Dari kunjungan tersebut, saya memperoleh penegasan ulang bahwa industrialisasi di China dikembangkan di atas prinsip pemanfaatan potensi lokal dan kesalingterkaitan yang tinggi. Pemanfaatan potensi lokal dan penekanan terhadap prinsip kesalingterkaitan adalah pilar utama pengembangan industri berbasis klaster.
Di atas pilar tersebut, industri berkembang dengan akar yang kuat dengan berbagai aktor dan sektor yang bekerja saling memperkuat. Kluster industri oleh Michael Porter (1998) didefinisikan sebagai "a geographically proximate group of interconnected companies and associated institutions in a particular field, linked by commonalities and complementarities".
Pengelompokan perusahaan sejenis yang bekerja saling melengkapi dan saling memperkuat terbukti memiliki daya saing tinggi. Alfred Marshall (1920) adalah ekonom pertama yang banyak membahas pengembangan industri berbasis klaster. Distrik industri sebagai embrio pertumbuhan kluster cenderung memiliki daya saing tinggi karena menciptakan efisiensi kolektif dalam memanfaatkan ketersediaan sumber bahan baku lokal, tenaga kerja dengan keterampilan khusus, penyebaran pengetahuan (knowledge spillover) yang cepat, dan keterkaitan hulu-hilir yang kuat.
Di Indonesia, sesungguhnya kita telah mengenal konsep Lingkungan Industri Kecil dan Sentra Industri sejak 1979. Sentra industri tumbuh melalui perencanaan dan keterlibatan pemerintah, sedangkan lingkungan industri kecil lebih tumbuh secara alami.Konsep-konsep tersebut pada awalnya dikembangkan untuk membina industri kecil dengan lebih baik, dari segi biaya ataupun ketepatgunaannya.
Pada pertengahan 1990-an, sejumlah departemen juga mengembangkan konsep pengembangan industri berbasis klaster. Bahkan, ada departemen yang telah menerbitkan inventarisasi jumlah kluster potensial, yaitu kluster yang memiliki potensi bertumbuh tinggi.
Memang harus diakui, sebagian besar embrio kluster di Indonesia sulit berkembang karena berbagai sebab, seperti beratnya kendala bahan baku dan banyaknya beredar produk pengganti (substitute) dengan kinerja produk lebih baik. Munculnya berbagai konsep tersebut menunjukkan adanya kesadaran para pengambil kebijakan (policy makers) bahwa konsentrasi industri secara spasial dan sektoral sesungguhnya memberi harapan peningkatan daya saing industri kecil.
Sayang, pelaksanaan dari konsep-konsep pengembangan tersebut dinilai kurang berhasil. Ini kembali membuktikan bahwa kelemahan utama kita terletak pada pelaksanaan (eksekusi) program. Saya mencatat tiga kesamaan dari berbagai kluster di China yang saya kunjungi. Pertama, kluster-kluster tersebut didukung ketersediaan infrastruktur yang memadai. Infrastruktur yang baik membuat akses ke dan dari kluster sangat terbuka, dan tercipta efisiensi operasional yang tinggi.
Kedua, peran sejumlah perusahaan kunci (hub companies) untuk membuka pasar baru sangat menonjol. Perusahaan-perusahaan ini biasanya sangat inovatif dalam mencipta desain baru yang diminati pasar. Mereka sangat rajin berpromosi untuk memperkuat merek dan citra, juga memiliki jaringan kerja sama kuat dengan berbagai lembaga penunjangnya.
Ketiga, dukungan sumber daya manusia dan modal sosial yang kuat. Meski tidak memiliki data terperinci untuk perbandingan, saya memperoleh kesan kuat terhadap etos kerja dan produktivitas pekerja yang tinggi. Sumber daya manusia yang terampil dan modal sosial kuat ini memungkinkan terjadinya dua kondisi bersamaan, yaitu semangat bersaing dan bekerja sama yang tinggi.
Tiga tahun lalu, Japan External Trade Organization (JETRO) bekerjasama dengan Institute of Developing Economies (IDE) menerbitkan buku Industrial Clusters in Asia (2005). Saya kecewa karena buku tersebut tidak memuat contoh kluster yang dinilai berhasil di Indonesia. Yang ada hanya contoh kluster industri di Tianjin (China), Bangalore (India), dan sejumlah klusterdi Malaysia dan Vietnam.
Apakah pengembangan kluster di Indonesia dianggap gagal atau hanya karena penelitian JETRO tidak mencakup Indonesia? Tidak jelas. Padahal, kita memiliki sejumlah kluster industri berdaya saing tinggi, seperti kluster kelapa sawit, rumput laut, teh, dan furnitur. Jepara dulu dikenal sebagai salah satu kluster furnitur kelas dunia dan dalam banyak studi disejajarkan dengan keberhasilan kluster peralatan kedokteran di Sialkot (Pakistan) atau kluster alas kaki di Agra (India).
Bagaimana nasib-nasib kluster yang ada saat ini? Apakah kluster atau yang embrionya kita sebut sentra industri sedang mengalami tekanan serius? Hermine Weijland, seorang ahli ekonomi negara berkembang dari Vrije Universiteit Amsterdam (VUA), pernah mempertanyakan apakah sentra industri yang merupakan refleksi industrialisasi di pedesaan, merupakan kantong-kantong pertumbuhan atau sebaliknya sebagai kantong-kantong kemiskinan (pockets of poverty)? Saat-saat seperti sekarang, ketika penciptaan kesempatan kerja begitu mendesak dan tekanan urbanisasi semakin kencang, revitalisasi pertanian seyogianya disertai dengan upaya revitalisasi industri.
Berbagai kendala pengembangan industri pada kluster berprospek cerah harus segera ditangani dan dilakukan upaya pembenahan yang serius. Bila tidak ada upaya serius, kita hanya menunggu semakin panjangnya daftar kluster industri yang masuk fase sekarat. Mati segan, hidup pun enggan. (*) Hendrawan Supratikno
Di atas pilar tersebut, industri berkembang dengan akar yang kuat dengan berbagai aktor dan sektor yang bekerja saling memperkuat. Kluster industri oleh Michael Porter (1998) didefinisikan sebagai "a geographically proximate group of interconnected companies and associated institutions in a particular field, linked by commonalities and complementarities".
Pengelompokan perusahaan sejenis yang bekerja saling melengkapi dan saling memperkuat terbukti memiliki daya saing tinggi. Alfred Marshall (1920) adalah ekonom pertama yang banyak membahas pengembangan industri berbasis klaster. Distrik industri sebagai embrio pertumbuhan kluster cenderung memiliki daya saing tinggi karena menciptakan efisiensi kolektif dalam memanfaatkan ketersediaan sumber bahan baku lokal, tenaga kerja dengan keterampilan khusus, penyebaran pengetahuan (knowledge spillover) yang cepat, dan keterkaitan hulu-hilir yang kuat.
Di Indonesia, sesungguhnya kita telah mengenal konsep Lingkungan Industri Kecil dan Sentra Industri sejak 1979. Sentra industri tumbuh melalui perencanaan dan keterlibatan pemerintah, sedangkan lingkungan industri kecil lebih tumbuh secara alami.Konsep-konsep tersebut pada awalnya dikembangkan untuk membina industri kecil dengan lebih baik, dari segi biaya ataupun ketepatgunaannya.
Pada pertengahan 1990-an, sejumlah departemen juga mengembangkan konsep pengembangan industri berbasis klaster. Bahkan, ada departemen yang telah menerbitkan inventarisasi jumlah kluster potensial, yaitu kluster yang memiliki potensi bertumbuh tinggi.
Memang harus diakui, sebagian besar embrio kluster di Indonesia sulit berkembang karena berbagai sebab, seperti beratnya kendala bahan baku dan banyaknya beredar produk pengganti (substitute) dengan kinerja produk lebih baik. Munculnya berbagai konsep tersebut menunjukkan adanya kesadaran para pengambil kebijakan (policy makers) bahwa konsentrasi industri secara spasial dan sektoral sesungguhnya memberi harapan peningkatan daya saing industri kecil.
Sayang, pelaksanaan dari konsep-konsep pengembangan tersebut dinilai kurang berhasil. Ini kembali membuktikan bahwa kelemahan utama kita terletak pada pelaksanaan (eksekusi) program. Saya mencatat tiga kesamaan dari berbagai kluster di China yang saya kunjungi. Pertama, kluster-kluster tersebut didukung ketersediaan infrastruktur yang memadai. Infrastruktur yang baik membuat akses ke dan dari kluster sangat terbuka, dan tercipta efisiensi operasional yang tinggi.
Kedua, peran sejumlah perusahaan kunci (hub companies) untuk membuka pasar baru sangat menonjol. Perusahaan-perusahaan ini biasanya sangat inovatif dalam mencipta desain baru yang diminati pasar. Mereka sangat rajin berpromosi untuk memperkuat merek dan citra, juga memiliki jaringan kerja sama kuat dengan berbagai lembaga penunjangnya.
Ketiga, dukungan sumber daya manusia dan modal sosial yang kuat. Meski tidak memiliki data terperinci untuk perbandingan, saya memperoleh kesan kuat terhadap etos kerja dan produktivitas pekerja yang tinggi. Sumber daya manusia yang terampil dan modal sosial kuat ini memungkinkan terjadinya dua kondisi bersamaan, yaitu semangat bersaing dan bekerja sama yang tinggi.
Tiga tahun lalu, Japan External Trade Organization (JETRO) bekerjasama dengan Institute of Developing Economies (IDE) menerbitkan buku Industrial Clusters in Asia (2005). Saya kecewa karena buku tersebut tidak memuat contoh kluster yang dinilai berhasil di Indonesia. Yang ada hanya contoh kluster industri di Tianjin (China), Bangalore (India), dan sejumlah klusterdi Malaysia dan Vietnam.
Apakah pengembangan kluster di Indonesia dianggap gagal atau hanya karena penelitian JETRO tidak mencakup Indonesia? Tidak jelas. Padahal, kita memiliki sejumlah kluster industri berdaya saing tinggi, seperti kluster kelapa sawit, rumput laut, teh, dan furnitur. Jepara dulu dikenal sebagai salah satu kluster furnitur kelas dunia dan dalam banyak studi disejajarkan dengan keberhasilan kluster peralatan kedokteran di Sialkot (Pakistan) atau kluster alas kaki di Agra (India).
Bagaimana nasib-nasib kluster yang ada saat ini? Apakah kluster atau yang embrionya kita sebut sentra industri sedang mengalami tekanan serius? Hermine Weijland, seorang ahli ekonomi negara berkembang dari Vrije Universiteit Amsterdam (VUA), pernah mempertanyakan apakah sentra industri yang merupakan refleksi industrialisasi di pedesaan, merupakan kantong-kantong pertumbuhan atau sebaliknya sebagai kantong-kantong kemiskinan (pockets of poverty)? Saat-saat seperti sekarang, ketika penciptaan kesempatan kerja begitu mendesak dan tekanan urbanisasi semakin kencang, revitalisasi pertanian seyogianya disertai dengan upaya revitalisasi industri.
Berbagai kendala pengembangan industri pada kluster berprospek cerah harus segera ditangani dan dilakukan upaya pembenahan yang serius. Bila tidak ada upaya serius, kita hanya menunggu semakin panjangnya daftar kluster industri yang masuk fase sekarat. Mati segan, hidup pun enggan. (*) Hendrawan Supratikno
Tidak ada komentar:
Posting Komentar