Minggu, Mei 04, 2008

Kebangsaan dan Kemiskinan

Ketika ditanya apakah permasalahan bangsa pada saat ini yang paling mendera. Sertamerta orang akan menjawab,''Kemiskinan." Sesudahnya kemudian berbicara problematika perikehidupan yang lain. Sebenarnya, kemiskinan dihadapi penduduk semua negara di dunia dengan intensitas berbeda-beda. Ekonom sering menyebut bahwa economic growth is necessary but not sufficient.
Ternyata pertumbuhan tidak serta-merta mampu menurunkan jumlah penduduk miskin apabila tidak diikuti perbaikan kapabilitas sumber daya manusia. Akumulasi dana masyarakat yang besar tidak berkontribusi nyata bagi penanggulangan kemiskinan jika tidak didistribusikan ke sektor riil, khususnya mendukung usaha gurem dan mikro, yang orang sering menyebutnya dengan ekonomi rakyat.
Kondisi kesenjangan di antara sumber daya dan kebutuhan masyarakat yang melahirkan kemiskinan merupakan fenomena market failure yang memerlukan campur tangan pemerintah. Upaya penanggulangan kemiskinan merupakan bagian dari tugas administrasi pemerintahan, pelaksanaan pembangunan, dan pelayanan publik.
Segenap potensi perlu digerakkan agar tercipta sinergi dalam pengentasan kemiskinan, baik di tingkat pusat maupun daerah. Meski memiliki sumber daya yang melimpah, namun human development index (HDI) Indonesia yang menempati urutan 108 (medium human development) dari 177 negara, jauh di bawah negara-negara lain yang memiliki sumber daya lebih rendah.

Kondisi Kemiskinan
Kondisi kesejahteraan penduduk miskin sangat rentan terhadap gejolak dan perubahan sosial, ekonomi, dan politik. Ketidakberdayaan penduduk miskin kerap diperburuk dengan intervensi yang tidak tepat sasaran, misalnya dalam bentuk subsidi dan eksploitasi sumber daya alam (SDA) secara berlebihan.
Jumlah penduduk miskin sejak 1970-an menurun hingga pertengahan 1990-an, kemudian meningkat akibat krisis multidimensi hingga akhir 1990-an dan kembali menurun hingga 2005. Pada tahun 2006 terjadi peningkatan jumlah penduduk miskin akibat kejadian bencana alam, meskipun kembali menurun pada 2007 menjadi 37,2 juta orang (BPS). Jumlah rumah tangga miskin pada 2006 sebanyak 19,3 juta kepala keluarga (Pusdatin Depsos).
Persentase penduduk miskin terbesar terdapat di Papua, Irian Jaya Barat, Maluku, Nusa Tenggara Timur, dan Gorontalo; sedangkan jumlah terbanyak terdapat di Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Jawa Barat. Garis Kemiskinan pada 2006 adalah pendapatan Rp158.051 per kapita per bulan yang merupakan rata-rata perkotaan Rp179.144 per kapita per bulan dan perdesaan Rp135.896 per kapita per bulan.
Mayoritas penduduk Indonesia berada dekat dengan garis kemiskinan, sehingga rentan jatuh miskin apabila terjadi peningkatan inflasi atau gejolak sosial dan ekonomi. Tahun 2006, sekitar 80% kepala rumah tangga miskin berpendidikan SD atau tidak tamat SD dan 9,8% kepala rumah tangga miskin tidak bekerja.
Pada 2004, Indonesia menempati urutan ke-41 dari 177 negara dalam hal HPI dengan nilai 18,5% (UNDP). Pada periode 1990-2004, persentase penduduk miskin di bawah garis kemiskinan USD1 per hari adalah 7,5% dan di bawah USD2 per hari sebanyak 52,4% dari total penduduk Indonesia.

Upaya Penanggulangan Kemiskinan
Keterbatasan sumber daya menyebabkan pemerintah tidak dapat menangani semua aspek penanggulangan kemiskinan melalui kebijakan publik sehingga membutuhkan kontribusi komponen masyarakat. Berbagai upaya telah ditempuh dalam mengentaskan kemiskinan melalui pendekatan sektoral maupun regional yang menghabiskan anggaran cukup besar.
Tren belanja pemerintah pusat maupun daerah yang meningkat pesat tidak diikuti perbaikan indikator pembangunan secara memadai. Penelitian Akyuwen (2008) menyebut bahwa dalam 23 tahun (1985-2007) belanja pemerintah pusat meningkat rata- rata 101,9% per tahun, sedangkan belanja pemerintah daerah meningkat rata-rata 216,5% per tahun.
Anggaran penanggulangan kemiskinan meningkat dari Rp18 triliun pada 2004 menjadi Rp81 triliun pada 2008, atau meningkat rata-rata 70% per tahun. Peningkatan anggaran tidak sejalan dengan pengurangan jumlah penduduk miskin, sehingga terdapat indikasi belanja pemerintah untuk mengurangi kemiskinan kurang efektif.
Presiden telah meluncurkan Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) untuk menciptakan sinergi pemanfaatan sumber daya pembangunan untuk penanggulangan kemiskinan melalui pemberdayaan masyarakat dengan mengharmonisasi sekitar 53 program yang disertai dengan pendampingan dan penyediaan dana stimulan.
Apa yang disebut ekonomi rakyat merupakan sasaran utama pemberdayaan,agar pelakunya dapat bekerja, mendapatkan keuntungan, kemudian menabung untuk hari depan. Kerja, untung, dan tabung.

Wawasan Kebangsaan
Beberapa hari lagi kita akan memperingati 100 tahun kebangkitan nasional, adalah relevan bila kita pertanyakan, "Sudahkah kita bangkit dari keterpurukan di lembah kemiskinan ini?" Satu hal yang inheren dalam upaya penanggulangan kemiskinan adalah spirit untuk maju.
Mereka yang dapat memecahkan masalah kemiskinan adalah diri si miskin itu sendiri sehingga pendekatan kita selain secara intelektual, yaitu intervensi ekonomi, kita juga bicara secara spiritual dan emosional. Dalam kedua hal tersebut, paradigma yang ditawarkan adalah wawasan kebangsaan.
Wawasan kebangsaan sangat diperlukan oleh suatu bangsa dari suatu negara yang memiliki kemerdekaan dan kedaulatan seperti negara Indonesia. Wawasan Kebangsaan sebagai spirit akan mengupayakan diri rakyat Indonesia untuk duduk sejajar dengan bangsa lain.
Dalam kerangka memanfaatkan semua peluang internasional bagi kemajuan bangsa. Memberikan semangat wawasan kebangsaan kepada pelaku ekonomi rakyat berarti memberikan kesadaran bahwa kita harus bersama untuk maju. Pelatihan bersemangat kebangsaan pada awalnya layak untuk diberikan kepada aparat pemerintah, para pendamping program penanggulangan kemiskinan, manajer sosial kecamatan, hingga dunia usaha.
Wawasan kebangsaan akan menyadarkan warga negara terhadap pentingnya arti kehidupan bersama atas dasar persamaan hak dan kewajiban di hadapan hukum serta sebagai pembentukan tata pandang yang sehat dan wajar mengenai masa depan bangsa. Pada saat saya bergabung dalam kepanitiaan untuk pelatihan emotional spiritual quotient pada 13-15 Maret 2008 di Gedung PLN, Jakarta, semangat mencapai Indonesia Emas tersebut begitu menggelora.
Hadir pada saat itu Menteri Negara Pemuda dan Olahraga Adhyaksa Dault, mantan Menteri Kehakiman Utoyo Usman, dan beberapa tokoh nasional lain. Kami merasakan kerinduan akan panduan berbangsa dan bernegara setelah ''dihentikannya" P4 atau Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila. Banyak forum lain dan tokoh juga menegaskan bahwa kembali ke Pancasila merupakan kunci kebangkitan bangsa.
Menurut Menteri Adhyaksa, bangsa Indonesia kini mulai kehilangan hikmah dan kebijaksanaan. Sedangkan Pak Utoyo menyatakan bahwa kita perlu alternatif program atau pelatihan dalam memandu warga negara agar mencintai bangsa dan berperikehidupan yang santun dengan sesama- dalam kerangka NKRI. Akhirnya,wawasan kebangsaan merupakan pikiran-pikiran yang bersifat nasional dengan tujuan agar bangsa memiliki cita-cita kehidupan dan tujuan bernegara yang jelas di era global.
Perjuangan mengurangi kemiskinan tak akan kunjung membuahkan hasil bila dilaksanakan secara parsial, bahkan individual. Semangat ke-aku-an, atau ke-kami-an,yang mengutamakan daerah demi daerah, suku demi suku tanpa tekad bersatu sebagai satu bangsa yang secara berbareng bergerak, akan tetap kalah dengan laju kemiskinan itu sendiri.Menjadi Indonesia yang bangkit atau Indonesia Emas yang dapat mengoptimalkan upaya pencapaian kesejahteraan rakyat, merupakan agenda utama wawasan kebangsaan. (*) Prof Gunawan Sumodiningrat

Badai Minyak Dunia

Saat ini badai minyak tengah melanda dunia. Badai yang berawal dari krisis harga minyak global menjelma menjadi krisis ekonomi global. Mengapa terjadi, bagaimana dampaknya, dan apa yang harus dilakukan? Kenaikan harga minyak dunia dipicu oleh persoalan struktural. Peningkatan permintaan tidak diimbangi peningkatan kemampuan pasok. Permintaan dunia dari tahun ke tahun meningkat rata-rata 1,5% atau sekitar 85 juta barel per hari.
Pada 2008, permintaan meningkat 2% sehingga menjadi sekitar 87,7 juta barel per hari. Saat ini, China dan India menjadi motor pertumbuhan ekonomi dunia. Dalam 10 tahun terakhir, konsumsi China tumbuh rata-rata 6,5% per tahun dan India rata-rata 5%. Impor China meningkat hampir 2 kali lipat dari sekitar 4 juta barel per hari pada 2002 menjadi sekitar 7,5 juta barel per hari pada 2007.
Dewasa ini, kemampuan pasok minyak dunia kian dihadapkan pada berbagai persoalan dan ketidakpastian. Menipisnya cadangan minyak bumi, tingginya risiko ketidakberhasilan eksplorasi ladang minyak baru,dan ketidakmenentuan situasi politik di Timur Tengah yang kerap terjadi konflik menimbulkan kerentanan dalam jumlah pasokan.
Organisasi negara-negara pengekspor minyak (OPEC) saat ini memproduksi minyak 31,2 juta barel per hari atau sekitar 36% dari total produksi minyak dunia. Meski sudah terjadi peningkatan,namun peningkatan lebih disebabkan oleh menurunnya stok dari negara-negara OPEC, bukan karena peningkatan produksi dari sumur sumur minyak yang ada. Hanya Irak, Angola, dan Arab Saudi yang mampu meningkatkan sedikit produksi.
Untuk negara-negara pemasok minyak non-OPEC, pelambatan peningkatan produksi juga terjadi, terutama dari negaranegara Organization for Economic Co-operation and Development (OECD). Pada 2008, diperkirakan produksi negaranegara tersebut menurun dari sebesar rata-rata 19,83 juta barel per hari pada 2007 menjadi 19,51 juta barel pada 2008.

Dampak Ekonomi
Signifikansi sinyal turbulensi ekonomi global semakin kuat seiring makin kencangnya badai minyak dunia. Harga minyak merangkak naik hingga USD118 per barel. Sejauh ini, pemerintah belum berniat menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM). Penghematan pengeluaran anggaran serta penghematan penggunaan BBM dan listrik masih menjadi senjata pamungkas.
Meski demikian, terus melonjaknya harga minyak dunia pada saatnya akan mendesak pemerintah sehingga sulit mengelak dari opsi menaikkan harga BBM.Tingginya harga minyak akan mengerek tingkat inflasi ke atas. Pada gilirannya, inflasi akan menggerus pendapatan rumah tangga dan profit margin dunia usaha.
Dari sisi fiskal, kenaikan harga minyak di atas asumsi USD95 per barel pada saat bersamaan akan meningkatkan pendapatan maupun belanja negara. Pada sisi pendapatan, kenaikan ini akan meningkatkan pendapatan production sharing minyak, pendapatan nasional bukan pajak (PNBP), gas, serta pendapatan pajak penghasilan (PPh) minyak dan gas bumi (migas).
Dari sisi belanja, peningkatan harga minyak akan meningkatkan belanja subsidi BBM dan dana bagi hasil ke pemerintah daerah (pemda). Bagi industri nasional, kenaikan harga minyak dunia dipastikan akan memukul langsung. Biaya produksi perusahaan yang bergerak di sektor industri otomatis meningkat.
Pada gilirannya ini akan meningkatkan biaya komponen lain. Ringkasnya, pengikutsertaan kenaikan biaya ikutan mengakibatkan dampak yang lebih besar pada tingkat harga dan output industri nasional. Bila benar terjadi, ini akan mempercepat proses deindustrialisasi. Kenaikan harga minyak juga berdampak pada tergerusnya pendapatan riil rumah tangga.
Dampak ini belum terlalu dirasakan mengingat masih adanya subsidi BBM dan adanya lag antara kenaikan ongkos produksi dengan harga di tingkat eceran. Namun, seiring merangkaknya harga ke depan, hal ini akan sepenuhnya dirasakan oleh rumah tangga Indonesia. Akibat lonjakan harga di tingkat industri dan rumah tangga, suku bunga akan tertekan ke atas.
Hal ini akan mengakibatkan pelambatan pertumbuhan kredit, tertekannya tingkat investasi dan melonjaknya non-performing loan (NPL) perbankan. Peningkatan bunga juga semakin mengikis pendapatan riil rumah tangga akibat besarnya biaya bunga kredit. Beban fiskal pemerintah pun akan meningkat akibat membengkaknya biaya cicilan utang.

Langkah Penting
Untuk mengatasinya, pemerintah perlumembuka ruang fiskal. Langkah terpenting adalah pemberian ruang bagi penyesuaian dunia usaha dan sektor industri. Untuk itu, pemerintah perlu memperkuat kelembagaan pasar dan memberantas kekakuan-kekakuan yang ada pada pasar. Reformasi ketenagakerjaan juga perlu dilakukan. Kekakuan penyesuaian ongkos produksi mengakibatkan tertekannya output, tingginya ongkos produksi, dan meningkatnya harga.
Ketenagakerjaan merupakan salah satu sumber kekakuan akibat penetapan tingkat upah minimum yang birokratis, berbelit-belit, dan kerap bercampur aduk dengan pertimbangan politik. Tingkat upah sering tidak merefleksikan produktivitas dan kebutuhan dunia usaha dalam menyerap kenaikan ongkos produksi. Reformasi kelembagaan pasar juga menjadi keharusan.
Struktur pasar yang monopolistik kerap menyebabkan tingkat harga komoditas meningkat tidak proporsional. Akibatnya, lonjakan indeks harga konsumen menjadi hal yang tidak terelakkan. Pemberian insentif bagi industri yang menggunakan sumber energi alternatif perlu segera dipikirkan. Hal ini mengingat Indonesia adalah negara yang kaya dengan berbagai sumber energi alternatif.
Meningkatkan lifting merupakan opsi yang terbaik. Dari hasil simulasi, dengan asumsi peningkatan shock lifting 10.000-50.000 barel, peningkatan lifting 50.000 barel per hari merupakan opsi terbaik. Defisit bisa ditekan sampai 0,03. Dengan asumsi total belanja Rp641 triliun, pemerintah dapat menghemat Rp20 triliun. Ke depan, keharusan menjaga tingkat lifting sesuai asumsi yang ditetapkan merupakan pertaruhan yang harus dimenangkan pemerintah untuk mengamankan sisi fiskal perekonomian nasional. (*) M Ikhsan Modjo

Follow The Money vs Follow The Suspect

SEBAGAIMANA tindak pidana korupsi, dalam penyelidikan dan penyidikan financial crime (tindak pidana yang dilakukan dengan tujuan mencari uang atau kekayaan) kita mengenal pendekatan follow the money dan follow the suspect. Pendekatan follow the money sudah lama dipakai di Amerika Serikat dan dikenal juga dengan pendekatan antipencucian uang. Pendekatan antipencucian uang ini diperkenalkan secara formal oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa pada 1988 dalam Konvensi Wina, Convention Against Illicit Traffic in Narcotics and Psychotropic Substance. Di Indonesia, pendekatan follow the money diatur dalam Undang-Undang (UU) No 15/2002 sebagaimana telah diubah dengan UU No 25/2003 yang biasa disebut UU TPPU.
Walaupun UU ini sudah berusia enam tahun, tetapi masih banyak penegak hukum yang enggan menerapkan pendekatan follow the money. Tulisan ini membahas beberapa permasalahan. Apa itu pendekatan follow the money, apa pula pendekatan konvensional follow the suspect? Mengapa penegak hukum belum banyak menggunakannya dan bagaimana prospek pendekatan follow the money dalam pemberantasan tindak pidana? Kita mulai dengan pendekatan follow the money.
Dalam setiap tindak pidana, setidaknya ada tiga komponen, yaitu pelaku, tindak pidana yang dilakukan, dan hasil tindak pidana. Hasil tindak pidana dapat berupa uang atau harta kekayaan lain. Pendekatan follow the money mendahulukan mencari uang atau harta kekayaan hasil tindak pidana dibandingkan dengan mencari pelaku kejahatan. Setelah hasil diperoleh, kemudian dicarilah pelakunya dan tindak pidana yang dilakukan. Dalam mencari hasil tindak pidana, dipergunakan pendekatan analisis keuangan (financial analysis).
Di sini dipergunakan ilmu akuntansi dan ilmu lain yang terkait. Ilmu akuntansi yang dipakai adalah akuntansi forensik (forensic accounting). Financial analysis berusaha melihat transaksi dan keadaan keuangan pelaku untuk menjawab beberapa pertanyaan pokok: Apa transaksi yang dilakukan dan apa voucher atau warkat transaksi yang digunakan? Siapa yang melakukan transaksi? Atas nama siapa transaksi dilakukan? Mengapa transaksi dilakukan? Di mana dan kapan transaksi dilakukan? Bagaimana terjadinya transaksi? Dalam melacak terjadinya transaksi, pelacakan dapat dilakukan ke belakang untuk mengetahui sumber dana.
Demikian juga pelacakan ke depan untuk mengetahui siapa lawan transaksi, yang menerima atau menikmati hasil transaksi tersebut. Pelacakan dapat dilakukan semaksimal mungkin, sesuai kebutuhan untuk mencari adanya indikasi tindak pidana yang dilakukan seseorang. Hasil financial analysis ini dapat memberikan petunjuk atau indikasi mengenai dugaan adanya suatu tindak pidana telah dilakukan seseorang.
Financial analysis belum dapat memastikan terjadinya tindak pidana dan tidak memberikan alat bukti terjadinya tindak pidana tersebut. Kedua hal terakhir ini merupakan tugas penyidik yang menerima hasil financial analysis tersebut dari Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK). Untuk melihat keunggulan pendekatan follow the money, penulis menggunakan contoh tindak pidana pembalakan liar (illegal logging) yang sulit diberantas karena melibatkan oknum pejabat dan cukong penyandang dana.
Dari ratusan kasus pembalakan liar yang sudah diajukan di pengadilan, kebanyakan yang dihukum adalah pelaku lapangan seperti penebang kayu, sopir, nakhoda, anak buah kapal, dan satuan pengamanan. Oknum pejabat dan cukong yang mendalangi pembalakan liar hampir tidak ada yang terjerat. Hal ini terjadi karena hanya menggunakan pendekatan follow the suspect, tidak didukung pendekatan folow the money. Pendekatan follow the suspect tidak akan pernah menemukan para oknum pejabat dan cukong berkeliaran di lapangan/hutan.
Dengan pendekatan tambahan follow the money, akan dapat terungkap oknum pejabat yang menerima hasil pembalakan liar dengan melihat keadaan keuangan dan transaksi keuangannya. Dengan pendekatan ini, dapat diungkap juga cukong yang mendalangi pembalakan liar. Ada beberapa keunggulan pendekatan follow the money. Pertama, jangkauannya lebih jauh sehingga dirasakan lebih adil seperti terlihat pada kasus pembalakan liar.
Kedua, pendekatan ini prioritas mengejar hasil kejahatan, bukan pelaku kejahatan, sehingga dapat dilakukan dengan "diam-diam", lebih mudah, dan risiko lebih kecil karena tidak berhadapan langsung dengan pelaku yang kerap memiliki potensi melakukan perlawanan. Ketiga, pendekatan ini mengejar hasil kejahatan yang nantinya dibawa ke depan proses hukum dan disita untuk negara karena pelaku tidak berhak menikmati harta yang diperoleh dengan cara tidak sah.
Dengan disitanya hasil tindak pidana ini, motivasi orang untuk melakukan tindak pidana untuk mencari harta menjadi berkurang atau hilang. Keempat, harta atau uang merupakan tulang punggung organisasi kejahatan. Mengejar dan menyita harta kekayaan hasil kejahatan akan memperlemah mereka sehingga tidak membahayakan kepentingan umum. Kelima, terdapat pengecualian ketentuan rahasia bank atau rahasia lainnya sejak pelaporan transaksi oleh penyedia jasa keuangan sampai pemeriksaan selanjutnya oleh penegak hukum.
UU TPPU yang memakai pendekatan follow the money mengkriminalisasi pencucian uang, yaitu perbuatan menyembunyikan dan menyamarkan harta kekayaan hasil tindak pidana, sehingga seolah-olah tampak sebagai kekayaan yang sah. Ada beberapa sebab lemahnya pendekatan follow the money dalam memberantas tindak pidana. Pertama, belum ada persepsi yang sama di antara para penegak hukum, misalnya antara kepolisian sebagai penyidik,kejaksaan sebagai penuntut umum dan hakim yang mengadili.
Kedua, penyidik tindak pidana pencucian uang hanyalah kepolisian, yang sampai sekarang masih memiliki keterbatasan sumber daya manusia dan keahlian melakukan financial investigation. Ketiga, penuntut umum (jaksa), walaupun sudah ada pedoman penuntutan perkara dengan menggunakan dakwaan pencucian uang dan pidana asal (kumulatif), masih ada keengganan menerapkannya. Kejaksaan lebih senang menggunakan dakwaan secara alternatif atau berlapis dengan dakwaan pertama "tindak pidana korupsi" dan dakwaan kedua "pencucian uang".
Hal ini dirasakan kurang tepat karena kedua tindak pidana itu sangat berbeda dan diatur pada UU berbeda. Memang UU Tindak Pidana Korupsi ada beberapa kelebihan, antara lain hukumannya lebih berat dibandingkan UU TPPU dan adanya uang pengganti yang bisa dikenakan kepada terhukum. Ada sementara orang menduga, keengganan jaksa juga disebabkan sikap "kurang senang" mereka karena tidak dapat menyidik kasus TPPU seperti halnya pada kasus tindak pidana korupsi.
Cara efektif dalam memberantas tindak pidana adalah kerja sama yang efektif antara para penegak hukum yang selama ini terkesan agak terpisah-pisah. Untuk itu, diperlukan persamaan persepsi dan kerja sama dalam menggunakan pendekatan baru follow the money sebagai pelengkap pendekatan konvensional follow the suspect. Diperlukan adanya pelatihan bersama di antara para penegak hukum sehingga melahirkan persepsi yang sama.
Untuk dapat bekerja sama, sudah tentu diperlukan sikap saling percaya, singkirkan egoisme kelembagaan dan adanya komunikasi yang intensif. Sedapat mungkin diupayakan adanya komunikasi antara para penegak hukum sejak mulai penyidikan. Dengan begitu, kalau ada perbedaan segera dapat diatasi. Untuk dapat melakukan pendekatan follow the money dengan melakukan financial investigation, selain diperlukan pendidikan khusus, juga dapat meminta bantuan dari akuntan publik atau akuntan dari Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP).
Akhirnya harus disadari bahwa pendekatan follow the money dan follow the suspect tidak dapat berjalan sendiri-sendiri. Untuk memperoleh hasil yang maksimal dalam penegakan hukum- yaitu memberi efek jera kepada pelaku, memberikan deterrent effect bagi publik dan merampas hasil tindak pidana untuk negara-diperlukan kerja sama para penegak hukum untuk mengombinasikan kedua pendekatan tersebut. (*) Yunus Husein

Revitalisasi Kluster Industri

PERTENGAHAN bulan ini saya berkesempatan meninjau beberapa kluster industri di China, antara lain industri teh di Wenzhou, industri ulat sutra di Suchou, industri keramik di Wuxi, dan industri elektronik di Shenzhen.
Dari kunjungan tersebut, saya memperoleh penegasan ulang bahwa industrialisasi di China dikembangkan di atas prinsip pemanfaatan potensi lokal dan kesalingterkaitan yang tinggi. Pemanfaatan potensi lokal dan penekanan terhadap prinsip kesalingterkaitan adalah pilar utama pengembangan industri berbasis klaster.
Di atas pilar tersebut, industri berkembang dengan akar yang kuat dengan berbagai aktor dan sektor yang bekerja saling memperkuat. Kluster industri oleh Michael Porter (1998) didefinisikan sebagai "a geographically proximate group of interconnected companies and associated institutions in a particular field, linked by commonalities and complementarities".
Pengelompokan perusahaan sejenis yang bekerja saling melengkapi dan saling memperkuat terbukti memiliki daya saing tinggi. Alfred Marshall (1920) adalah ekonom pertama yang banyak membahas pengembangan industri berbasis klaster. Distrik industri sebagai embrio pertumbuhan kluster cenderung memiliki daya saing tinggi karena menciptakan efisiensi kolektif dalam memanfaatkan ketersediaan sumber bahan baku lokal, tenaga kerja dengan keterampilan khusus, penyebaran pengetahuan (knowledge spillover) yang cepat, dan keterkaitan hulu-hilir yang kuat.
Di Indonesia, sesungguhnya kita telah mengenal konsep Lingkungan Industri Kecil dan Sentra Industri sejak 1979. Sentra industri tumbuh melalui perencanaan dan keterlibatan pemerintah, sedangkan lingkungan industri kecil lebih tumbuh secara alami.Konsep-konsep tersebut pada awalnya dikembangkan untuk membina industri kecil dengan lebih baik, dari segi biaya ataupun ketepatgunaannya.
Pada pertengahan 1990-an, sejumlah departemen juga mengembangkan konsep pengembangan industri berbasis klaster. Bahkan, ada departemen yang telah menerbitkan inventarisasi jumlah kluster potensial, yaitu kluster yang memiliki potensi bertumbuh tinggi.
Memang harus diakui, sebagian besar embrio kluster di Indonesia sulit berkembang karena berbagai sebab, seperti beratnya kendala bahan baku dan banyaknya beredar produk pengganti (substitute) dengan kinerja produk lebih baik. Munculnya berbagai konsep tersebut menunjukkan adanya kesadaran para pengambil kebijakan (policy makers) bahwa konsentrasi industri secara spasial dan sektoral sesungguhnya memberi harapan peningkatan daya saing industri kecil.
Sayang, pelaksanaan dari konsep-konsep pengembangan tersebut dinilai kurang berhasil. Ini kembali membuktikan bahwa kelemahan utama kita terletak pada pelaksanaan (eksekusi) program. Saya mencatat tiga kesamaan dari berbagai kluster di China yang saya kunjungi. Pertama, kluster-kluster tersebut didukung ketersediaan infrastruktur yang memadai. Infrastruktur yang baik membuat akses ke dan dari kluster sangat terbuka, dan tercipta efisiensi operasional yang tinggi.
Kedua, peran sejumlah perusahaan kunci (hub companies) untuk membuka pasar baru sangat menonjol. Perusahaan-perusahaan ini biasanya sangat inovatif dalam mencipta desain baru yang diminati pasar. Mereka sangat rajin berpromosi untuk memperkuat merek dan citra, juga memiliki jaringan kerja sama kuat dengan berbagai lembaga penunjangnya.
Ketiga, dukungan sumber daya manusia dan modal sosial yang kuat. Meski tidak memiliki data terperinci untuk perbandingan, saya memperoleh kesan kuat terhadap etos kerja dan produktivitas pekerja yang tinggi. Sumber daya manusia yang terampil dan modal sosial kuat ini memungkinkan terjadinya dua kondisi bersamaan, yaitu semangat bersaing dan bekerja sama yang tinggi.
Tiga tahun lalu, Japan External Trade Organization (JETRO) bekerjasama dengan Institute of Developing Economies (IDE) menerbitkan buku Industrial Clusters in Asia (2005). Saya kecewa karena buku tersebut tidak memuat contoh kluster yang dinilai berhasil di Indonesia. Yang ada hanya contoh kluster industri di Tianjin (China), Bangalore (India), dan sejumlah klusterdi Malaysia dan Vietnam.
Apakah pengembangan kluster di Indonesia dianggap gagal atau hanya karena penelitian JETRO tidak mencakup Indonesia? Tidak jelas. Padahal, kita memiliki sejumlah kluster industri berdaya saing tinggi, seperti kluster kelapa sawit, rumput laut, teh, dan furnitur. Jepara dulu dikenal sebagai salah satu kluster furnitur kelas dunia dan dalam banyak studi disejajarkan dengan keberhasilan kluster peralatan kedokteran di Sialkot (Pakistan) atau kluster alas kaki di Agra (India).
Bagaimana nasib-nasib kluster yang ada saat ini? Apakah kluster atau yang embrionya kita sebut sentra industri sedang mengalami tekanan serius? Hermine Weijland, seorang ahli ekonomi negara berkembang dari Vrije Universiteit Amsterdam (VUA), pernah mempertanyakan apakah sentra industri yang merupakan refleksi industrialisasi di pedesaan, merupakan kantong-kantong pertumbuhan atau sebaliknya sebagai kantong-kantong kemiskinan (pockets of poverty)? Saat-saat seperti sekarang, ketika penciptaan kesempatan kerja begitu mendesak dan tekanan urbanisasi semakin kencang, revitalisasi pertanian seyogianya disertai dengan upaya revitalisasi industri.
Berbagai kendala pengembangan industri pada kluster berprospek cerah harus segera ditangani dan dilakukan upaya pembenahan yang serius. Bila tidak ada upaya serius, kita hanya menunggu semakin panjangnya daftar kluster industri yang masuk fase sekarat. Mati segan, hidup pun enggan. (*) Hendrawan Supratikno