"... fundamentalisme pasar telah menjadi demikian kuatnya sehingga kekuatan politik mana pun yang berani menentangnya akan dicap sebagai sentimental, tidak logis, dan naif.... Pendek kata, apabila kekuatan pasar dibiarkan bebas secara penuh, meskipun di bidang murni ekonomi dan keuangan murni, maka kekuatan pasar ini akan menghasilkan kekacauan dan pada akhirnya menuju pada hancurnya tatanan kapitalisme global...." George Soros (1998). Miliuner George Soros mengatakan, krisis keuangan saat ini adalah yang terburuk sejak depresi besar tahun 1929. Krisis ini sedang menuju titik nadir. Soros mengatakan, akar krisis kekacauan di sektor keuangan, tertanam sejak dekade 1980-an. Saat itu, Ronald Reagen dan Margaret Thatcher mendamba laissez-faire, mazhab yang menjunjung pasar liberal atas dasar keyakinan bahwa pasar akan melakukan koreksi sendiri atas kesalahan (Bloomberg News, 3 April 2008) Dikatakan Soros, Reagen dan Thatcher juga melandaskan ekonomi pada pasar bebas yang disertai pinjaman, yang secara akumulatif menumpuk hingga sekarang.
Karena mazhab laissez-faire, gerak-gerik dan perilaku di pasar uang juga tidak diatur secara saksama. Terjadilah kekacauan alokasi dana, termasuk ke sektor perumahan Amerika Serikat (AS) dengan jumlah uang yang berlebihan hingga dana-dana itu terjerembab dalam kredit macet. Jika menilik keberadaan laissezfaire, mazhab ini sebenarnya berulang kali mengalami reinkarnasi. Setelah "the end of laissez-faireyang pertama", yaitu dengan munculnya Keynes sebagai reformis (1926), kemudian muncul kembali Bator, Baran, Dob, Lange, Singer, dan Robinson yang mengakhiri "laissez-faire kedua" (1957)."The end of laissez-faire ketiga" muncul kembali dengan hadirnya Kuttner (1991) dan tokoh-tokoh lain seperti Sen, Etzioni, Heilbroner, Thurow, dan Stiglitz (Swasono, 2005). Kini, seiring dengan sejumlah kegagalan neoliberalisme dalam menghadirkan sistem perekonomian dunia yang berkeadilan dan beradab, tampaknya mulai ada tanda-tanda "the end of laissez-faire keempat". Setelah teori mekanisme desain yang memikirkan bagaimana pemerintah mengelola kekayaan untuk memberi kemakmuran bagi rakyat telah mengantar Hurwicz, Maskin, dan Myerson meraih Nobel Ekonomi 2007, sejumlah pihak mulai merenungkan kebenaran dampak laissez-faire.
Laissez-Faire dan Indonesia Di Indonesia, laissez-faire masih menjadi kurikulum dunia ekonomi, baik di pemerintahan maupun akademisi. Laissez-faire dipandang sebagai sebuah keniscayaan yang harus dihadapi dengan keterbukaan. Sudah bisa dihitung dengan jari, mana saja aset-aset nasional yang masih dimiliki 100 persen oleh bangsa ini. Sisanya, sudah banyak didominasi kepemilikan asing dengan komposisi mayoritas. Bicara tentang laissez-faire di Indonesia, itu tidak lepas dari ekonom Indonesia seperti Sritua Arif, Mubyarto, HMT Opposunggu, dan Sri-Edi Swasono yang kerap dicemooh karena memperingatkan dampak buruk laissez faire. Ketika peringatan mereka dipandang sebelah mata agar mewaspadai laissez-faire secara teoretis maupun empiris, waktu tampaknya mulai berkompromi dan menunjukkan kebenaran peringatan tersebut. Kini, paradigma baru tampaknya mulai bersemi. Benih yang ditebarkan perlahan tumbuh dan menggugah hati ekonom-ekonom muda untuk mencari wujud ekonomi yang membawa kemakmuran kepada rakyat. Sayang, benih ini belum hadir di hati petinggi negeri ini. Harga kebutuhan pokok terus melonjak. Elpiji dan minyak tanah sama langkanya. Korban Lapindo masih bertebaran di sana-sini. Pedagang kali lima masih terseok-seok mencari tempat berjualan yang aman. Gizi-buruk masih mengancam anak-anak negeri. Liberalisasi terjadi di mana-mana. Jurang antara kaya dan miskin semakin dalam. Yang terjadi bukanlah penggusuran kemiskinan, melainkan penggusuran orang miskin. Antara Soros, Laissez-Faire, dan Indonesia Pandangan negatif yang selama ini melekat pada Soros sebagai biang keladi krisis moneter 1997/1998 mungkin sulit dihilangkan. Banyak yang meragukan pernyataan-pernyataan yang diberikannya. Namun demikian, bisa jadi pendapatnya tentang laissezfaire patut diperhatikan. Sebab, itu semua terwujud dalam realitas krisis yang terjadi di depan mata kita saat ini. Pengusung laissez-faire akhirnya termakan oleh senjatanya sendiri. Inilah sinyal-sinyal harapan "the end of laissez-faire keempat". Di Indonesia, sinyal-sinyal ini tampaknya belum jelas terlihat. Pemegang modal masih selalu dimenangkan. Demi keindahan kota, pedagang kecil digusur tanpa ada win-win solution. Bencana akibat pengeboran, alamlah yang disalahkan. Banyaknya tanah longsor dan banjir, perubahan iklim yang dituding. Harga-harga domestik kian tinggi, faktor eksternal yang selalu menjadi pemicunya.
Kapan kita mau menyadari bahwa kita juga punya peran untuk segala kekacauan ini? Semoga, Gubernur Bank Indonesia (BI) 2008-2013, calon Presiden Indonesia 2009-2014, dan seluruh jajaran petinggi pemerintahan di negeri ini, kelak semakin memiliki hati untuk berpihak pada rakyat kecil. Menerima laissez-fairesecara apa adanya berarti membenarkan pasar menggusur rakyat. Semoga sinyal harapan the end of laissez-faire keempat pun terjadi di Indonesia. (*)
Khairunnisa Musari
Mahasiswa S3 Ilmu Ekonomi Minat Studi Ekonomi Islam Unair
dan Peneliti Institute for Strategic Economics and Finance (Insef
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar