Kamis, Januari 31, 2008

Tragisnya Sebuah Endemik Ekonomi

by.noenx's
JARUM jam yang terdiri dari dua lentingan, panjang masih menunjukkan angka 9 dan lentingan pendeknya masih berada di angka 6. Suasana padi pun tampak cerah dan gumilar dengan semburat merah yang berubah pelan memanas dari sang mentari. Hari itu, Rabu 30 Januari 2008 (dibuat lengkap karena suatu saat pasti ada sebuah memoar dengan tulisan ini), puluhan sms dan telpon silih berganti masuk.
Membuat si empunya handphone sebenarnya berinisiatif untuk segera menonaktifkan ponselnya. Paling tidak hingar bingar bunyi yang diletupkan dari ponsel bisa tereduksi dengan sempurna. Namun hal itu urung dibuatnya, karena pokok bahasan orang-orang yang menelponnya tidak sekedar ingin menyapa bagaimana kabar dan tetek bengek basa basi khas orang timur. Lebih dari itu, sebuah anomali ironi bakal menghempas dan menghampiri tanah yang kini dipijaknya.
Sebuah ironi yang bisa jadi bakal membumihanguskan asa yang telanjur mengembang dalam kurun waktu dua tahun terakhir. Sebuah bara yang membuat semangatnya dan juga teman-temannya bersikeras menghunus optimisme yang tetap saja terselubung pesimisme. Namun itu dulu, semangat yang membara telah dimiliki. Saat itu begitu euforia penandatanganan 26 Juni 2006 terlaksana di sebuah resort mewah, yang harus disulap menjadi “istana” dengan berlapis paspampres, langsung saja bagaikan gunung meletus ekspektasi itu begitu saja muncul. Waktu itu, jelas terekam di semua otak manusia yang hadir betapa janji-janji muluk kalangan pemerintah menjadi angin surga yang sangat menggairahkan, lebih merangsang daripada seonggok amoy-amoy yang berkeliaran di sekitar kawasan niaga Nagoya.
Tak heran jika satu per satu, semua orang bergerak untuk menyambut sebuah memoribilia yang sebenarnya sudah pahit pernah menimpa. Namun berkat dukungan lobi dan kalimat “kali ini adik sesaudara bersiap membantu sepenuh hati demi kemajuan bersama”, luluh juga dan hilang tak membekas aurora kegagalan seperti tahun 2004 silam.
Perlahan namun pasti waktu terus berjalan. Namun sayang, hanya waktu saja yang berjalan cepat. Selebihnya, nuansa pergerakan “indeks akumulatif” yang tinggi, bisa jadi langsung terjun bebas menjadi tak berharga sama sekali.
Bayangkan saja, dalam hitung-hitungan akal manusia dan logika, penyiapan sebuah rencana besar yang digadang-gadang menjadi barometer ekonomi di regional, bukan lagi nasional, harus terbengkelai dengan ketidakpastian.
Entah siapa dan langkah mana yang salah atau “fool”, tapi menyirat dari sebuah ungkapan, bisa jadi kini si keledai tersandung dan terjatuh di lubang yang sama. Sebuah ironi yang sangat mengharukan tentuunya, karena si isi keledai ini melibatkan banyak orang dan manusia yang kelasnya sudah di atas, tidak hanya sarjana strata 1 semata, namun lebih dari itu level doktoral bahkan profesor pun berada di dalamnya. Bahkan saking seriusnya proyek ini, pengambil keputusan setingkat Presiden dan Wapres pun harus turun tangan. Namun apa hasilnya?
Ternyata nyaris tidak saja membekaskan luka kembali, tapi sikap apatis sepertinya menyerubungi setiap langkah pengusaha yang ada di kawasan Batam, Bintan dan Karimun (BBK).
Yup, produk yang diharapkan berupa implikasi nyata di lapangan mengenai kawasna perdagangan bebas dan pelabuhan bebas BBk seolah hanya menjadi bayangan semu dan asap rokok yang mudah tersebar dan terbang bersama angin kosong. Bukannya mampu menyehatkan iklim investasi dan perekonomian tapi sebaliknya, angin itu justru menyebabkan sebuah penyakit masuk angin yang entah kapan bakal kembali lagi menjadi sebuah asa syurga.

Tidak ada komentar: