Ibarat mercusuar, iklim usaha di Indonesia akan semakin bersinar dilihat oleh negara lain setelah mengamati kinerja perusahaan-perusahaan raksasa meneguk untung begitu banyak. Lima belas perusahaan yang terdaftar pada Bursa Efek Indonesia (BEI) masing-masing berhasil membukukan laba dalam jumlah kolosal, dari Rp1,4 triliun sampai Rp10,7 triliun. Hal ini tentu akan menjadi magnet bagi para investor dan pemerintah akan sedikit bernafas lega jika kelak aliran investasi akan semakin deras.
Memang wajar bila investasi menjadi salah satu sandaran untuk menopang kemajuan bangsa ini, bahkan sebuah bangsa rela merombak habis-habisan berbagai peraturan agar nyaman bagi para investor. Berbagai lembaga internasional pun memberikan penilaian terhadap kondisi setiap negara di dunia, sebagai rapor untuk para investor.
Tidak ketinggalan, kita pun mencitrakan sebagai sebuah negara yang hangat dan empuk untuk berdagang pada para investor di luar negeri melalui roadshow ekonomi ataupun lawatan Kepala Negara. Berbagai peraturan pun dibidani pemerintah sebagai surat undangan untuk para investor. Itu semua upaya yang harus didukung, tentu saja.
Tetapi kita baru menyadari betapa rapuhnya peraturan kita ketika permasalahan muncul pada hubungan antara pemerintah dan investor tersebut. Pemerintah sering harus bersimpuh, tiada daya dan kuasa ketika berhadapan dengan investor. Kuatnya tekanan dan pengaruh asing menjadi alasan ketidakberdayaan kita.
Lagi-lagi, negara yang dirugikan baik berupa ganti rugi, banjir pengangguran ketika mereka tiba-tiba memutuskan hengkang atau menyetop produksinya dan pindah ke negara lain. Dua pernyataan tadi sebagai ilustrasi dari petaka yang dilahirkan oleh foreign direct investment (FDA) atau penanaman modal asing (PMA).
Yang menjadi pertanyaan, tidakkah pemerintah dapat mengaudisi setiap permohonan penanaman modal, sehingga hal-hal yang tersurat, tersirat, maupun tersuruk dapat dideteksi lebih awal. Maka setiap izin yang diterbitkan haruslah diberikan pada investor idola, yakni investor yang mempunyai tujuan mulia, yang tidak hanya mencari untung sebesar-besarnya tanpa peduli dampak buruk bagi negara yang telah memberi keuntungan. Investor yang tidak bermental licik yang menginjak-injak buruh dengan upah yang sangat tidak manusiawi.
Problematika Investasi
PMA masih berdiri pada dua kutub. PMA mendorong pembangunan karena menjadi mata air dari tumbuhnya teknologi mutakhir, proses produksi baru, sistem manajemen up to date, juga sistem organisasi aktual ini menjadi tesis dari pihak yang mendukung. Pada sudut pandang lain, meneriakkan bawa PMA lebih menguntungkan negara asal dari pada negara tuan rumah karena perusahaan-perusahaan multinasional dapat menggunakan kekuasaan mereka yang besar terhadap pelaku ekonomi-ekonomi yang lebih kecil dan lemah.
Hal yang disebut terakhir ini memang sebuah keniscayaan karena nilai kekayaan perusahaan besar ini bahkan melebihi PDB negara berkembang. Sebagai contoh, makmurnya Toyota Jepang dengan nilai kekayaan mencapai USD124,7 miliar melebihi kurusnya PDB Aljazair yang hanya mencapai USD49,6 miliar, apalagi dibandingkan dengan PDB Kenya yang hanya USD11,1 miliar.
Angka yang disebut terakhir ini bahkan tidak bisa menandingi nilai kekayaan perusahaan Korea Selatan, Samsung, yang tumpukan dolarnya telah mencapai lebih dari 11,2 miliar. Tampaklah keperkasaan investor dapat mengikis kedaulatan dan menggerus otonomi sebuah negara. Jika sebuah negara membatasi ruang gerak para investor dengan berbagai kebijakan-kebijakan, maka jurus konservatif yang paling populer digertakkan adalah memindahkan usahanya ke negara lain yang lebih longgar aturannya.
Di negara ini pun, sempitnya lahan pekerjaan sering menjadi kampanye abadi pemerintah, betapa kita sangat membutuhkan investor. Orde Baru bahkan begitu menghamba pada kepentingan investor. Secara perlahan, wilayah produktif rakyat beralih penguasaan. Seperti hak pengusahaan hutan diberikan secara besar-besaran kepada kroni penguasa.
Pengusaha asing dengan leluasa mengeruk kekayaan mineral dan migas negeri ini, dengan syarat memberikan sebagian keuntungannya pada kroni penguasa. Lahan-lahan produktif yang menjadi sumber kehidupan rakyat harus tergusur. Bahkan juga dilakukan penghilangan identitas komunitas lokal atas adat yang selama ini melingkupi kehidupan mereka. Ketika kemudian rezim Orde Baru runtuh, secercah harapan hadir. Rakyat sangat berharap terjadi perubahan mendasar di negeri ini.
Namun, apa yang diharapkan sangat jauh dari kenyataan yang diterima hari ini. Telah satu dekade sejak keruntuhan rezim tidak pernah terjadi sebuah perubahan di tingkat rakyat. Kemiskinan tetap terjadi. Biaya pendidikan dan kesehatan semakin mahal. Transportasi pun masih menjadi sebuah hambatan bagi pengembangan ekonomi lokal.
Masa otonomi daerah yang setengah hati kemudian malah melahirkan rezim-rezim penindas lokal. Pelayan publik (pemerintah) di daerah malah menjadi penguasa baru. Segala hal yang pernah terjadi di masa Orde Baru masih saja berlangsung dalam skala lokal. Penguasaan lahan skala luas oleh pemodal, pengerukan kekayaan alam, hingga penggusuran wilayah sumber kehidupan tetap saja terjadi. Rakyat tidak pernah dilayani untuk mengembangkan potensi lokalnya.
Tawaran yang diberikan hanyalah menerima investasi dan menggadaikan lahan-lahan produktif rakyat. Pemerintah sebagai pelayan rakyat sudah selayaknya menunjukkan keberpihakan kepada rakyat, seleksi penerbitan izin pada para investor harus dikaji secara mendalam beserta dampak negatif yang mungkin timbul, dan tentu saja potensi sengketa yang dapat terjadi karena memang kekalahan sengketa antara pihak pemerintah dan investor bukan lagu baru.
Seperti yang pernah diberitakan, pengadilan Cayman Islands akhirnya memutus bersalah PT Pertamina (Persero) dalam kasus gugatan pelanggaran kontrak yang dilayangkan Karaha Bodas Company, kontraktor pembangkit listrik tenaga panas bumi di Karaha. Alhasil, Pertamina wajib membayar klaim kepada Karaha Bodas Company sebesar USD315 juta.
Dana tersebut terdiri atas denda sesuai dengan putusan arbitrase internasional sebesar USD261 juta pada 2000 ditambah bunga sebesar USD44 juta. Tentu pil pahit seperti ini jangan sampai tertelan lagi. Karena itu, perlu jaring yang lebih rapat untuk menyaring para investor yang akan menanamkan investasinya di sini.
Berbagai motif dari hasrat untuk berinvestasi di sini harus kita lacak, berbagai orientasi dari itikad mereka harus kita petakan. Pertama, apakah investor tersebut hanya bernafsu untuk menguras secara tidak bertanggung jawab terhadap sumber daya alam kita? Kedua, apakah investor hanya bermotif menginjak-injak tenaga kerja kita yang murah? Ketiga, apakah motif mereka hanya menjadikan kita sebagai pasar bagi produk mereka?
Keempat, apakah integrasi pemasaran yang mereka lakukan semata-mata untuk menguasai pasar dunia sehingga mereka menjadi pemain tunggal pada pasar tersebut? Dengan membaca motif dari para investor, kita dapat menjadikan aliran dana yang masuk menjadi investasi yang berkualitas-yang dapat memberi kontribusi positif terhadap pembangunan ekonomi kita.
Motif-motif di atas harus benar-benar dihayati oleh kita semua, khususnya pemerintah pusat maupun daerah, agar kehadiran investor benar- benar memberi manfaat. Bukan sebaliknya, justru melahirkan bencana bagi perekonomian Indonesia di masa depan. (*)
Agus Suman,PhD
Pengajar Universitas Brawijaya
Alumnus Universite Pierre Mendes France, Grenoble
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar