Minggu, Mei 04, 2008

Follow The Money vs Follow The Suspect

SEBAGAIMANA tindak pidana korupsi, dalam penyelidikan dan penyidikan financial crime (tindak pidana yang dilakukan dengan tujuan mencari uang atau kekayaan) kita mengenal pendekatan follow the money dan follow the suspect. Pendekatan follow the money sudah lama dipakai di Amerika Serikat dan dikenal juga dengan pendekatan antipencucian uang. Pendekatan antipencucian uang ini diperkenalkan secara formal oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa pada 1988 dalam Konvensi Wina, Convention Against Illicit Traffic in Narcotics and Psychotropic Substance. Di Indonesia, pendekatan follow the money diatur dalam Undang-Undang (UU) No 15/2002 sebagaimana telah diubah dengan UU No 25/2003 yang biasa disebut UU TPPU.
Walaupun UU ini sudah berusia enam tahun, tetapi masih banyak penegak hukum yang enggan menerapkan pendekatan follow the money. Tulisan ini membahas beberapa permasalahan. Apa itu pendekatan follow the money, apa pula pendekatan konvensional follow the suspect? Mengapa penegak hukum belum banyak menggunakannya dan bagaimana prospek pendekatan follow the money dalam pemberantasan tindak pidana? Kita mulai dengan pendekatan follow the money.
Dalam setiap tindak pidana, setidaknya ada tiga komponen, yaitu pelaku, tindak pidana yang dilakukan, dan hasil tindak pidana. Hasil tindak pidana dapat berupa uang atau harta kekayaan lain. Pendekatan follow the money mendahulukan mencari uang atau harta kekayaan hasil tindak pidana dibandingkan dengan mencari pelaku kejahatan. Setelah hasil diperoleh, kemudian dicarilah pelakunya dan tindak pidana yang dilakukan. Dalam mencari hasil tindak pidana, dipergunakan pendekatan analisis keuangan (financial analysis).
Di sini dipergunakan ilmu akuntansi dan ilmu lain yang terkait. Ilmu akuntansi yang dipakai adalah akuntansi forensik (forensic accounting). Financial analysis berusaha melihat transaksi dan keadaan keuangan pelaku untuk menjawab beberapa pertanyaan pokok: Apa transaksi yang dilakukan dan apa voucher atau warkat transaksi yang digunakan? Siapa yang melakukan transaksi? Atas nama siapa transaksi dilakukan? Mengapa transaksi dilakukan? Di mana dan kapan transaksi dilakukan? Bagaimana terjadinya transaksi? Dalam melacak terjadinya transaksi, pelacakan dapat dilakukan ke belakang untuk mengetahui sumber dana.
Demikian juga pelacakan ke depan untuk mengetahui siapa lawan transaksi, yang menerima atau menikmati hasil transaksi tersebut. Pelacakan dapat dilakukan semaksimal mungkin, sesuai kebutuhan untuk mencari adanya indikasi tindak pidana yang dilakukan seseorang. Hasil financial analysis ini dapat memberikan petunjuk atau indikasi mengenai dugaan adanya suatu tindak pidana telah dilakukan seseorang.
Financial analysis belum dapat memastikan terjadinya tindak pidana dan tidak memberikan alat bukti terjadinya tindak pidana tersebut. Kedua hal terakhir ini merupakan tugas penyidik yang menerima hasil financial analysis tersebut dari Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK). Untuk melihat keunggulan pendekatan follow the money, penulis menggunakan contoh tindak pidana pembalakan liar (illegal logging) yang sulit diberantas karena melibatkan oknum pejabat dan cukong penyandang dana.
Dari ratusan kasus pembalakan liar yang sudah diajukan di pengadilan, kebanyakan yang dihukum adalah pelaku lapangan seperti penebang kayu, sopir, nakhoda, anak buah kapal, dan satuan pengamanan. Oknum pejabat dan cukong yang mendalangi pembalakan liar hampir tidak ada yang terjerat. Hal ini terjadi karena hanya menggunakan pendekatan follow the suspect, tidak didukung pendekatan folow the money. Pendekatan follow the suspect tidak akan pernah menemukan para oknum pejabat dan cukong berkeliaran di lapangan/hutan.
Dengan pendekatan tambahan follow the money, akan dapat terungkap oknum pejabat yang menerima hasil pembalakan liar dengan melihat keadaan keuangan dan transaksi keuangannya. Dengan pendekatan ini, dapat diungkap juga cukong yang mendalangi pembalakan liar. Ada beberapa keunggulan pendekatan follow the money. Pertama, jangkauannya lebih jauh sehingga dirasakan lebih adil seperti terlihat pada kasus pembalakan liar.
Kedua, pendekatan ini prioritas mengejar hasil kejahatan, bukan pelaku kejahatan, sehingga dapat dilakukan dengan "diam-diam", lebih mudah, dan risiko lebih kecil karena tidak berhadapan langsung dengan pelaku yang kerap memiliki potensi melakukan perlawanan. Ketiga, pendekatan ini mengejar hasil kejahatan yang nantinya dibawa ke depan proses hukum dan disita untuk negara karena pelaku tidak berhak menikmati harta yang diperoleh dengan cara tidak sah.
Dengan disitanya hasil tindak pidana ini, motivasi orang untuk melakukan tindak pidana untuk mencari harta menjadi berkurang atau hilang. Keempat, harta atau uang merupakan tulang punggung organisasi kejahatan. Mengejar dan menyita harta kekayaan hasil kejahatan akan memperlemah mereka sehingga tidak membahayakan kepentingan umum. Kelima, terdapat pengecualian ketentuan rahasia bank atau rahasia lainnya sejak pelaporan transaksi oleh penyedia jasa keuangan sampai pemeriksaan selanjutnya oleh penegak hukum.
UU TPPU yang memakai pendekatan follow the money mengkriminalisasi pencucian uang, yaitu perbuatan menyembunyikan dan menyamarkan harta kekayaan hasil tindak pidana, sehingga seolah-olah tampak sebagai kekayaan yang sah. Ada beberapa sebab lemahnya pendekatan follow the money dalam memberantas tindak pidana. Pertama, belum ada persepsi yang sama di antara para penegak hukum, misalnya antara kepolisian sebagai penyidik,kejaksaan sebagai penuntut umum dan hakim yang mengadili.
Kedua, penyidik tindak pidana pencucian uang hanyalah kepolisian, yang sampai sekarang masih memiliki keterbatasan sumber daya manusia dan keahlian melakukan financial investigation. Ketiga, penuntut umum (jaksa), walaupun sudah ada pedoman penuntutan perkara dengan menggunakan dakwaan pencucian uang dan pidana asal (kumulatif), masih ada keengganan menerapkannya. Kejaksaan lebih senang menggunakan dakwaan secara alternatif atau berlapis dengan dakwaan pertama "tindak pidana korupsi" dan dakwaan kedua "pencucian uang".
Hal ini dirasakan kurang tepat karena kedua tindak pidana itu sangat berbeda dan diatur pada UU berbeda. Memang UU Tindak Pidana Korupsi ada beberapa kelebihan, antara lain hukumannya lebih berat dibandingkan UU TPPU dan adanya uang pengganti yang bisa dikenakan kepada terhukum. Ada sementara orang menduga, keengganan jaksa juga disebabkan sikap "kurang senang" mereka karena tidak dapat menyidik kasus TPPU seperti halnya pada kasus tindak pidana korupsi.
Cara efektif dalam memberantas tindak pidana adalah kerja sama yang efektif antara para penegak hukum yang selama ini terkesan agak terpisah-pisah. Untuk itu, diperlukan persamaan persepsi dan kerja sama dalam menggunakan pendekatan baru follow the money sebagai pelengkap pendekatan konvensional follow the suspect. Diperlukan adanya pelatihan bersama di antara para penegak hukum sehingga melahirkan persepsi yang sama.
Untuk dapat bekerja sama, sudah tentu diperlukan sikap saling percaya, singkirkan egoisme kelembagaan dan adanya komunikasi yang intensif. Sedapat mungkin diupayakan adanya komunikasi antara para penegak hukum sejak mulai penyidikan. Dengan begitu, kalau ada perbedaan segera dapat diatasi. Untuk dapat melakukan pendekatan follow the money dengan melakukan financial investigation, selain diperlukan pendidikan khusus, juga dapat meminta bantuan dari akuntan publik atau akuntan dari Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP).
Akhirnya harus disadari bahwa pendekatan follow the money dan follow the suspect tidak dapat berjalan sendiri-sendiri. Untuk memperoleh hasil yang maksimal dalam penegakan hukum- yaitu memberi efek jera kepada pelaku, memberikan deterrent effect bagi publik dan merampas hasil tindak pidana untuk negara-diperlukan kerja sama para penegak hukum untuk mengombinasikan kedua pendekatan tersebut. (*) Yunus Husein

Tidak ada komentar: