Selasa, Februari 26, 2008

Farrah Gray; Reallionaire

resensi by noenx's
Alunan si Miliuner Muda

Jangan pernah takut untuk memulai hal dengan sesuatu yang sepele. Justru sesuatu yang sepele itu bukan tidak mungkin menjadi sesuatu yang tidak bisa disepelekan.

PESAN itu terlihat pada sosok ibu saat si bocah ingusan Farrah Gray berusia 6 tahun. Kondisi keluarga yang kesulitan dalam hal ekonomi, satu tahun kemudian mampu membuat pikiran anak kecil berkelebat saat melihat tumpukan botol lotion di kompleks rumahnya yang kumuh.
Selang dua hari kemudian ia pun menjual kembali produk lotion yang berasal dari kumpulan cairan lotion bekas. Tak dinyana, dalam sehari Farrah kecil mampu menghasilkan uang sendiri;10 dolar. Sebuah hasil yang membuatnya kaget. Sejak saat itulah prinsip dan jiwa kewirausahaan Farrah muncul, mulai mengeluarkan kartu nama berlabel CEO Abad 21, dan akhirnya menuai hasil maksimal hingga memiliki omzet lebih dari 250 juta dolar AS hanya dalam usia 14 tahun!.
Fenomenal?jelas iya untuk ukuran dimana kondisi ekonomi tengah karut marut. Kini kisah sukses pemilik jaringan kartu seluler khusus anak, Kidztel ini berhasil merebut hati jutaan pembaca di dunia. Tak ayal, buku berjudul Reallionaire ini mampu menembus level world best seller.
Membaca buku ini bakal membawa kita ke sebuah alunan khas tersendiri dari seorang Farrah Gray. Naik, turun, terjerembab, dikhianati partner sampai pencurian ide, menjadi polemik tersendiri yang membuat kita bakal semakin bersemangat. Apalagi bagi individu yang tengah mengalami saat-saat berada di bawah, buku ini jelas memberi efek positif dengan gaya bertutur-tuturnya yang mengena dan tidak bertele-tele.
Rincian proses menjadi besar ala Farrah Gray menjadi inti kekuatan dalam buku ini. Meski masih sangat hijau di dunia bisnis, namun ia dengan penuh percaya diri berjalan di tengah kalangan yang sempat menganggapnya “barang remeh temeh” alias tak berguna. Perjalanan teguhnya membaca sosok bocah kecil ini menjadi seorang CEO termuda yang memiliki kantor di jajaran Wall Street.
Meski di beberapa bagian masih mengandung sisi yang sebenarnya mubazir, namun buku ini mampu memberi nafas emosional yang pada ujungnya menginfiltrasi oksigen kita dengan sebuah pernyataan; tak pernah ada kata terlambat di dunia.
Satu hal yang menarik, buku ini mengetengahkan pembelajaran sekaligus dalam setiap akhir bab. Anda dipersilakan langsung berinteraksi dengan kandungan buku, mengisi sebuah formulir lampiran yang melatih diri pembaca untuk benar-benar langsung mengaplikasikan apa yang ada di pikiran. Sebuah teknik runtutan buku yang sangat kreatif tentunya.
Rangkaian “pelatihan” pada setiap akhir bab mampu menggiring pembaca tanpa sengaja ke sebuah kesimpulan tentang apa yang akan dilakukan pembaca dan penggalian potensi secara tidak langsung. Sistematis, cerdas, tidak menggurui dan inovatif, semuanya ada di buku ini. (persda network/nurfahmi)



The Trump Way, The Way to Success

resensi by noenx's
Rahasianya: Kreatif dan Pantang Menyerah!

Saya dijuluki negosiator ulung karena saya biasanya mendapatkan apa yang saya inginkan. Saya ingin bernegosiasi untuk menang dan saya pun menang….Jangan biarkan ekspektasi membelenggu Anda. Kadang Anda harus banting setir, mengubah rencana, bertindak bagaikan psikolog atau sedikit menjadi bunglon untuk mengetahui oendekatan negosiasi terbaik.

KALIMAT yang menggambarkan sosok Donald Trump di atas langsung manyambut pandangan mata kita saat pertama kali membuka “baju” buku berkategori best seller dunia, The Trump Way, The Way to Success. Terjemahan asli judul buku itu, Jalan Trump: Jalan Menuju Sukses, jelas sudah menjadi daya tarik tersendiri bagi penggiat bisnis dunia.
Merenungi perjalanan sosok pemilik jaringan real estate dan properti yang tersebar dari jajaran kota New York, Los Angeles sampai Hawaii ini tentu tidak ada habisnya. Putaran rollcoaster memang telah menjadikan sosok putra asli negeri Paman Sam ini terlihat kuar. Tidak hanya properti dan real estate, namun saat ini jaringannya sudah merajah unit bisnis parfum, restoran, kasino, pakaian olahraga, jam tangan, kemeja sampai aksesori leher. Sebuah prestasi bisnis luar biasa yang bisa jadi mampu mengilhami kalangan pebisnis di Indonesia.
“Jangan pernah menyerah, rengkuhlah apa yang ingin kau rengkuh, janngan pernah bosan untuk melobi dan takut pada halangan, mengalirlah seperti air namun jangan selemah air ketika harus terpecah menghantam kerikil kecil,”itu satu pesan penting Trump.
Satu lagi, “Orang yang antusias terhadap pekerjaannya tidak memiliki rasa takut apapun terhadap hidup ini” (halaman 226). Corong motivasi jelas menjadi tujuan terakhir buku ini. Bukna hanya untuk sekedar menjadi bacaan penyemangat jiwa, namun nilai filosofis di dalamnya jelas menjadi nilai lebih tersendiri bagi si pembaca.
Meski terbilang masih terlalu tebal untuk ukuran pebisnis Indonesia yang terlalu “sibuk”, setidaknya jalan sukses seorang Donald Trump jelas menjadi inspirasi tersendiri. Paling tidak, segmen intuitif seseorang bakal terangsang. Pelbagai unit langkah yang terlihat sederhana bagi kita, ternyata mampu menjadi titik kunci seorang Trump membangun kerajaan bisnisnya. Bersainglah dengan diri sendiri, jangan menjadi meteorit yang bersinar sekejap lalu lenyap (hal.227).
Membaca isi buku ini membawa sebuah penerawangan logis dikombinasikan dengan unsur statistik realistis yang mampu memberi sebuah pengetahuan, bukan pengajaran. Paling tidak, meski tidak atau belum bisa teraplikasi dalam setiap diri kita, namun mampu memberi tambahan ilmu yang sangat berguna suatu saat.
Sebuah pilihan gaya hidup pun bisa tersarikan dari buku yang baru saja hadir di Indonesia ini. Gaya hidup bukan virtual, melainkan lebih pada habits dan behaviour jelas memberi benefit tersendiri bagi pelaku bisnis. Pun bukan bagi pelaku bisnis, untuk masyarakat biasa kualitas buku ini jelas mampu mengisi resensi ilmu di dalam otak kita masing-masing. Trik, seni, intuitif, nekad, strategi, momentum sampai pada finalisasi dan sentuhan terakhir jelas terasa dalam buku yang disertai contoh nyata bagaimana Anda harus melangkahkan kaki, atau darimana dan bagaimana saat Anda harus pertama kali melangkahkan kaki.
Donald Trump sebenarnya sudah lama menjadi sorotan. Sepak terjangnya di dunia bisnis negeri Paman Sam jelas memiliki kelas tertinggi. Fenomena manajerial bisnisnya telah menjadi inspirasi banyak orang, langkah-langkah intuitif penuh perhitungan telah mengantarkannya menjadi seorang entrepeneur sejati. Beranjak dari hal kecil, kini Donald telah memiliki aset puluhan triliun yang tersebar dalam puluhan jenis binis baik di USA maupun di beberapa kota besar di Eropa lainnya.
Fakta bahwa dia berhasil membangkitkan kembali kerajaan bisnisnya dan menjadi miliarder setelah tenggelam dalam utang sebesar 9 miliar dolar AS membuat kisah hidupya menjadi semakin luar biasa.
Sosok pria ini mengenal dunia bisnis dari segala perspektif, dari segala sudut, atas maupun bawah dari dalam maupun luar. Dalam inti buku ini pun, Anda akan menyimak pelbagai prinsip praktis yang selama ini memandu karirnya.
Buku ini memang dihadirkan secara spesial bagi kalangan yang tengah beranjak dari keterpurukan ataupun yang tengah menjaga motivasi. Buku ini sendiri bukan bermaksud untuk menggurui ataupun menyatakan apa yang tertera bisa menjadi kunci, namun buku ini lebih kepada memberikan pengetahuan, wawasan dan tambahan psikologi bahwa hal yang tak biasa bisa menjadi luar biasa dan hal yang tdak bisa dijangkau menjadi sesuatu yang bisa dijangkau bahkan dengan mudah sekalipun.
Beberapa prinsip dan jalan seorang Trump terpampang jelas di buku ini. Jika memang tidak mempunyai waktu banyak, jelas poin-poinnya saja sudah mampu kita jabarkan. Sebuah hal yang sebenarnya sepele namun terkadang kita lupakan dalam setiap langkah.
Modal pertama menurut Trump adalah jangan pernah menyia-siakan hidup Anda untuk pekerjaan yang tidak Anda sukai, tetapkan standar tinggi, berpikir skala, memiliki keteguhan, tanpa pengetahuan Anda tak punya peluang, tidak pernah takut untuk dipecat, bukti dalam tindakan tidak hanya retorika semata dan penggunaan naluri adalah nasehat terbaik.
Sisi lainnya antara lain, belajar itu menyenangkan, melihatlah semuanya secara menyeluruh, menunggu peluang yang tepat, hindari pola yang sama, selalu berbuat lebih, hasil lebih penting daripada cara, perlakukan pekerjaan Anda sebagai seni, ikuti perkembangan, ketegaran butuh keberanian, berpetualang, kepercayaan diri dan memanfaatkan momentum potensial Anda. Yang terakhir tentu jangan pernah menyerah untuk menggali diri Anda supaya melesat dan konsentrasi pada target bukan pada alat. Tak salah jika The New York Times mengungkapkan buku ini sebagai solusi mutakhir kebuntuan bisnis. (persda network/nurfahmi)

Senin, Februari 25, 2008

Di Balik Potret Buruh kota Bandar Madani (2-habis)

by noenx's
Menjual Tenaga tak Cukup, ya (Terpaksa) Menjual Diri
ALUNAN lirik dan lagu slow Kasih tak Sampai milik superband PADI terdengar lirih. Sayup terdengar suara Fadly mengumandangkan Tetaplah menjadi bintang di langit, Agar cinta kita akan abadi, Biarlah sinarmu tetap menyinari alam ini, Agar menjadi saksi cinta kita, Berdua...
Bagi Anik (bukan nama sebenarnya), lagu yang sangat populer di awal tahun 2000 itu tetap menjadi lagu favorit dan kenangan sepanjang masa. Tak heran meski ia kini berada jauh dari kampung halamannya, Wonosobo, ia tetap membawa kaset yang warnanya sudah mulai pudar itu. Yup, itulah kenangan terakhir yang terasa manis sekaligus pahit buatnya, sebuah pengalaman yang membuatnya nekad untuk terbang jauh, merantau dan menghilangkan rasa frustasinya di kota industri ini, meski ia sadar dirinya tak mempunyai skill mumpuni. Boro-boro belajar mesin atau kursus, hiruk pikuk SMA saja hanya dilakoninya dua tahun.
Akibat kebablasan dalam menjalin hubungan cinta, sebagai wanita iapun merasakan akibat yang sangat mendera hati. Hamil, aborsi dan keputusan untuk melangkahkan kakinya ke Batam akhirnya disetujuinya. Tak berapa lama, sampailah ia ke Batam dibawa oleh seorang “agen” tenaga kerja.
Berbekal wajah cantik, bodi semlohay dan proporsi yang sangat menarik kaum Adam, membuat Anik tidak susah mencari pekerjaan di sebuah kawasan industri besar di Batam. Namun jangan salah, bukan karena ketrampilannya merakit bahan-bahan produksi, namun kesediaannya untuk bekerja “luar dalam” yang membuatnya bisa diterima di sebuah pabrikan cukup besar di kota industri itu.
Sejak saat itu, ia pun kerja “dobel”. Sekali waktu jadi buruh beneran di pabrik, namun lebih banyak waktu lainnya yang menjadikannya budak nafsu. Sebuah pekerjaan yang berawal dari kesedihan dan kebingungan akan nasib masa depannya.
Sekelumit retorika Anik memang bukan hal baru di Batam. Apalagi ada sebuah perusahaan elektronik yang memang menyediakan secara khusus wanita panggilan dari pelbagai kawasan di Indonesia, dengan harga khusus tentunya, yang siap melayani nafsu bejat lelaki hidung belang. Biasanya mereka berada di posisi “bayang-bayang”, maksudnya tetap tercantum menjadi buruh di pabrik itu namun berada di tempat spesial, tidak perlu kerja keras karena memang penghasilan mereka dalam kontrak perjanjian kerja berasal dari layanan kepada setiap lelaki hidung belang. Ironis memang. Lebih gila lagi, sang koordinator biasanya adalah orang penting yang ada di lingkup dalam perusahaan tersebut.
Sekedar informasi, biasanya “buruh-buruh” ini berasal dari daerah dengan kualitas kecantikan yang sudah termasyhur seperti Menado, Jawa Barat, Lahat, Nanggroe Aceh Darussalam, Jawa Tengah dan beberapa kawasan di Pontianak. Kelas mereka pun dibedakan berdasar panggilan seperti nona, bunda, mbak sampai panggilan khusus amoy. Yang terakhir digunakan sebagai panggilan umumnya untuk kalangan “buruh” yang berasal dari Pontianak.
Di luar cara sistematis itu, nasib buruh, terutama yang berjenis wanita, yang semakin terdesak kebutuhan ekonomi membuat mereka harus berpikir keras mencari tambahan lain. Sialnya, nilai Over Time (OT) terkadang tidak sesuai dengan keinginan mereka. Di samping tentu mempunyai alasan lain seperti kesepian misalnya.
Namun sebagian besar tetap berlatar pada income yang tidak memadai untuk membayar kos, biaya transportasi, beli pulsa, berkomunikasi dengan keluarga, pemenuhan kebutuhan mandi dan makan serta kebutuhan tak terduga. Hanya dengan Rp1,2 juta tentu tidaklah cukup, pun dengan Rp1,5 juta hasil dari uang lembur, juga tidak tentu bisa memuaskan keinginan.
Sedangkan di sisi lain, buruh kini benar-benar menjadi sebuah sumber eksploitasi bagi hampir semua pengusaha di sana. Memang tidak semuanya diperlakukan seperti itu, namun aksi pemerasan tenaga dengan mengesampingkan reward kerap menjadi hal di depan mata. Pemerintah pun seolah tak berdaya. Meski ada tuntunan nilai standar Upah Minimu Kota (UMK), tetap saja semuanya beralih pada pengusaha. Tak ada kekuatan hukum apalagi pembelaan hukum. Yang ada hanya usaha mereka saja, melalui serikat buruh, yang ironisnya terkadang juga ditunggangi beberapa oknum untuk menjatuhkan lawannya. Sungguh sedih, melihat perjuangan para buruh justru digunakan sebagai isu politik. Sekali lagi, sangat ironis.
Pertumbuhan serikat buruh di Indonesia, juga di kawasan Batam, ternyata tidak berkorelasi secara positif pada posisi tawar dari serikat buruh. Pertumbuhan dan fragmentasi ini nampaknya malah berkorelasi secara positif dengan melemahnya posisi tawar dari serikat buruh.
Sebuah sumber mengungkapkan, pada umumnya, konsentrasi serikat-serikat buruh di Indonesia tidak menyentuh isu-isu krusial yang mempunyai kaitan erat dengan isu ketenagakerjaan. Dari sini sebetulnya serikat-serikat buruh dituntut untuk dapat melakukan advokasi atau menyusun proposal tentang reformasi perburuhan yang berkaitan dengan isu reformasi pendidikan, birokrasi, hukum, dan investasi. Serikat buruh juga dituntut untuk melakukan kerjasama dengan asosiasi pengusaha dalam rangka kegiatan pemberantasan korupsi.
Tak heran jika buruh seperti Anik Anik saling bermunculan. Mereka harus merelakan kehormatan mereka demi memenuhi kebutuhan. Bahkan mereka tak tahu lagi sampai kapan bisa begitu. Tak sempat terlintas bagaimana seandainya penyakit mematikan mendera tubuh mereka dan ketuaan menerjang kemampuan mereka untuk bersaing. Masih banyak cerita yang tak bisa dipadukan, namun realitas jelas menjadi bukti sebuah cermin buruh di sebuah kawasan industri ternyata tidak semakmur yang dibayangkan orang luar. Satu kata memang; ironi. (persda network/nurfahmi)

Di Balik Potret Buruh kota Bandar Madani (1)

by noenx's
Berharap dapat Emas, Malah Lemas yang Datang
PUJI Lestari (27) hanya terpekur sebelum ia beranjak dari kasur. Ia hanya sekejap saja menatap teman-temannya yang berada di sekelilingnya. Mata yang masih berat untuk menatap jejak bayang di depan, dipaksanya untuk membimbingnya ke kamar mandi. Seperti biasa, langkah kakinya segera beriringan dengan kerja tangan. Menggamit sikat gigi, handuk kumal yang sudah satu tahun tak pernah ganti dan pakaian ganti, ia berjalan gontai karena memang tubuhnya hanya bermodal setengah nyawa. Sayup-sayup hanya terdengar suara binatang malam, yang semakin hari ternyata semakin sedikit, berganti deru mobil dan suara bising mobil dan motor yang sesekali melintas di depan kamarnya.
Usai mandi, berganti baju seragam “kantornya”, ia pun menengok jam di dinding. Pukul 11.00 malam. Waktu yang enak untuk tidur, pikirnya. Namun itu hanya selintas harapan saja, pasalnya Puji bersama ribuan buruh lain yang bernasib sama malam itu justru harus berjuang demi mendapatkan kehidupan layak yang selama ini mereka cari. “Biar hujan dan banjir sekalipun, tak apalah,”itulah prinsip yang selalu menjejali dalam diri Puji, dan juga teman-temannya. Kecuali sakit, Puji dan Puji-puji lainnya terus bekerja keras bahkan jika ada lembur alias over time (OT) sekalipun, kesempatan itu tidak akan dibuang percuma.
Itulah awal yang selalu sama dengan hari sebelumnya. Bak sebuah mesin yang sudah terporgram, kehidupan sosok Puji harus memiliki laku yang sangat berliku. Sudah hampir empat tahun ia meninggalkan keluarga dan suaminya hanya untuk menempa batu keras kehidupan dan berharap munculnya emas di tanah rantau, Batam.
Bersama puluhan ribu tenaga kerja lainnya, awalnya dan sampai sekarang Puji pun terus bersemangat menyambut hari demi hari dengan kegiatan rutin layaknya robot yang telah terprogram. Nyaris tak ada jeda untuk sekedar rehat bersama. Dalam alam pikirannya terus bermunculan keinginan mendapatkan sesuatu yang lebih di tanah rantau Bandar Madani.
Saat pertama kali datang, ia langsung berhadapan dengan rutinitias seperti itu. Dua tahun pertama, ia berhasil lolos dari seleksi pemulangan dan memperpanjang masa kontraknya selama dua tahun.
Kini setelah hampir empat tahun, ia pun merasa bimbang untuk melanjutkan atau kembali kepada keluarga, suami dan anak yang dulu saat ditinggalkan masih berusia satu tahun. Ia pun sempat berpikir apakah nanti anaknya itu masih kenal dengan wajah sang ibu, itulah yang terus ada dalam benaknya. Bagaikan buah simalakama, ia pun harus memutuskan untuk tetap tinggal di kota ini, demi sebuah jerih payah yang tetap hilang dan habis setiap bulannya.
Kini, nyaris setengah windu Puji berada di kota yang dulu sangat terngiang di telinganya sebagai kota emas, tempat tepat mengumpulkan uang. Namun apa yang didapatnya?nihil. Hampir tidak ada bekas yang tersisa. Pakaian yang dulu dibawa saat pertama kali mendaratkan kakinya di Bandara Hang Nadim, masih tergeletak sama, tanpa ada perubahan berarti. Dirinya yang dulu terasa kumal, kini pun dirasakan idem. Meski terus untuk pulang, namun lagi-lagi hatinya terus meyakinkan jika kelak ada “emas” yang bisa diraih. Namun sayang, ia pun tak tahu kapan bisa mendapatkan itu semua.
Dalam hatinya, Puji pun sempat tergetar untuk segera menyerah dengan keadaan seperti ini. Semuanya ia tepis meski harus berada dalam lingkup kehidupan yang berada di luar dari bayangannya dulu. Menjadi seorang buruh membuatnya harus berjuang keras menyesuaikan diri dengan apa yang di dapat, bukan berdasar apa yang ada di sekitar lingkungannya. Justru jika dirinya tak tahan dengan apa yang ada di lingkungannya, dirinya bakal hancur sudah dari dulu.
Kehidupan prihatin yang ia alami sama dengan yang dirasakannya di kampung halaman. Hidup penuh perhitungan, mengkalkulasi angka sebelum bertransaksi dan seirit mungkin menjadi kebiasaan saban harinya.
Makan nasi, sayur plus tempe atau tahu ditambah sambal menjadi rutinitasnya. Jika sedikit lebih baik, ia sesekali menambahi dengan ayam goreng yang dibeli di depan gang kosnya, itupun dengan catatan esok harinya dipastikan ia harus lebih ngirit. Kebutuhan sehari-hari pun dipikirnya masak-masak. Apalagi sebagai wanita, tentu nilai kebutuhan pribagi menjadi lebih banyak. Masih untung biaya kos dipenuhi perusahaan, jadi ia masih bisa ngirit Rp300 ribu setiap bulannya. Jangan tanya ke salon mana ia merawat tubuh dan rambutnya. Bersama teman-teman, ia pun berbagi jasa untuk memotong rambut bareng atau paling banter ia pergi ke salon kecil-kecilan yang mengenai ongkos Rp10 ribu tiap potongnya. Pernah terpikir untuk sekedar creambath, memannjakan kulit dengan lulur atau rambut di-blow, tapi itu semua dibuangnya jauh-jauh demi satu kata; irit. Sebuah kata yang sangat terngiang di kepala Puji saat dulu belajar di bangku sekolah yang terakhir dijalaninya SD, ‘hemat pangkal kaya’.
Ia pun sempat bertanya pada dirinya, kenapa aku tak kaya meski sudah berhemat bahkan setiap waktu. Sebuah retorika belaka, karena Puji sadar untuk hidup saja sudah susah bagaimana dia bisa menabung.
Begitulah segelintir minoritas, yang bisa jadi juga mayoritas, nasib kaum buruh di kota industri yang selama ini dianggap mampu memberikan asa tinggi, Batam. Meski sudah tergolong menjadi kawasan perdagangan bebas dan pelabuhan bebas, tetap saja itu hanya bisa dinikmati segelintir orang yang notabene memiliki kekuasaan, kekuatan uang dan koneksi luar biasa, tidak untuk buruh. Karena nasib mereka tetap sama, masih berada di level paling bawah. Jangan bicara tentang hukum atau legalitas apapun, namun perhatian terhadap mereka nyaris belum mendapat atensi intensif layaknya sebuah kawasan industri ternama di dunia. Memang, contoh Puji jelas tidak bisa mengeneralisir semuanya bernasib sama. Namun yakinlah jika Puji Puji lainnya pun tetap ada, sebuah jurang pemisah yang teramat dalam.
Nasih strata mereka yang masih dianggap robot tentu menjadi keprihatinan tersendiri. Eksploitasi luar biasa untuk tenaga mereka, pun lewat mekanisme Over Time (OT) alias lembur jelas menjadi kekurangan tersendiri. Kalau memang perusahaan mampu membayar mereka sama dengan jika mereka, para kaum buruh, melakukan lembur, kenapa tidak dilakukan saja. Toh imbasnya jelas, mampu memberikan semangat tersendiri bagi para buruh untuk bekerja dengan kapasitas produksi yang telah diukur.
Nasib selintas tentang Puji tentu bukan cerminan untuk semua kalangan buruh. Ada yang lebih baik, namun tak sedikit pula yang berada di bawah Puji. Di Batam sendiri, bisa dilihat para pekerja yang nasibnya tidak lebih baik dari Puji terasa sangat menyesakkan. Bagaimana tidak, mereka paling tidak harus berjuang untuk hidup dengan gali lubang dan tutup lubang. Bulan ini mereka makan, hasil kerja sebulan ke depan belum tentu bisa membuat mereka makan. Meski kelas ini minoritas, namun tetap saja menjadi sebuah catatan cukup pelik di sebuah kawasan yang sudah ditetapkan pemerintah sebagai kawasan khusus, baik dari sisi perdagangan, legalitas transaksi dan keterbukaan keekonomian. Sialnya, terkadang status ini justru memicu arogansi beberapa pihak yang merasa mendapat wewenang lebih. Akibat nun jauh di sana tentu faktor serapan tenaga kerja yang semakin berkurang. Beruntung bagi Puji yang meninggalkan keluarga di tempat asal, di kota industri Bandar Madani justru semakin banyak didapati kaum buruh yang berkeluarga di kota ini. Sebuah kejadian dan situasi yang tentunya tidak ada dalam skema pembangunan dan pengembangan kawasan ini. Sistem in-out sudah tak berjalan lagi, akibatnya terjadi ketimpangan sosial dan masyarakat yang menjadi kaum buruh jelas semakin tertinda karena mereka menghadapi hanya dua pilihan; kerja atau menganggur, hidup atau mati.
Jarum jam menunjukkan angka tujuh. Saatnya Puji pulang ke kos. Ia pun sigap mengganti baju seragamnya dengan kaos lengan pendek, bercelana jean dan menyambar tas. Bersama ribuan buruh lainnya, ia keluar mendapati sinar matahari pagi yang membuatnya terasa segar. Sebuah perjuangan berat tentunya, harus berangkat dikawal langit malam, pulang disambut sinar mentari. Pernahkah Anda membayangkan seperti itu?. Kini langkah Puji, juga seperti yang setiap hari ia lakukan, terasa tegap meski di relung hatinya terasa lemas dan tetap bertanya kapan ia mampu menggapai emas yang diimpikannya?. Sampai di pintu gerbang kompleks kawasan industri, ia menghentikan metro trans, naik dan meluncur ke kos dengan satu pengharapan besar semoga besok bisa lebih banyak lembur yang bisa ia raih. Sembari berharap kelak ia bisa pulang ke rumah asal dengan membawa segepok rupiah. Sebuah asa yang Puji sendiripun entah kapan bisa tergapai. (persda network/nurfahmi) foto.www.google.com

Minggu, Februari 24, 2008

Kejahatan Perbankan Masa Kini

courtesy DS
HERAN, kaget, terkejut dan entah apalagi yang patut diungkapkan pada sistem kejahatan masa kini. Tidak hanya secara verbal, namun kini kasus yang masuk lewat jaringan tak bernyata alias software benar-benar menjadi momok tersendiri. Bagaimana tidak, kini penjahat tidak lagi menggunakan kekerasan otot, namun jejaring serabut neuron di otaknyalah yang mengkoordinir itu semua.
Sebuah bagian dari kejahatan, penghunusan melalui software di sektor perbankan memang sangat mematikan. Pasalnya, kini nyaris semua kepentingan dan transaksi perbankan menggunakan jasa layanan software, yang tentunya selaku hasil dari alias karya manusia, tentu bisa terus dikalahkan dari waktu ke waktu. Itulah yang saat ini menjadi ketakutan luar biasa kalangan bankir untuk menjalankan usahanya di sektor perbankan.
Media dunia baru saja dikejutkan berita pembobolan bank terbesar di Dunia yang terjadi di Paris. Akibat ulah pembobol, Bank tersebut harus rela merugi hingga Rp67 miliar. Bagaimana keadaan ini bisa terjadi di negara yang notabene maju dengan sistem pengawasan dan perangkatnya?

Pembobolan Bank
Pembobolan Bank tidak hanya terjadi di Prancis, 10 tahun silam Barings Bank (Bank tertua di Inggris) juga mengalami nasib yang sama. Akibat salah satu stafnya, Nick Leesson, Bank Barings harus rela menutup usahanya. Secara umum kata ''pembobolan" dalam konteks perbankan bisa dimaknai menjadi dua arti. Pertama, pembobolan yang berarti pencurian secara fisik pada bank dengan membongkar berangkas.
Kedua, pembobolan yang dilakukan dengan teknik penipuan yang lihai yang populer dengan istilah white collar crime atau kejahatan kerah putih. Tentu yang kedua ini dilakukan dengan teknik yang cantik,dengan berbagai macam penyalahgunaan dan penipuan dengan memanfaatkan kelemahan pengawasan internal.
Dalam konteks ini, pembobolan yang dimaksud pada Bank Barings dan Bank Prancis adalah jenis yang kedua. Permasalahan utama yang dihadapi oleh Bank Barings dan Bank Prancis secara umum sama, kedua bank tersebut merugi akibat tingginya kerugian yang dialami dari transaksi di pasar keuangan (saham, komoditas, dan valas).
Bank sebagai lembaga intermediasi memiliki kemampuan untuk mendistribusikan deposito dari masyarakat ke berbagai jenis aset (teori diversifikasi untuk menyebar risiko), seperti kredit dan investasi pada aset-aset keuangan di pasar keuangan (saham, komoditas, dan valas). Secara ideal, seharusnya bank memiliki proporsi investasi kredit lebih besar dibandingkan dengan investasi pada pasar keuangan. Namun, fenomena yang terjadi saat ini, bank lebih agresif melakukan penetrasi di pasar keuangan dibandingkan dengan investasi di sektor riil. Hal itu tentu sangat berkaitan dengan iming-iming keuntungan yang cepat dan tinggi di pasar keuangan, tentu dengan kompensasi risiko yang tinggi.
Kelemahan yang terjadi pada Bank Barings dan Bank Prancis adalah kedua Bank tersebut tidak waspada dengan pengawasan internal mereka untuk membatasi transaksi-transaksi spekulatif di pasar keuangan. Akibatnya, bank-bank tersebut tidak menyadari bahwa bank mereka dihadapkan pada tingkat risiko yang tinggi akibat ulah oknum stafnya di pasar keuangan. Mereka baru menyadarinya ketika kerugian riil sudah terlanjur terjadi, yang menguras uang nasabah mereka. Implikasi yang lain adalah ''kerugian negara", negara atau dalam konteks ini Bank Sentral harus bersiap siaga sebagai Lender of Last Resort untuk membayar kerugian para nasabah. Jika tidak, ancaman Bank Run dan penularan krisis perbankan akan terjadi, yang malah mengancam sistem perbankan dan sistem pembayaran negara tersebut.

Pelajaran bagi Perbankan Tanah Air
Hal itu tentu bisa menjadi pelajaran yang berharga bagi perbankan Tanah Air. Pertama, Bank Indonesia harus lebih waspada pada transaksi-transaksi off balance sheet yang dilakukan perbankan Tanah Air. Transaksi-transaksi off balance sheet yang sebagian besar adalah spekulasi di pasar keuangan tentu akan menciptakan keterbukaan risiko yang tinggi bagi bank dan nasabah tentunya. Jika transaksi-transaksi ini tidak diatur secara baik, akan berdampak pada krisis pada sistem pembayaran dan keuangan.
Kedua, bagi perbankan, pengawasan internal harus dilakukan baik secara formal maupun informal (intelijen) karena sebagian permasalahan pembobolan perbankan itu akibat fraud risk yaitu kejahatan penipuan yang melibatkan staf internal.
Suatu hal yang sangat berharga yang diajarkan dalam syariah economics bahwa spekulasi atau gharar sangat dilarang. Uang sebagai alat tukar harus dikembalikan pada fungsi dasarnya sedia kala. Karena itu, perilaku-perilaku yang memperjualbelikan uang (menganggap uang sebagai komoditas) pada akhirnya dapat mendorong terjadinya krisis keuangan dan krisis ekonomi. Hal itu mudah sekali dipelajari dari beberapa episode krisis yang terjadi di Eropa, Amerika Latin, dan seluruh negara di Asia.
Krisis yang terjadi itu disebabkan ulah para spekulan di pasar valas, yang pada akhirnya men-trigger terjadinya krisis perbankan, keuangan, dan ekonomi. Jika Indonesia ingin mengembalikan perekonomiannya pada keadaan yang lebih baik,tentu negara ini harus concern pada perbaikan sektor keuangan atau sektor perbankan.BI harus dapat mengembalikan fungsi bank sebagai intermediasi di sektor riil dan mengurangi setinggi mungkin transaksi-transaksi yang sifatnya spekulatif di pasar keuangan. Hal itu dilakukan sebagai bentuk antisipasi risiko seperti yang terjadi pada Bank Barings dan Bank Prancis dan antisipasi risiko ''kerugian negara". (*)


Rabu, Februari 20, 2008

Revisi Target Ekonomi, Sisi Kebodohan atau Sebuah Imajinasi?

courtesy AEY
Kenapa si pemerintah selalu bersikap inkonsistensi, heran deh, banyak profesor, praktisi, analis bermodal program software komputer yang demikian yahud dan update, sampai pada banyaknya biaya untuk menyelesaikan sebuah penelitian ekonomi. Namun kok ya hasilnya selalu seperti itu, berubah terus setiap waktu, bikin pusing kolega saja.
Itulah satu di antara keluhan yang disampaikan seorang teman tentang kondisi sikap pemerintah tentang pengambilan kebijakan dan keputusan di sektor ekonomi. Bukan hanya sekali saja pemerintah melakukan ini, namun itu tidak membuat jera kalangan esekutif dan tetap tidak mau disalahkan dengan kondisi rakyat yang semakin sengsara.
Setelah percaya diri dengan target dan asumsi yang dibuat dalam RAPBN 2008, pemerintah akhirnya merevisi target ekonomi 2008. Target pertumbuhan ekonomi diturunkan dari semula 6,8% menjadi 6,4%. Perubahan ini juga terjadi pada inflasi yang diubah menjadi 6,5% (semula 6,0%), nilai tukar rupiah dari Rp9.100 menjadi Rp9.150 per dolar Amerika Serikat (AS), dan suku bunga Sertifikat Bank Indonesia (SBI) tetap pada angka 7,5%. Berikutnya, harga minyak dipatok menjadi USD83 per barel (semula USD60 per barel) dan produksi minyak diturunkan dari 1,034 juta barel per hari menjadi 910.000 barel per hari.
Perubahan yang signifikan juga terjadi pada pendapatan negara yang dinaikkan dari Rp781,4 triliun menjadi Rp839 triliun. Selanjutnya, belanja negara juga meningkat dari Rp854,6 triliun menjadi Rp926 triliun sehingga defisit APBN menjadi 2% alias Rp87 triliun dari semula Rp73,3 triliun (SINDO, 16/2). Kira-kira dampak ekonomi apa yang bakal terjadi seiring revisi asumsi dan target ekonomi tersebut?
Pertautan Ekonomi
Revisi target ekonomi yang dibuat pemerintah tampaknya diiringi kesadaran adanya pertautan yang kuat antara ekonomi domestik dengan perekonomian internasional, khususnya AS. Implikasinya, apabila ekonomi AS yang diramalkan pada 2008 ini mengalami resesi, perekonomian Indonesia juga akan terkena imbas (recoupling).
Pertautan ekonomi domestik dengan perekonomian AS ini sekurangnya dapat dijelaskan dari dua jalur. Pertama, jalur perdagangan internasional. Pasar AS saat ini menyumbang sekitar 10% total ekspor Indonesia. Apabila perekonomian AS lesu, berarti akan mengurangi jumlah ekspor Indonesia. Kedua, jalur penanaman modal asing (PMA). Walaupun tidak sebesar Jepang, sumbangan PMA dari AS terhadap ekonomi nasional cukup signifikan sehingga setiap pengurangan investasi asing (AS) akan mengurangi pertumbuhan ekonomi. Jadi, lewat dua jalur itulah resesi ekonomi AS akan berdampak terhadap ekonomi nasional.
Asumsi dan target baru yang dibuat oleh pemerintah tampaknya sebagian masih terlalu optimis, meskipun sudah jauh lebih realistis dibandingkan target terdahulu. Pertumbuhan ekonomi pada 2008 paling bagus yang akan dicapai pemerintah berada di kisaran 6,3%, bukan 6,4% seperti yang ditargetkan pemerintah. Potensi inflasinya akan mencapai angka 6,7-6,8% karena harga minyak internasional yang sulit turun dan krisis pangan yang sampai sekarang tidak sanggup ditangani pemerintah.
Adapun asumsi harga minyak sebesar USD83 per barel cukup realistis, tetapi pekerjaan rumah pemerintah adalah bagaimana caranya bisa memproduksi minyak sebesar 910.000 barel per hari. Diprediksi, pemerintah masih sulit untuk mencapai produksi tersebut mengingat beberapa kilang minyak justru mengalami penurunan, sementara kilang baru, semacam Blok Cepu, mengalami keterlambatan peningkatan produksi. Jelas ini tantangan yang tidak mudah diselesaikan pemerintah.
Penghematan dan Subsidi
Persoalan lain yang sangat krusial adalah pembengkakan defisit fiskal yang diprediksi menembus angka 2% (Rp87 triliun). Angka ini bahkan berpotensi lebih besar lagi apabila terjadi hal-hal yang luar biasa (force majeur), seperti kenaikan harga BBM di atas USD100 per barel dan bencana alam.
Pemerintah telah mengambil kebijakan penghematan untuk mencegah pendarahan fiskal tersebut, yakni dengan jalan memotong dana lembaga/ kementerian sebesar 15%. Hanya, cara ini bukannya tanpa risiko. Pemotongan anggaran belanja modal lembaga/ kementerian dipastikan akan mengurangi daya dukung belanja pemerintah (government expenditure) sebagai sumber pertumbuhan ekonomi. Jadi, di sini terdapat trade-off antara penghematan dan pertumbuhan ekonomi.
Jika penghematan yang dipilih, potensi pertumbuhan ekonomi berkurang. Sebaliknya, jika defisit fiskal dibiarkan membesar, terdapat ruang untuk mencapai pertumbuhan ekonomi, meskipun ada risiko lain. Dalam situasi yang serba dilematis tersebut, sebetulnya pemerintah tidak boleh lagi berpikir text book. Di sini, yang dibutuhkan adalah keberanian untuk mengambil kebijakan yang kurang populer dan penentuan skala prioritas. Pertama, pemerintah harus berani mengambil langkah menaikkan harga BBM seperti pada 2005, tentu dengan tetap memberikan subsidi terhadap minyak tanah.
Adapun sektor industri yang terkena dampaknya diberi kompensasi keringanan pajak (tax holiday), khususnya yang berorientasi ekspor. Kebijakan pembatasan konsumsi BBM (smart card) yang akan ditempuh pemerintah, cenderung "banci" dan sulit untuk mengontrolnya. Kedua, dana penghematan subsidi dialokasikan untuk menggenjot pembangunan sektor pertanian sebagai jalan untuk menciptakan lapangan kerja, mengurangi kemiskinan, dan mengatasi krisis pangan.
Langkah ini jauh lebih memiliki kerangka kepastian ketimbang kebijakan yang diambil saat ini. Skala prioritas untuk memilih pembangunan sektor pertanian sebagai jalan keluar atas persoalan yang mengimpit perekonomian ini bukan tanpa alasan. Elastisitas penyerapan tenaga kerja di sektor pertanian lebih besar dibandingkan sektor lain (industri/jasa), sehingga setiap investasi di sektor pertanian akan diiringi dengan penyerapan tenaga kerja yang besar.
Implikasinya, persoalan pengangguran segera lekas diatasi. Berikutnya, investasi di sektor pertanian lebih murah sekaligus memberi daya dukung terhadap kedaulatan pangan. Akhirnya, produksi sektor pertanian yang meningkat akan memberi insentif bagi sektor industri (yang berbasis komoditas sektor pertanian/ agroindustri) berkembang sehingga dapat mengisi ceruk pasar internasional yang terbentang luas. Jadi, di tengah desakan ekonomi eksternal yang kurang bagus, sebetulnya masih tersedia ruang bagi ekonomi domestik bernapas, asalkan pemerintah jeli dan berani mengambil alternatif-alternatif kebijakan.
Itu baru sisi kecil saja. Entah apalagi nanti yang akan dilakukan pemerintah di tenga kondisi yang tidak menentu seperti saat ini. Tentu sangat riskan jika sikap pemerintah saja tidak pernah stabil, bisa jadi perekonomian negara ini bakal anjlok drastis di level mikro maupun makro dalam rentang enam bulan ke depan. (*)

Mencari Figur Ideal Gubernur BI, Ribet atau Dibuat Rumit?

by noenx's
SUNGGUH menyesakkan melihat polah tingkah pemerintah beberapa hari terakhir ini. Tidak hanya di level politik, di langkah ekonomi juga terlihat jika inkonsistensi masih terus berjalan. Bahkan tak segan jajaran eksekutif negeri ini mengungkapkan sebuah kondisi yang sangat kritis dan semakin membuat ruwet. Tapi di satu sisi memang entah sengaja dibuat atau memang hanya untuk meramaikan bursa berita di kalangan kuli tinta saja, kini penunjukkan dan pemilihan bakal Gubernur Bank Indonesia menjadi isu utama yang menjadi komoditas tersendiri.
Bagaimana tidak menjadi komoditas, posisi tertinggi di jajaran perbankan nasional dan bank sentral menjadi "tujuan" para ahli ekonomi, bankir, pengusaha dan praktisi hukum ekonomi. Posisinya jelas sangat strategis sebagai "penguasa" penuh kondisi pasar mikro maupun makro. Satu keputusan, seperti halnya presiden, bakal berpengaruh terhadap kondisi pasar regional. Mata uang kita pun menjadi jaminan pergerakan utama di segi kebijakan dan keputusan. Salah melangkah, bakal memburamkan iklim ekonomi, namun sebaliknya, kestabilan dan peningkatan kinerja perekonomian bakal membawa pimpinan BI ke titik mengharumkan. Intinya, inilah saat yang tepat untuk menunjukkan eksistensi diri.
Nah kini tidak berlebihan jika banyak kalangan menyebut Burhanuddin Abdullah, Gubernur Bank Indonesia (BI) yang sebentar lagi berakhir masa jabatannya,sebagai ekonom dengan orientasi nasionalisme ekonomi yang kuat.
Tidak jarang muncul pemikiran segar dari tokoh yang juga menjabat Ketua Umum Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI) ini. Ketika banyak orang menyebut krisis ekonomi telah berlalu, Burhanuddin mengatakan sebaliknya karena selama sektor riil belum bergerak, BI masih menanggung biaya besar dalam bentuk pembayaran bunga untuk dana-dana antara independensi BI dengan tanggung jawab dan akuntabilitas publik yang transparan juga berusaha dilakukan secara serius.
Kritik memang tetap saja ada. Bagi sejumlah kalangan, BI dianggap seperti tak mau tahu terhadap kecenderungan dominasi kepemilikan asing di sektor perbankan, yang dikhawatirkan berbahaya jika tidak segera dikoreksi. Kritik paling santer tentu saja terkait dengan begitu besarnya kepentingan BI dalam mengamankan pasal-pasal penting yang terkait dengan hak pengawasan terhadap sektor jasa keuangan. yang menumpuk pada Sertifikat Bank Indonesia (SBI).
Bila krisis 1997/1998 disadari semua orang, krisis belum bergeraknya sektor riil secara normal lebih berbahaya karena tidak banyak orang yang menyadarinya. Dalam beberapa kesempatan Burhanuddin juga menyampaikan penilaian tentang pertumbuhan ekonomi yang tidak disertai dengan peningkatan kualitas di dalam mengurangi tingkat pengangguran dan kemiskinan.
Juga tentang terjadinya fenomena trickleup economy (penghisapan ke atas) dan a race to the bottom (perlombaan menuju keterpurukan) dalam pembangunan nasional. Kendati wilayah kerjanya berada di sektor moneter, pandangan-pandangan Burhanuddin terlihat condong ke pendekatan struktural. Harus diakui, Burhanuddin cukup berhasil mengawal Bank Indonesia dalam mencapai tujuannya, yaitu mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah (Pasal 7 UU No 3/2004).
Selama masa jabatannya, sejumlah indikator moneter seperti tingkat inflasi, laju kredit, dan nilai tukar juga terjaga baik. Upaya penerapan keseimbangan Sebagaimana kita ketahui, lembaga pengawasan sektor jasa keuangan yang semula diharapkan dilaksanakan selambat-lambatnya 31 Desember 2002 (Pasal 34 UU No 23/1999) telah digeser menjadi 31 Desember 2010 (Pasal 34 UU No 3/2004).
Tantangan ke depan yang dihadapi BI akan semakin berat. Dalam konteks internasional, upaya menegaskan arti penting kebutuhan arsitektur keuangan global yang baru, yang lebih adil dalam mengakomodasi kepentingan negara-negara sedang berkembang, harus ikut disuarakan Indonesia. Lingkungan ekonomi dunia juga diduga lebih bergejolak karena tarik-menarik antarberbagai kekuatan ekonomi, khususnya kekuatan-kekuatan Amerika Serikat, Eropa, Jepang, dan pendatang baru BRIC (Brasil, Rusia, India, dan China), akan semakin kentara.
Perebutan akses terhadap sumber-sumber energi dan persediaan pangan antarnegara juga semakin seru. Dalam konteks nasional, upaya untuk menggenjot sektor riil tetap menjadi prioritas. Arsitektur keuangan Indonesia lebih didominasi peran lembaga perbankan. Karena itu, fungsi intermediasi perbankan harus dapat dijalankan secara maksimal. Penguatan struktur industri perbankan juga harus terus dilakukan agar efisiensi perbankan nasional semakin tinggi mengingat sampai sekarang margin bunga bersih (nett-interest margin) perbankan pada 2007 mencapai 5,7 persen.
Ini merupakan yang tertinggi di dunia. Selain itu, ancaman over-supply kredit sektor properti komersial juga harus diantisipasi lebih dini. Seyogianya, perdebatan soal figur calon Gubernur BI dilakukan setelah diperoleh pemahaman yang jelas terhadap tantangan tugas ke depan, artikulasi kepentingan Indonesia dalam konteks regional dan internasional serta kriteria kompetensi calon yang diharapkan. Kalau tidak, kita akan repot karena siapa pun calon yang diajukan pasti memiliki kekurangan.
Suara yang menyatakan calon bersangkutan tepat akan sama kuat dengan suara yang menyatakan calon tersebut kurang memadai. Jabatan Gubernur BI adalah jabatan yang bergengsi, yang dalam pergaulan antarbangsa atau dalam forum internasional mencerminkan national standing kita sebagai kekuatan ekonomi baru. Gubernur BI adalah figur yang mampu menerjemahkan national interest (kepentingan nasional) di tengah-tengah arsitektur keuangan global yang sedang mencari bentuk baru.
Terlalu mahal apabila untuk jabatan lembaga negara sepenting jabatan Gubernur BI kita tak mampu duduk bersama mengembangkan politik kebangsaan. Ini bukan tarik-menarik kepentingan antarpartai, melainkan sebuah pertaruhan dalam upaya persiapan bersama menjadi sebuah bangsa yang besar di masa depan. (*) (foto. www.google.com)

Selasa, Februari 19, 2008

Smart Card, BBM, dan NIK, Sebuah Terobosan ataukah Penjerumusan?

Courtesy by WM
DI awal tahun 2008 ini, beberapa tindakan pemerintah memang sangat amat perlu diperhatikan. Bagaimana tidak, mulai dari isu ketahanan dan pertahanan sampai ekonomi menjadi santapan tiada henti. Semuanya serba krusial dan menjanjikan sebuah arah ke positif, yang progressnya justru semakin negatif.
Hampir semua terobosan yang dibuat pemerintah seperti tiada artinya. Benturan kepentingan sepertinya tidak bias terlelakkan dan ironisnya justri tidak bias dipecahkan oleh orang yang duduk di pemerintahan itu sendiri. Akibatnya, kembali rakyat dan masyarakat luas menjadi korban “kebiadaban” ketidakjelasan langkah mereka.
Pemerintah kembali bimbang menghadapi kenaikan harga BBM dunia. Alih-alih mencari solusi yang bisa menyelesaikan masalah secara komprehensif, yang dilakukan malah membuat kebijakan smart card -penjatahan konsumsi BBM untuk jenis-jenis kendaraan tertentu dengan kartu pintar (smart card) sebagai pengendali- yang rawan korupsi. Pemerintah, misalnya, akan mengharuskan kendaraan pribadi di atas 2000 cc untuk memakai Pertamax.
Adapun kendaraan pribadi kurang dari 2000 cc akan dijatah bahan bakarnya dengan jumlah tertentu. Kendaraan umum dan angkutan barang juga akan diatur berapa BBM yang mesti dikonsumsi. Bagaimana pemerintah bisa mengontrol mobil-mobil pribadi yang membeli premium berkali-kali di berbagai pompa bensin full tankuntuk dijual lagi ke pemilik mobil-mobil 2000 cc ke atas? Jika setiap pembeli premium di pompa bensin diperiksa STNK dan kartu penduduknya, betapa bertele-telenya proses pembelian bahan bakar tersebut. Niscaya akan timbul ketegangan antarpembawa mobil karena kemacetan dan antre di setiap bom bensin.
Walhasil, kebijakan smart card ini akan memicu munculnya berbagai modus penipuan pembelian BBM. Betapa tidak, kartu kredit dari berbagai bank dan issuer yang memakai teknologi networking modern saja banyak yang dipalsukan, apalagi smart card bikinan Pertamina, sebuah institusi yang dari dulu terkenal dengan megakorupsinya.
Belajar dari Inggris
Sejak melambungnya harga BBM 1998, Inggris juga punya rencana membuat semacam smart card, untuk mengatur subsidi kepada rakyatnya yang tergolong menderita fuel poverty.
Pertama, pemerintah mendefinisikan apa itu fuel poverty. Fuel poverty adalah sebuah rumah tangga yang lebih dari sepertiga pendapatannya terpakai untuk membeli bahan bakar (untuk listrik, masak, dan penghangat rumah di musim dingin, dan lain-lain). Mereka inilah yang perlu disubsidi.
Tetapi kemudian berbagai persoalan muncul, benarkah orang yang lebih dari sepertiga pendapatannya terpakai untuk membeli BBM (membayar semua kebutuhan listriknya) adalah orang yang butuh subsidi? Lalu, betulkah orang dengan kebutuhan BBM kurang dari sepertiga dari income-nya tidak butuh subsidi? Setelah diteliti, permasalahannya sangat kompleks. Penelitian East Anglia University, misalnya, menemukan ternyata banyak keluarga yang tidak merasa miskin dan tidak butuh subsidi, meski kebutuhan BBM-nya lebih dari sepertiga income-nya.
Sebaliknya, banyak pula keluarga yang kebutuhan BBM-nya kurang dari sepertiga incomenya merasa miskin dan butuh subsidi. Masalahnya lebih kompleks lagi ketika menghitung siapa saja yang berhak mendapatkan subsidi? Rumah tangga yang jumlah keluarganya besar, rumah tangga pensiun, janda, dan lainlain. Pendeknya, banyak sekali variabel untuk menentukan siapa-siapa saja yang bisa mendapatkan subsidi. Akibat kompleksnya masalah, Pemerintah Inggris terus melakukan penelitian intensif dan berharap pada 2016 keputusan yang tepat bisa diambil dan subsidi BBM yang tepat sasaran bisa terlaksana di seluruh Inggris.
Bayangkan, sejak punya rencana memberikan subsidi harga BBM kepada masyarakat, pemerintah membutuhkan waktu 18 tahun untuk mengatur kriteria-kriteria yang pas agar subsidi itu tidak meleset, mengatur infrastruktur, dan mencegah berbagai kemungkinan penyelewengannya dengan segala macam aturan dan ancaman-ancaman hukuman bagi pelanggarnya.
Berbagai lembaga penelitian, pemerintah swasta, dan perguruan tinggi pun dikerahkan untuk menelitinya. Semua itu agar subsidi harga BBM tidak salah arah. Apa yang bisa kita petik dari kasus "smart card" di Inggris itu? Pemerintah betul-betul merencanakannya dengan matang, dari awal sampai akhir sekaligus dengan segala kemungkinan-kemungkinannya. Itu terjadi di Inggris, di negeri dengan jumlah penduduk sekitar seperempat penduduk Indonesia dan sebagian besar dari mereka tinggal di mainland.
Bayangkan bila kejadiannya di Indonesia yang berpenduduk lebih dari 220 juta dan tersebar di ribuan pulau besar dan kecil yang kadang amat terpencil. Siapa pun akan menyatakan susah sekali mendata problem BBM terhadap penduduk yang sebarannya amat luas itu. Tapi apa lacur. Bagi Departemen ESDM, hal itu tampaknya tidak ada masalah. Para petinggi di Pertamina dan Departemen ESDM mungkin masih terpesona dengan keajaiban Loro Jonggrang yang bisa membangun candi Prambanan hanya semalam. Bayangkan, gagasan membuat smart card untuk mengatasi besarnya subsidi BBM baru digaungkan beberapa hari lalu dan pemerintah akan menerapkannya pada tahun ini juga.
Hebat bukan? Karena itu, hampir dapat dipastikan, kebijakan smart card akan bernasib sama-bahkan lebih kacau dan memilukan- dibanding kebijakan Pemda DKI (Perda Antirokok), juga bantuan langsung tunai (BLT), pengawasan melekat (waskat) untuk mengatasi korupsi, dan lain-lain. Semuanya hanya berlangsung seumur jagung dan menjadi kebijakan "3M": menggagas, melaksanakan, dan menghilang.

Menyiapkan Nomor Induk Kependudukan (NIK)
Negeri semaju Inggris, yang nomor induk kependudukannya sudah tertata rapi saja butuh waktu belasan tahun untuk merencanakan, melaksanakan, dan mengawasi program subsidi BBM rumah tangga, Indonesia sebaliknya. Negeri yang penduduknya bisa mempunyai kartu tanda penduduk (KTP) empat buah di satu kecamatan ini berlagak bisa membuat smart card untuk mengatur pembelian bensin subsidi hanya dalam beberapa bulan.
Siapa pun pasti ragu. Pemerintah mestinya jauh hari sudah membuat NIK, sebagai infrastruktur awal untuk melaksanakan berbagai program subsidi tersebut. NIK ini penting sekali sebagai basis data awal untuk merencanakan setiap program pemerintah dalam mengatasi berbagai masalah seperti kemiskinan pangan, kemiskinan energi, kemiskinan biaya pendidikan, kesehatan, dan lain-lain. Tanpa NIK semuanya akan gelap. Tapi apa yang terjadi? Sampai hari ini proyek NIK terkatung- katung. Setiap instansi pemerintah merasa berhak membuat NIK. Ditjen Pajak merasa paling berhak mendapat proyek NIK.
Depdagri juga merasa proyek NIK adalah miliknya. Kementrian Negara Pendayagunaan Aparatur Negara (PAN) juga merasa paling berhak membuat NIK. Proyek NIK jadi rebutan. Mereka berebut NIK bukan karena ingin menjadi pahlawan untuk membenahi basis data kependudukan negeri ini, tapi sekadar mencari rente dari proyek NIK yang biayanya amat mahal tersebut.
Akibat tiadanya NIK ini hampir setiap program pemerintah untuk menaikkan kesejahteraan masyarakat terbengkalai. Program subsidi pupuk digelapkan. Program BLT tidak tepat sasaran. Program BBM subsidi diselundupkan ke luar negeri. Tragisnya, dari berbagai kekacauan ini pemerintah tampaknya tak mau belajar. Kebijakan kebijakan instan model Loro Jonggrang masih terus saja dilakukan. Jadilah energi bangsa ini habis. Celakanya, dalam kasus smart cardini Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral yang seharusnya mengelola energi untuk menyejahterakan rakyat, malah menguras energi dan memperdagangkannya untuk mencekik rakyat. (*)

Senin, Februari 18, 2008

Arti Penting Vitcabamba dan Machu Picchu

By noenx’s
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
BAGI orang yang mungkin tidak pernah belajar sejarah ataupun ilmu arkeologis, kata Machu Picchu mungkin terasa sangat asing di telinga. Bagaimana tidak, istilah tersebut memang sempat terkubur selama ratusan tahun dan tidak semua oarang mampu mengingatnya karena terbatasnya akses untuk ke sana.
Namun mungkin ingatan orang atau pengetahuan orang akan sedikit berubaha tatkala menyebut istilah Vitcabamba. Meski masih agak aneh, namun tetap saja kata yang merujuk pada sebuah tempat itu lebih familiar dan mudah untuk dicari di dunia maya dari pada unsur yang pertama, sebuah literatur yang masih sulit untuk digapai.
Saat menghubungkan antara Machu Picchu dan Vitcabamba, tentu orang bakal lebih menaikkan alisnya, baik dikatupkan tepat di atas tulang hidung ataupun justru menaikkan satu alis matanya. Yang jelas, kedua unsur tersebut memang memiliki kedekatan sangat erat, layaknya kisah tokoh Noah dan Allie di film the Notebook ataupun pameo Romeo and Juliet yang sangat terkenal itu.
Di antara gabungan dua kata tersebut, jika Anda belum juga ingat, tentu akan menyembul sebuah bagian kerucut bernama Inca. Jika tidak juga tahu, sepertinya Anda harus segera mem-browsingnya di search engine Yahoo! Ataupun Altavista sekalipun.
Yup, sejarah Inca memang sangat luar biasa. Bahkan menjadi bagian dari dunia yang tak pernah terpisahkan. Bahkan kalau diingat, saat kurikulum 1994 diberlakukan bagi sistem pendidikan di Indonesia, Inca mendapat prioritas terbesar dalam pelajaran Sejarah.
Sekedar flash back, Peru, untuk berabad-abad merupakan tempat peradaban tertinggi Andes. Di sinilah raja matahari Inca menguasai kerajaan mahabesar terbentang 2000 mil sepanjang pegunungan Amerika Selatan.
Pada tahun 1532 kerajaan tersebut dirusak dengan tragis oleh bangsa Spanyol. Sewaktu dunia mereka diremah-remah, bangsawan Inca mengasingkan diri ke hutan yang tersembunyi di pegunungan yang tak dapat dicapai.
Di tempat itulah mereka bertahan untuk tetap menghidupkan budaya kota terakhir Inca: Vilcabamba. Beruntung ada seseorang yang memiliki kemauan besar untuk mencari kunci dari ketersembunyian kerajaan terbesar yang pernah ada di muka bumi ini.
Berlatar belakang pencarian Vitcabamba tahun 1911, seorang pelajar muda Hiram Bingham mendapati satu dari penemuan arkeologis ternama di abad ini yakni reruntuhan terindah Machu Picchu yang pada akhirnya mampu menyingkap keagungan kebudayaan dan pesona Inca ke seluruh dunia. Jika Anda belum mengerti juga berarti memang harus rajin-rajin untuk berselancar guna melihat pelbagia panorama indah masa lalu, yang kini bahkan beberapa di antaranya telah lenyap.
Sebenarnya tidak ada koherensi apapun latar di atas dengan penuturan kali ini. Namun satu catatan penting adalah sebesar apapun sebuah kekuasaan, sehebat apapun orang pada saat itu, dan segemerlap apapun dunianya saat itu, percayalah jika suatu saat nanti bakal tenggelam dan hilang untuk kemudian hanya menjadi bagian dari sejarah, itupun kalau ditemukan oleh generasi yang peduli dengan sejarah itu sendiri. Jika tidak tentu alamat nama tak terkenang, jasa tak berbekas, sejarahpun bagai asap belaka.
Bukan menjadi pesan, namun hanya sebagai ingatan jika apa yang dilakukan sekarang jelas memiliki sumbangsih besar pada saat yang akan datang. Jika tidak benar-benar berada di rel yang benar, jangan harap output dari itu semua dalam jangka waktu panjang bakal berakhir dengan rel yang baik. Pasalnya kerikil, kerusakan besi sampai pembangunan jalan mungkin saja bakal menghapuskan jejak rel yang sebenarnya akan dilewati kereta masa lalu. Akibatnya?kebingungan, hedonisme, kenangan kejayaan masa lalu dan antipati bakal menjadi bumerang tersendiri.
Apa yang tercermin dari itu jelas memiliki arti mendalam. Pernah melihat adegan dalam monolog Sarimin-nya Butet Kartarejasa?jika iya, potret kehidupan pada sisi aparat yang sepertinya itulah yang membuat tidak hanya aparat saja yang keparat, namun masyarakatnya juga bisa lebih hebat dari itu, jadi seorang bangsat. Keras dan kasar?tentu tidak untuk istilah guna menggambarkan kondisi saat ini.
Sebuah kondisi yang sangat terpuruk, lebih terpuruk dari apa yang terjadi di zaman orde baru , sebuah zaman yang dikabarkan bakal memberikan penderitaan kepada banyak orang. Namun apa realitasnya kini?catatan pertama tentu kondisi perekonomian, baik mikro maupun makro. Tidak hanya daya beli masyarakat yang rendah, tingkat ketersediaan lapangan kerja juga sangat rendah, diperparah lagi dengan laju inflasi yang terkadang membuat pemerintah panik akibat adanya gejolak alias fluktuatif harga yang tidak menentu. Pemerintah tak berdaya, rakyat menderita, pelaksana semakin berbahagia. Lho?ya jelas, karena justru terkadang aparat atau pelaksana itulah yang mensetting ini semua supaya mendapatkan keuntungan yang luar biasa di tengah terjangan penderitaan masyarakat luas. Semakin sedih tatkala harus terus melihat nilai tukar rupiah-nya Merah Putih ini tetap saja tidak pernah berdaya.
Jangankan untuk menjadi pedoman di bagian Asia Tenggara, bisa stabil dan tidak terpengaruh kondisi eksternal saja sudah menjadi prestasi yang sangat luar biasa. Namun sayang ekspektasi seperti itu tak pernah terwujud. Yang ada hanya saling cuek. Masyarakat sudah tidak punya waktu lagi untuk mengurusi hal lain di tengah balutan kemiskinan dan ketidakberdayaan mengais rejeki. Jangan lihat di daerah, di ibukota saja sudah jamak terlihat bergelimpangannya para pengemis,pengamen bahkan tukang ojek yang rela berpisah dari keluarga dan tiduran di emperan toko hanya untuk menanti esok yang juga belum tentu pasti untuk mereka. Di balik awan sana, di tempat yang tidak mungkin terjangkau mereka, semakin banyak orang yang memanfaatkan kegetiran orang lain untuk mengambil sari madu demi ecapan rasa manis diri mereka sendiri. Pemerintah yang bego, masyarakat yang bodoh, pejabat yang tak berpendidikan atau masyarakat yang tak mau sekolah?
Entahlah, yang jelas pemerintah telah membuat sebuah program nyata di level tingkat pertumbuhan ekonomi yang tahun lalu berada di angka 6,02 kini berani mematok angka tujuh persen, sebuah target yang ternyata tidak begitu lama langsung dikebiri sendiri dengan merubah susunan APBN. Sebuah inkonsistensi dan penerawangan yang tak pernah berhasil, selalu berganti dan membuat bingung orang-orang di sekitarnya. Masih beginikah kinerja dan kerja para lulusan S3 Havard, Oxford, Michigan State University, UBM, UI, ITB, IPB?sungguh menyesakkan mengingat sebenarnya yang rakyat inginkan teramat sangat sederhana, mereka cukup makan, cukup uang untuk biaya anak-anak mereka sekolah dan cukup waktu untuk menentukan masa depan yang membentang. Kondisi kini?tak jauh beda dengan 1965, hanya beda dimensinya. Bagaimana pemerintah?masihkah kau tak bisa bergerak lincah?atau menunggu hujatan dari kalangan mahasiswa yang nyata-nyata ditunggangi oknum tertentu?hanya Anda yang bisa merasakan dan memilih tuan-tuan, puan-puan, cik, pakdhe, cak, mpok, akang dan abang yang ada di jajaran plat merah sana. (foto.www.google.com)


BI dan Buah Simalakama

courtesy YH
Dalam budaya Indonesia dikenal pepatah "bagai makan buah simalakama, dimakan ibu mati tak dimakan bapak mati". Buah ini hanya ada dalam peribahasa atau khayalan dan tidak ada dalam dunia nyata. Peribahasa ini menunjukkan keadaan yang serbasalah. Pepatah ini digunakan untuk menunjukkan orang yang sedang menghadapi dua pilihan yang sulit.
Apa pun yang dipilih akan menyebabkan akibat buruk. Inilah situasi yang sering kita hadapi dalam kehidupan sehari-hari. Tetapi tampaknya buah simalakama yang dihadapi Bank Indonesia (BI) sangat berat, karena konsekuensinya sangat berat, yaitu ditetapkannya Gubernur BI dan pejabat BI sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam kasus tindak pidana korupsi karena "aliran dana BI ke Dewan Perwakilan Rakyat dan penegak hukum".

Keadaan Melahirkan Buah Simalakama
Situasi buah simalakama ini tidak terlepas dari kualitas mental birokrasi, aparatur penegak hukum atau pejabat publik dan sistem birokrasi di Indonesia. Sebagaimana sudah diketahui, Transparency International yang menerbitkan perception corruptin index menilai lembaga penegak hukum dan parlemen sebagai lembaga yang belum bersih dari praktek korupsi.
Keadaan "mental bobrok dan sistem yang jelek" menimbulkan keadaan serbasalah, bagaikan memakan buah simalakama. Urusan akan selesai dengan baik kalau ada biaya yang dikeluarkan. Biaya ini adalah biaya tidak resmi yang kadang jumlahnya relatif besar. Beberapa tahun lalu, situasi "buah simalakama" ini dihadapi oleh Bank Indonesia (BI) ketika harus berurusan dengan DPR dalam rangka mengamankan beberapa kepentingan seperti perubahan UU Bank Indonesia.
Situasi serupa juga dihadapi BI ketika harus berurusan dengan kejaksaan dan pengadilan karena ada kebijakannya yang dipermasalahkan dan pejabatnya menjalani proses peradilan pidana. Masalahnya, kalau BI tidak mengeluarkan biaya, urusan tidak selesai atau tertunda di DPR. Untuk penegakan hukum, kalau biaya tidak dikeluarkan dapat dituntut berat, disalahkan, serta dihukum berat oleh pengadilan. Sebaliknya, kalau dikeluarkan biaya, pengeluaran biaya ini sulit dipertanggungjawabkan dan dapat dipersalahkan secara hukum. Dalam kasus "aliran dana BI", BI memilih mengeluarkan biaya untuk mempertahankan kepentingannya dan membantu pejabat atau pegawainya yang mengalami proses peradilan. Kasus inilah yang sedang diperiksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Mirip Kasus Tintin Surtini
Situasi bagai makan buah simalakama ini sering dihadapi semua orang, termasuk dihadapi oleh notaris bernama Tintin Surtini yang menjadi saksi kasus korupsi penjualan aset PT Sandang Nusantara Cipadung, Bandung, sekitar dua tahun silam. Tintin yang menangani penjualan aset PT Industri Sandang menjadi korban pemerasan karena diminta oleh penyidik KPK Suparman untuk menyediakan uang sekitar empat ratus juta rupiah, beberapa handphone, dan lain-lain.
Aksi sang penyidik terbongkar atas kerja sama notaris Tintin dengan KPK. Akhirnya, sang penyidik dihukum delapan tahun penjara serta denda 200 juta rupiah atau hukuman pengganti enam bulan penjara oleh Mahkamah Agung (MA). Posisi yang dihadapi BI mirip dengan yang dihadapi Tintin, yaitu sebagai korban yang diminta menyediakan uang. Hanya saja, Tintin melaporkan kasus permintaan uang yang dialami, sedangkan BI tidak melaporkannya.
Kasus BI justru dilaporkan oleh Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Anwar Nasution yang berkirim surat kepada KPK. Melihat kemiripan kasus Tintin dengan kasus aliran dana BI, apakah KPK tidak sebaiknya juga menghadapi kasus aliran dana BI dengan sikap yang sama ketika menyelesaikan kasus Titin?
Kekuasaan dan Keadilan
Beberapa waktu lalu, terpidana ECW Neloe, mantan Direktur Utama Bank Mandiri, dalam acara Kick Andy di Metro-TV membuat pernyataan menarik. Dia berujar, "Orang yang tertangkap adalah orang yang tidak punya kekuatan". Bahkan pernyataan lain menyebutkan, "Yang tidak tertangkap sebenarnya lebih banyak dari yang tertangkap". Pernyataan ECW Neloe itu sangat relevan dengan kasus aliran dana BI yang tengah disidik KPK.
Menurut pendapat banyak orang, dalam kasus aliran dana BI masih banyak orang yang seharusnya menjadi tersangka, tetapi belum menjadi tersangka. Mungkin mereka punya kekuasaan atau dekat dengan kekuasaan atau karena alat bukti yang masih kurang. Kalau yang menjadi tersangka hanya orang yang berasal dari BI, hal ini sungguh bertolak belakang dengan hasil survei Transparency International di atas. Penulis yakin KPK akan bergerak ke arah sana karena itulah sikap yang adil dan benar. Dengan alat bukti berdasarkan UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang lebih banyak dan lebih luas dibandingkan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, peralatan canggih, integritas yang baik dan kompetensi yang memadai, penulis yakin KPK dapat menyelesaikan kasus ini dengan adil dan sebaik-baiknya.
Mencegah Korban Berikutnya
Keadaan bagai "makan buah simalakama" mungkin sekali akan memakan korban berikutnya. Prof Robert Klitgaard seorang guru besar sekaligus alumnus Harvard University dalam ceramahnya di Denpasar di sela-sela United Nations Convention against Corruption baru-baru ini menekankan perlunya mengarahkan pemberantasan korupsi pada perbaikan system tanpa mengabaikan "frying big fish", yaitu menindak korupsi yang besar.
Untuk memperbaiki sistem, dalam bukunya yang sudah diterjemahkan, Membasmi Korupsi(2001), Klitgaard menyarankan untuk memperbaiki sistem penerimaan pegawai, mengubah sistem stick and carrot (imbalan dan hukuman), mengubah struktur hubungan atasan dan bawahan, serta hubungan dengan klien, mengubah sikap terhadap korupsi (korupsi itu salah), serta selalu mengumpulkan dan menganalisis informasi tentang korupsi untuk penindakan. Karena itu, untuk mencegah terulangnya kasus korupsi yang dapat memakan banyak korban yang tidak perlu, kebijakan pencegahan korupsi harus lebih digiatkan, tanpa mengabaikan upaya penegakan yang konsisten dan adil terhadap greedy corruption (korupsi karena kerakusan).

Dr Yunus Husein
Ketua PPATK

Minggu, Februari 17, 2008

(Sekali Lagi) Pemerintah Dimana Urat Malumu

by noenx's
ENTAH apa yang tengah terlintas di benak para pemimpin pengambil kebijakan di negeri ini. Sekali lagi dalam lingkup ekonomi, faktor yang sangat fundamental dalam kehidupan bernegara, pemerintah justru menonjolkan inkonsistensi yang sangat merugikan diri sendiri dan juga orang di luar sana.
Malah bisa dikatakan korps plat merah tersebut telah mempermainkan sebuah kebijakan yang sebenarnya sangat membantu masyarakat luas, yang saat ini jelas-jelas tengah dirundung masalah besar di sektor mikro. Persoalan yang dibahaa seolah tak pernah kunjung selesai. Tarik menarik kepentingan di lingkar utama ternyata mampu membuat sebuah keputusan penting menjadi berlarut-larut, bahkan tidak tahu kapan juntrungannya bisa berakhir.
Tidak perlu membahas tentang aturan terbaru, yang jelas bakal memakan waktu lebih lama, namun lihat saja perlakuan pemerintah terhadap kebijakan pengembangan dan pembuatan 10 kawasan ekonomi khusus terbaru. Jangankan terintegrasi dengan sistem National Single Window yang juga jalan di tempat, sekedar mengaplikasikan di lapangan saja untuk menyenangkan hati rakyat kecil, sama sekali dilupakan pemerintah. Sekali lagi, sepertinya pemerintah memang tidak memiliki urat malu (atau mungkin uratnya sudah terputus jadi tahan getir?).
“Keajaiban” terlaksananya kebijakan ekonomi yang sangat penting tersebut memang sangat mengemuka. Bagaimana tidak, kabar terakhir bagi sang pilot project kawasan segitiga Batam, Bintan dan Karimun (BBK), justru nasib Dewan Nasional tidak lagi menggelembung. Semuanya nyaris tenggelam di tengah deru pejabat di lingkup departemen terkait sudah mulai disedot untuk menjalankan roda politik. Tak heran jika saat ini dilingkup pemerintah pusat tiada hari tanpa penggantian pejabat yang sekiranya bisa membantu di pemilu 2009 nanti.
Sungguh langkah yang sangat ironis mengingat tahun ini pemerintah menargetkan sebuah tingkat pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi, kalau bisa di atas 7 persen dengan perubahan APBN yang memang cukup signifikan.
Lalu bagaimana nasih Denas itu sendiri?menurut sumber di Kementrian Koordinator Perekonomian, justru Denas dan DK nasibnya bakal seperti FTZ Batam di masa lalu. Bukan langsung ditiadakan, namun prosesnya sengaja diperlambat sehingga ketidakjelasa bakal terus terjadi. Tujuannya hanya satu, meminta dukungan pada musim 2009 mendatang, entah itu dari kubu SBY, JK ataupun yang lain. Yang jelas, kebijakan itu akan menjadi sebuah tekanan tersendiri guna merengkuh kemenangan. Benar-benar sebuah cara yang hanya ada di zaman kolonialisme saja. Namun memang di satu sisi hal itu semakin memperjelas jika saat ini sudah eranya penjajahan ekonomi, bukan lagi di setor fisik. Tapi ya berdoa dan berusaha itu tetap haru dilakukan, hitung-hitungannya investasi lebih dari Rp17,1 triliun yang sudah ditandatangani di wilayah BBK bisa saja menguap jika tak ada kejelasan. Begitupun dengan kawasan lain di Indonesia. Semoga urat malu pemerintah tidak hilang, hanya dihilangkan untuk sementara saja. (foto.www.google.com)