itu semua ada sebuah ironi. Seperti disampaikan di bagian atas, masyarakat tempatan kini seolah terpinggirkan di level penggerak dan penentu. Lihat saja dari jumlah nilai yang keluar melalui wesel pos. Angka Rp142 miliar per tahun itu jelas menjadi volume yang dinikmati masyarakat luar. Masyarakat tempatan?seolah tertelungkup atau enggan berdiri, namun terasa masih sulit bersaing dengan gaya strunggle dan survivor pendatang.
"Itu memang masih sebuah kelemahan, euforia masa lalu dan masa sekarang jelas berbeda, realistis jelas menjadi beban sekarang. Satu sisi kawasan maju, namun di sisi lain nyaris tidak ada tempat untuk masyarakat lokal,"papar Eko.
Kenyataan betapa lemahnya sisi survivor tersebut tergambar dari sedikitnya peserta Balai Latihan Kerja (BLK) Batam yang berasal dari masyarakat tempatan. Dalam forum itu tergambar, dari 200 orang yang saat ini menjadi peserta kursus, tidak ada seorang pun yang berasal dari masyarakat tempatan.
Pembedahan ini membuat semua pihak pun tersentak. Keinginan kuat tidak hanya ingin menjadi tuan rumah di negeri sendiri pun menguat. "Kini saatnya jangan hanya bereforia di level kebijakan, tapi bagaimana kebijakan itu bisa memberi arti lebih pada masyarakat tempatan,"ujar M Sani.
Ia pun berjanji untuk memberikan porsi lebih bagi setiap masyarakat tempatan untuk berada di garda depan implementasi FTZ. Langkah ini akan dilakukan dengan memberikan batas porsi perekrutas tenaga kerja dari dalam dan luar. "Setiap perusahaan bakal diwajibkan untuk memberikan porsi tersendiri bagi pekerja lokal,"janji Sani. (persda network/nurfahmi)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar