SORE kemarin (Anda pasti sudah menduga kapannya dong), baru saja merasakan nikmatnya duduk bersandar di kursi kantor. Hirupan angin sepoi dari mesin pendingin udara yang tepat berada di samping atas kepala langsung menerpa kesejukan, mengirimkan ketenangan untuk sejenak rehat sebelum mulai berdansa dengan “jeruji” keyboard yang semakin lama kok ya semakin lusuh. Udara Jakarta yang panas menyengat seolah tak lagi terasa, yang ada hanyalah pengeringan keringat, alias kristalisasi butiran air dari dalam tubuh, mengambil apa yang diungkapkan bintan lawak nasional Tukul.
Namun sayang, kenikmatan itu langsung mendadak buyar. Deringan sms yang “melafalkan: lagu Pandangan Pertama-nya Slank feat Nirina Zubir, langsung menyentakkan lamunan. Refleks, jari langsung seketika memungut ponsel yang sudah dua tahun ini selalu menyertai. Meskipun dibilang jadul, namun ponsel ini memiliki memori indah yang tak pernah terlupakan tentunya.
Kembali ke masalah sms, langsung saja kubuka. Hebatnya, tidak hanya satu kali saja si pengirim ‘meniupkan’ ketikan hurufnya ke ponsel. Nyaris lima kali kiriman berhasil masuk. Kok nyaris?karena dalam kiriman yang kelima, kalimat yang diterima kurang lengkap dan sepertinya si pengirim kehabisan baterai ponselnya sehingga tak bisa lagi secara lengkap mengirimkan apa yang menjadi tujuannya.
Namun itu bukan menjadi perkara. Pasalnya, di setiap tabiat orang saat mengirim sms, hal pertama yang dikirim sebagian besar bergenre lebih penting. Kategori ini berlaku dimanapun saja, tidak peduli itu orang tua, muda, anak-anak bahkan sampai artis dan pejabat sekalipun.
Tanpa menggubris tabiat itu, baru berada di kalimat pertama langsung terlihat jelas arah perhatian si pengirim, yang ternyata teman lama di sebuah lembaga ekonomi dan investasi Singapura.
Inti dari paket mengejutkan itu adalah memberikan sinyalemen positif bagi perkembangan investasi dan perekonomian di Indonesia, khususnya segitiga Batam, Bintan dan Karimun (BBK). Bahkan si empunya pengirim menjanjikan dan berkomitmen untuk terus mendukung segala macam tindakan yang perlu dilakukan guna mempercepat kelajuan dan keterlajuan kawasan tersebut menjadi sebuah high rea economic area tak Cuma sekedar sebuah impian belaka.
Selepas membaca kalimat terakhir dari untaian itu, lalu pertanyaan yang timbul kenapa kok bisa kayak gitu ya?tanpa tersadar jawaban itu langsung terbuka. Keseriusan campur ketegangan pun seolah memang sengaja disimpan oleh si pengirim. Tanpa dinyana, ia pun menjelaskan jika apa yang diungkapkannya tersebut menjadi sebuah impian yang ingin secepatnya terealisair dengan baik dan level tertinggi.
Barulah tersadarkan apa yang dimaksudkannya. Tanpa lebih banyak lagi membaca ada apa dengan sms selanjutnya, pikiran logis pun langsung berada di angan-angan. Mencoba terus berpikir sebuah titik awal guna menemukan apa yang tersirat, langsung termaktub sebuah langkah yang selama ini diambil kalangan birokrat di level pemerintah pusat. Meskipun daerah tetap mengambil peranan penting, namun tetap saja sistem pemerintahan Indonesia masih menganut azas nuwun sewu yang tiada habisnya. Tak heran jika kendali di era otonomi masih terkekang di level pemerintah pusat. Sangat aneh tentunya di tengah kampanye keterbukaan justru kebijakan di sektor investasi dan perekonomian malah masih ditentukan pemerintah pusat yang notabene saat ini malah berada di jurang terdalam perlambatan pertumbuhan daerah.
Bagi BBK, status kawasan perdagangan bebas dan pelabuhan bebas sebenarnya sudah bukan barang baru dan asing lagi bagi pelaku usaha dan masyarakat di sana. Namun, ini adalah euforia baru yang membuat pada awalnya, semua pihak berseru senang, bersuka cita tanpa melihat terlebih dulu persiapan dan koridor apa yang akan diperbuat pemerintah.
Satu tahun berlalu, dua tahun mendekati. Saat ini justru sesak dada lah yang tengah dirasakan semua masyarakat dan khususnya para pelaku usaha di Batam. Mereka nyaris tidak percaya jika pemerintah “tega” mengelabui niatan mereka. Bahkan konon biaya miliaran rupiah telah digelontorkan untuk semakin mempercepat realisasi nyata terbentuknya FTZ BBK. Namun apa lacur, atau malah pelacur, justru seolah kebijakan tersebu terus dihambar realisasinya. Ini tentu membuat semua kalangan merasa tertohok dua kali.
Tak heran jika sikap apatis kini mulai menggerogoti kalangan pengusaha di BBK. Mereka kini seolah tak peduli, ono gak ono yo terserah, gak pateken juga, mengambil kiasan dari bahasa jawa yang berarti ada tidak ada FTZ BBK mereka bakal tidak terpengaruh dan tetap bakal berkonsentrasi pada bidang bisnis mereka.
Di lain sisi, Singapura yang notabene adalah negara yang seharusnya tidak peduli pun tidak apa-apa, malah sangat getol. Terlepas dari adanya kepentingan ekonomi di balik itu semua, namun sangat aneh melihat sepak terjang kalangan birokrat Indonesia. Mereka seolah tidak peduli dengan nasib sesuatu yang digantung-gantung. Bahkan tetangga justru lebih peduli dan malah mempercepat apa yang mennjadi kewajiban mereka. Contoh nyata adalah, dari 13 tugas yang harus diselesaikan Singapura, nyaris semuanya sudah selesai dan menunggu sinkronisasi implementatif dari pihak Indonesia.
Apa lacur lagi, ternyata begitu sulit bagi Indonesia untuk menyelesaikan itu semua. Bayangan kekuasaan dan tarik ulur kepentingan sangat jelas beada di arah sana. Kedekatan dengan pemilu 2009 nanti menjadi satu faktor pengait yang tidak bisa terelakkan lagi. Herannya, pemerintah Indonesia justru tidak malu dengan kelakuan bak anak kecil berebut kembang gula. Sungguh naif dan sangat memalukan, hanya mengurus BBK saja tidak bisa, bagaimana nanti jika akan mengurus 10 kawasan lain yang ada di Indonesia?sebuah ironisasi sekuler ekonomi tentunya.
Tarik ulur kepentingan sudah bukan jadi rahasia umum lagi. Dua kubu yang berseteru baik Jusuf Kalla maupun SBY terus bertempur memperebutkan jabatan-jabatan penting yang ada di kawasan BBK tersebut. Sebenarnya arah ke sana sudah mulai membaik. Perseteruan awal; terjadi antara BKPM dengan pihak BPN, namun hal itu sudah terselesaikan dengan niatan progress positif di BBK.
Namun masalah mulai timbul tatkala pembentukan Dewan Kawasan dan Dewan Nasional berbarengan. Pangkal masalah belum selesai, kini pemerintah semakin membuat ruwet masalah dengan tidak adanya perwakilan pengusaha di dua badan tersebut. Jadi entah apa yang akan dilakukan pemerintah nantinya. Yang jelas di saat dukungan negara-negara tetangga sudah demikian memuncak, eh..malah si tuan rumah sendiri yang memperlambat proses itu semua. Jadi memang patut dipertanyakan dimana urat malu pemerintah itu sebenarnya. Kini warga dan para pelaku usaha di kawasan BBK tentu berharap-harap cemas dengan keadaan yang ada, meski sebenarnya mereka juga tidak terlalu memusingkan apa yang akan terjadi. Sebuah asa yang sebenarnya mudah namun dipersulit, itulah Indonesia. (tribunbatam.co.id/nurfahmi)
Namun sayang, kenikmatan itu langsung mendadak buyar. Deringan sms yang “melafalkan: lagu Pandangan Pertama-nya Slank feat Nirina Zubir, langsung menyentakkan lamunan. Refleks, jari langsung seketika memungut ponsel yang sudah dua tahun ini selalu menyertai. Meskipun dibilang jadul, namun ponsel ini memiliki memori indah yang tak pernah terlupakan tentunya.
Kembali ke masalah sms, langsung saja kubuka. Hebatnya, tidak hanya satu kali saja si pengirim ‘meniupkan’ ketikan hurufnya ke ponsel. Nyaris lima kali kiriman berhasil masuk. Kok nyaris?karena dalam kiriman yang kelima, kalimat yang diterima kurang lengkap dan sepertinya si pengirim kehabisan baterai ponselnya sehingga tak bisa lagi secara lengkap mengirimkan apa yang menjadi tujuannya.
Namun itu bukan menjadi perkara. Pasalnya, di setiap tabiat orang saat mengirim sms, hal pertama yang dikirim sebagian besar bergenre lebih penting. Kategori ini berlaku dimanapun saja, tidak peduli itu orang tua, muda, anak-anak bahkan sampai artis dan pejabat sekalipun.
Tanpa menggubris tabiat itu, baru berada di kalimat pertama langsung terlihat jelas arah perhatian si pengirim, yang ternyata teman lama di sebuah lembaga ekonomi dan investasi Singapura.
Inti dari paket mengejutkan itu adalah memberikan sinyalemen positif bagi perkembangan investasi dan perekonomian di Indonesia, khususnya segitiga Batam, Bintan dan Karimun (BBK). Bahkan si empunya pengirim menjanjikan dan berkomitmen untuk terus mendukung segala macam tindakan yang perlu dilakukan guna mempercepat kelajuan dan keterlajuan kawasan tersebut menjadi sebuah high rea economic area tak Cuma sekedar sebuah impian belaka.
Selepas membaca kalimat terakhir dari untaian itu, lalu pertanyaan yang timbul kenapa kok bisa kayak gitu ya?tanpa tersadar jawaban itu langsung terbuka. Keseriusan campur ketegangan pun seolah memang sengaja disimpan oleh si pengirim. Tanpa dinyana, ia pun menjelaskan jika apa yang diungkapkannya tersebut menjadi sebuah impian yang ingin secepatnya terealisair dengan baik dan level tertinggi.
Barulah tersadarkan apa yang dimaksudkannya. Tanpa lebih banyak lagi membaca ada apa dengan sms selanjutnya, pikiran logis pun langsung berada di angan-angan. Mencoba terus berpikir sebuah titik awal guna menemukan apa yang tersirat, langsung termaktub sebuah langkah yang selama ini diambil kalangan birokrat di level pemerintah pusat. Meskipun daerah tetap mengambil peranan penting, namun tetap saja sistem pemerintahan Indonesia masih menganut azas nuwun sewu yang tiada habisnya. Tak heran jika kendali di era otonomi masih terkekang di level pemerintah pusat. Sangat aneh tentunya di tengah kampanye keterbukaan justru kebijakan di sektor investasi dan perekonomian malah masih ditentukan pemerintah pusat yang notabene saat ini malah berada di jurang terdalam perlambatan pertumbuhan daerah.
Bagi BBK, status kawasan perdagangan bebas dan pelabuhan bebas sebenarnya sudah bukan barang baru dan asing lagi bagi pelaku usaha dan masyarakat di sana. Namun, ini adalah euforia baru yang membuat pada awalnya, semua pihak berseru senang, bersuka cita tanpa melihat terlebih dulu persiapan dan koridor apa yang akan diperbuat pemerintah.
Satu tahun berlalu, dua tahun mendekati. Saat ini justru sesak dada lah yang tengah dirasakan semua masyarakat dan khususnya para pelaku usaha di Batam. Mereka nyaris tidak percaya jika pemerintah “tega” mengelabui niatan mereka. Bahkan konon biaya miliaran rupiah telah digelontorkan untuk semakin mempercepat realisasi nyata terbentuknya FTZ BBK. Namun apa lacur, atau malah pelacur, justru seolah kebijakan tersebu terus dihambar realisasinya. Ini tentu membuat semua kalangan merasa tertohok dua kali.
Tak heran jika sikap apatis kini mulai menggerogoti kalangan pengusaha di BBK. Mereka kini seolah tak peduli, ono gak ono yo terserah, gak pateken juga, mengambil kiasan dari bahasa jawa yang berarti ada tidak ada FTZ BBK mereka bakal tidak terpengaruh dan tetap bakal berkonsentrasi pada bidang bisnis mereka.
Di lain sisi, Singapura yang notabene adalah negara yang seharusnya tidak peduli pun tidak apa-apa, malah sangat getol. Terlepas dari adanya kepentingan ekonomi di balik itu semua, namun sangat aneh melihat sepak terjang kalangan birokrat Indonesia. Mereka seolah tidak peduli dengan nasib sesuatu yang digantung-gantung. Bahkan tetangga justru lebih peduli dan malah mempercepat apa yang mennjadi kewajiban mereka. Contoh nyata adalah, dari 13 tugas yang harus diselesaikan Singapura, nyaris semuanya sudah selesai dan menunggu sinkronisasi implementatif dari pihak Indonesia.
Apa lacur lagi, ternyata begitu sulit bagi Indonesia untuk menyelesaikan itu semua. Bayangan kekuasaan dan tarik ulur kepentingan sangat jelas beada di arah sana. Kedekatan dengan pemilu 2009 nanti menjadi satu faktor pengait yang tidak bisa terelakkan lagi. Herannya, pemerintah Indonesia justru tidak malu dengan kelakuan bak anak kecil berebut kembang gula. Sungguh naif dan sangat memalukan, hanya mengurus BBK saja tidak bisa, bagaimana nanti jika akan mengurus 10 kawasan lain yang ada di Indonesia?sebuah ironisasi sekuler ekonomi tentunya.
Tarik ulur kepentingan sudah bukan jadi rahasia umum lagi. Dua kubu yang berseteru baik Jusuf Kalla maupun SBY terus bertempur memperebutkan jabatan-jabatan penting yang ada di kawasan BBK tersebut. Sebenarnya arah ke sana sudah mulai membaik. Perseteruan awal; terjadi antara BKPM dengan pihak BPN, namun hal itu sudah terselesaikan dengan niatan progress positif di BBK.
Namun masalah mulai timbul tatkala pembentukan Dewan Kawasan dan Dewan Nasional berbarengan. Pangkal masalah belum selesai, kini pemerintah semakin membuat ruwet masalah dengan tidak adanya perwakilan pengusaha di dua badan tersebut. Jadi entah apa yang akan dilakukan pemerintah nantinya. Yang jelas di saat dukungan negara-negara tetangga sudah demikian memuncak, eh..malah si tuan rumah sendiri yang memperlambat proses itu semua. Jadi memang patut dipertanyakan dimana urat malu pemerintah itu sebenarnya. Kini warga dan para pelaku usaha di kawasan BBK tentu berharap-harap cemas dengan keadaan yang ada, meski sebenarnya mereka juga tidak terlalu memusingkan apa yang akan terjadi. Sebuah asa yang sebenarnya mudah namun dipersulit, itulah Indonesia. (tribunbatam.co.id/nurfahmi)