Kamis, Januari 31, 2008

Pemerintah, Di Mana Urat Malumu?

By.noenx’s
SORE kemarin (Anda pasti sudah menduga kapannya dong), baru saja merasakan nikmatnya duduk bersandar di kursi kantor. Hirupan angin sepoi dari mesin pendingin udara yang tepat berada di samping atas kepala langsung menerpa kesejukan, mengirimkan ketenangan untuk sejenak rehat sebelum mulai berdansa dengan “jeruji” keyboard yang semakin lama kok ya semakin lusuh. Udara Jakarta yang panas menyengat seolah tak lagi terasa, yang ada hanyalah pengeringan keringat, alias kristalisasi butiran air dari dalam tubuh, mengambil apa yang diungkapkan bintan lawak nasional Tukul.
Namun sayang, kenikmatan itu langsung mendadak buyar. Deringan sms yang “melafalkan: lagu Pandangan Pertama-nya Slank feat Nirina Zubir, langsung menyentakkan lamunan. Refleks, jari langsung seketika memungut ponsel yang sudah dua tahun ini selalu menyertai. Meskipun dibilang jadul, namun ponsel ini memiliki memori indah yang tak pernah terlupakan tentunya.
Kembali ke masalah sms, langsung saja kubuka. Hebatnya, tidak hanya satu kali saja si pengirim ‘meniupkan’ ketikan hurufnya ke ponsel. Nyaris lima kali kiriman berhasil masuk. Kok nyaris?karena dalam kiriman yang kelima, kalimat yang diterima kurang lengkap dan sepertinya si pengirim kehabisan baterai ponselnya sehingga tak bisa lagi secara lengkap mengirimkan apa yang menjadi tujuannya.
Namun itu bukan menjadi perkara. Pasalnya, di setiap tabiat orang saat mengirim sms, hal pertama yang dikirim sebagian besar bergenre lebih penting. Kategori ini berlaku dimanapun saja, tidak peduli itu orang tua, muda, anak-anak bahkan sampai artis dan pejabat sekalipun.
Tanpa menggubris tabiat itu, baru berada di kalimat pertama langsung terlihat jelas arah perhatian si pengirim, yang ternyata teman lama di sebuah lembaga ekonomi dan investasi Singapura.
Inti dari paket mengejutkan itu adalah memberikan sinyalemen positif bagi perkembangan investasi dan perekonomian di Indonesia, khususnya segitiga Batam, Bintan dan Karimun (BBK). Bahkan si empunya pengirim menjanjikan dan berkomitmen untuk terus mendukung segala macam tindakan yang perlu dilakukan guna mempercepat kelajuan dan keterlajuan kawasan tersebut menjadi sebuah high rea economic area tak Cuma sekedar sebuah impian belaka.
Selepas membaca kalimat terakhir dari untaian itu, lalu pertanyaan yang timbul kenapa kok bisa kayak gitu ya?tanpa tersadar jawaban itu langsung terbuka. Keseriusan campur ketegangan pun seolah memang sengaja disimpan oleh si pengirim. Tanpa dinyana, ia pun menjelaskan jika apa yang diungkapkannya tersebut menjadi sebuah impian yang ingin secepatnya terealisair dengan baik dan level tertinggi.
Barulah tersadarkan apa yang dimaksudkannya. Tanpa lebih banyak lagi membaca ada apa dengan sms selanjutnya, pikiran logis pun langsung berada di angan-angan. Mencoba terus berpikir sebuah titik awal guna menemukan apa yang tersirat, langsung termaktub sebuah langkah yang selama ini diambil kalangan birokrat di level pemerintah pusat. Meskipun daerah tetap mengambil peranan penting, namun tetap saja sistem pemerintahan Indonesia masih menganut azas nuwun sewu yang tiada habisnya. Tak heran jika kendali di era otonomi masih terkekang di level pemerintah pusat. Sangat aneh tentunya di tengah kampanye keterbukaan justru kebijakan di sektor investasi dan perekonomian malah masih ditentukan pemerintah pusat yang notabene saat ini malah berada di jurang terdalam perlambatan pertumbuhan daerah.
Bagi BBK, status kawasan perdagangan bebas dan pelabuhan bebas sebenarnya sudah bukan barang baru dan asing lagi bagi pelaku usaha dan masyarakat di sana. Namun, ini adalah euforia baru yang membuat pada awalnya, semua pihak berseru senang, bersuka cita tanpa melihat terlebih dulu persiapan dan koridor apa yang akan diperbuat pemerintah.
Satu tahun berlalu, dua tahun mendekati. Saat ini justru sesak dada lah yang tengah dirasakan semua masyarakat dan khususnya para pelaku usaha di Batam. Mereka nyaris tidak percaya jika pemerintah “tega” mengelabui niatan mereka. Bahkan konon biaya miliaran rupiah telah digelontorkan untuk semakin mempercepat realisasi nyata terbentuknya FTZ BBK. Namun apa lacur, atau malah pelacur, justru seolah kebijakan tersebu terus dihambar realisasinya. Ini tentu membuat semua kalangan merasa tertohok dua kali.
Tak heran jika sikap apatis kini mulai menggerogoti kalangan pengusaha di BBK. Mereka kini seolah tak peduli, ono gak ono yo terserah, gak pateken juga, mengambil kiasan dari bahasa jawa yang berarti ada tidak ada FTZ BBK mereka bakal tidak terpengaruh dan tetap bakal berkonsentrasi pada bidang bisnis mereka.
Di lain sisi, Singapura yang notabene adalah negara yang seharusnya tidak peduli pun tidak apa-apa, malah sangat getol. Terlepas dari adanya kepentingan ekonomi di balik itu semua, namun sangat aneh melihat sepak terjang kalangan birokrat Indonesia. Mereka seolah tidak peduli dengan nasib sesuatu yang digantung-gantung. Bahkan tetangga justru lebih peduli dan malah mempercepat apa yang mennjadi kewajiban mereka. Contoh nyata adalah, dari 13 tugas yang harus diselesaikan Singapura, nyaris semuanya sudah selesai dan menunggu sinkronisasi implementatif dari pihak Indonesia.
Apa lacur lagi, ternyata begitu sulit bagi Indonesia untuk menyelesaikan itu semua. Bayangan kekuasaan dan tarik ulur kepentingan sangat jelas beada di arah sana. Kedekatan dengan pemilu 2009 nanti menjadi satu faktor pengait yang tidak bisa terelakkan lagi. Herannya, pemerintah Indonesia justru tidak malu dengan kelakuan bak anak kecil berebut kembang gula. Sungguh naif dan sangat memalukan, hanya mengurus BBK saja tidak bisa, bagaimana nanti jika akan mengurus 10 kawasan lain yang ada di Indonesia?sebuah ironisasi sekuler ekonomi tentunya.
Tarik ulur kepentingan sudah bukan jadi rahasia umum lagi. Dua kubu yang berseteru baik Jusuf Kalla maupun SBY terus bertempur memperebutkan jabatan-jabatan penting yang ada di kawasan BBK tersebut. Sebenarnya arah ke sana sudah mulai membaik. Perseteruan awal; terjadi antara BKPM dengan pihak BPN, namun hal itu sudah terselesaikan dengan niatan progress positif di BBK.
Namun masalah mulai timbul tatkala pembentukan Dewan Kawasan dan Dewan Nasional berbarengan. Pangkal masalah belum selesai, kini pemerintah semakin membuat ruwet masalah dengan tidak adanya perwakilan pengusaha di dua badan tersebut. Jadi entah apa yang akan dilakukan pemerintah nantinya. Yang jelas di saat dukungan negara-negara tetangga sudah demikian memuncak, eh..malah si tuan rumah sendiri yang memperlambat proses itu semua. Jadi memang patut dipertanyakan dimana urat malu pemerintah itu sebenarnya. Kini warga dan para pelaku usaha di kawasan BBK tentu berharap-harap cemas dengan keadaan yang ada, meski sebenarnya mereka juga tidak terlalu memusingkan apa yang akan terjadi. Sebuah asa yang sebenarnya mudah namun dipersulit, itulah Indonesia. (tribunbatam.co.id/nurfahmi)

Pemerintah, Di Mana Urat Malumu?

By.noenx’s
SORE kemarin (Anda pasti sudah menduga kapannya dong), baru saja merasakan nikmatnya duduk bersandar di kursi kantor. Hirupan angin sepoi dari mesin pendingin udara yang tepat berada di samping atas kepala langsung menerpa kesejukan, mengirimkan ketenangan untuk sejenak rehat sebelum mulai berdansa dengan “jeruji” keyboard yang semakin lama kok ya semakin lusuh. Udara Jakarta yang panas menyengat seolah tak lagi terasa, yang ada hanyalah pengeringan keringat, alias kristalisasi butiran air dari dalam tubuh, mengambil apa yang diungkapkan bintan lawak nasional Tukul.
Namun sayang, kenikmatan itu langsung mendadak buyar. Deringan sms yang “melafalkan: lagu Pandangan Pertama-nya Slank feat Nirina Zubir, langsung menyentakkan lamunan. Refleks, jari langsung seketika memungut ponsel yang sudah dua tahun ini selalu menyertai. Meskipun dibilang jadul, namun ponsel ini memiliki memori indah yang tak pernah terlupakan tentunya.
Kembali ke masalah sms, langsung saja kubuka. Hebatnya, tidak hanya satu kali saja si pengirim ‘meniupkan’ ketikan hurufnya ke ponsel. Nyaris lima kali kiriman berhasil masuk. Kok nyaris?karena dalam kiriman yang kelima, kalimat yang diterima kurang lengkap dan sepertinya si pengirim kehabisan baterai ponselnya sehingga tak bisa lagi secara lengkap mengirimkan apa yang menjadi tujuannya.
Namun itu bukan menjadi perkara. Pasalnya, di setiap tabiat orang saat mengirim sms, hal pertama yang dikirim sebagian besar bergenre lebih penting. Kategori ini berlaku dimanapun saja, tidak peduli itu orang tua, muda, anak-anak bahkan sampai artis dan pejabat sekalipun.
Tanpa menggubris tabiat itu, baru berada di kalimat pertama langsung terlihat jelas arah perhatian si pengirim, yang ternyata teman lama di sebuah lembaga ekonomi dan investasi Singapura.
Inti dari paket mengejutkan itu adalah memberikan sinyalemen positif bagi perkembangan investasi dan perekonomian di Indonesia, khususnya segitiga Batam, Bintan dan Karimun (BBK). Bahkan si empunya pengirim menjanjikan dan berkomitmen untuk terus mendukung segala macam tindakan yang perlu dilakukan guna mempercepat kelajuan dan keterlajuan kawasan tersebut menjadi sebuah high rea economic area tak Cuma sekedar sebuah impian belaka.
Selepas membaca kalimat terakhir dari untaian itu, lalu pertanyaan yang timbul kenapa kok bisa kayak gitu ya?tanpa tersadar jawaban itu langsung terbuka. Keseriusan campur ketegangan pun seolah memang sengaja disimpan oleh si pengirim. Tanpa dinyana, ia pun menjelaskan jika apa yang diungkapkannya tersebut menjadi sebuah impian yang ingin secepatnya terealisair dengan baik dan level tertinggi.
Barulah tersadarkan apa yang dimaksudkannya. Tanpa lebih banyak lagi membaca ada apa dengan sms selanjutnya, pikiran logis pun langsung berada di angan-angan. Mencoba terus berpikir sebuah titik awal guna menemukan apa yang tersirat, langsung termaktub sebuah langkah yang selama ini diambil kalangan birokrat di level pemerintah pusat. Meskipun daerah tetap mengambil peranan penting, namun tetap saja sistem pemerintahan Indonesia masih menganut azas nuwun sewu yang tiada habisnya. Tak heran jika kendali di era otonomi masih terkekang di level pemerintah pusat. Sangat aneh tentunya di tengah kampanye keterbukaan justru kebijakan di sektor investasi dan perekonomian malah masih ditentukan pemerintah pusat yang notabene saat ini malah berada di jurang terdalam perlambatan pertumbuhan daerah.
Bagi BBK, status kawasan perdagangan bebas dan pelabuhan bebas sebenarnya sudah bukan barang baru dan asing lagi bagi pelaku usaha dan masyarakat di sana. Namun, ini adalah euforia baru yang membuat pada awalnya, semua pihak berseru senang, bersuka cita tanpa melihat terlebih dulu persiapan dan koridor apa yang akan diperbuat pemerintah.
Satu tahun berlalu, dua tahun mendekati. Saat ini justru sesak dada lah yang tengah dirasakan semua masyarakat dan khususnya para pelaku usaha di Batam. Mereka nyaris tidak percaya jika pemerintah “tega” mengelabui niatan mereka. Bahkan konon biaya miliaran rupiah telah digelontorkan untuk semakin mempercepat realisasi nyata terbentuknya FTZ BBK. Namun apa lacur, atau malah pelacur, justru seolah kebijakan tersebu terus dihambar realisasinya. Ini tentu membuat semua kalangan merasa tertohok dua kali.
Tak heran jika sikap apatis kini mulai menggerogoti kalangan pengusaha di BBK. Mereka kini seolah tak peduli, ono gak ono yo terserah, gak pateken juga, mengambil kiasan dari bahasa jawa yang berarti ada tidak ada FTZ BBK mereka bakal tidak terpengaruh dan tetap bakal berkonsentrasi pada bidang bisnis mereka.
Di lain sisi, Singapura yang notabene adalah negara yang seharusnya tidak peduli pun tidak apa-apa, malah sangat getol. Terlepas dari adanya kepentingan ekonomi di balik itu semua, namun sangat aneh melihat sepak terjang kalangan birokrat Indonesia. Mereka seolah tidak peduli dengan nasib sesuatu yang digantung-gantung. Bahkan tetangga justru lebih peduli dan malah mempercepat apa yang mennjadi kewajiban mereka. Contoh nyata adalah, dari 13 tugas yang harus diselesaikan Singapura, nyaris semuanya sudah selesai dan menunggu sinkronisasi implementatif dari pihak Indonesia.
Apa lacur lagi, ternyata begitu sulit bagi Indonesia untuk menyelesaikan itu semua. Bayangan kekuasaan dan tarik ulur kepentingan sangat jelas beada di arah sana. Kedekatan dengan pemilu 2009 nanti menjadi satu faktor pengait yang tidak bisa terelakkan lagi. Herannya, pemerintah Indonesia justru tidak malu dengan kelakuan bak anak kecil berebut kembang gula. Sungguh naif dan sangat memalukan, hanya mengurus BBK saja tidak bisa, bagaimana nanti jika akan mengurus 10 kawasan lain yang ada di Indonesia?sebuah ironisasi sekuler ekonomi tentunya.
Tarik ulur kepentingan sudah bukan jadi rahasia umum lagi. Dua kubu yang berseteru baik Jusuf Kalla maupun SBY terus bertempur memperebutkan jabatan-jabatan penting yang ada di kawasan BBK tersebut. Sebenarnya arah ke sana sudah mulai membaik. Perseteruan awal; terjadi antara BKPM dengan pihak BPN, namun hal itu sudah terselesaikan dengan niatan progress positif di BBK.
Namun masalah mulai timbul tatkala pembentukan Dewan Kawasan dan Dewan Nasional berbarengan. Pangkal masalah belum selesai, kini pemerintah semakin membuat ruwet masalah dengan tidak adanya perwakilan pengusaha di dua badan tersebut. Jadi entah apa yang akan dilakukan pemerintah nantinya. Yang jelas di saat dukungan negara-negara tetangga sudah demikian memuncak, eh..malah si tuan rumah sendiri yang memperlambat proses itu semua. Jadi memang patut dipertanyakan dimana urat malu pemerintah itu sebenarnya. Kini warga dan para pelaku usaha di kawasan BBK tentu berharap-harap cemas dengan keadaan yang ada, meski sebenarnya mereka juga tidak terlalu memusingkan apa yang akan terjadi. Sebuah asa yang sebenarnya mudah namun dipersulit, itulah Indonesia.

Tragisnya Sebuah Endemik Ekonomi

by.noenx's
JARUM jam yang terdiri dari dua lentingan, panjang masih menunjukkan angka 9 dan lentingan pendeknya masih berada di angka 6. Suasana padi pun tampak cerah dan gumilar dengan semburat merah yang berubah pelan memanas dari sang mentari. Hari itu, Rabu 30 Januari 2008 (dibuat lengkap karena suatu saat pasti ada sebuah memoar dengan tulisan ini), puluhan sms dan telpon silih berganti masuk.
Membuat si empunya handphone sebenarnya berinisiatif untuk segera menonaktifkan ponselnya. Paling tidak hingar bingar bunyi yang diletupkan dari ponsel bisa tereduksi dengan sempurna. Namun hal itu urung dibuatnya, karena pokok bahasan orang-orang yang menelponnya tidak sekedar ingin menyapa bagaimana kabar dan tetek bengek basa basi khas orang timur. Lebih dari itu, sebuah anomali ironi bakal menghempas dan menghampiri tanah yang kini dipijaknya.
Sebuah ironi yang bisa jadi bakal membumihanguskan asa yang telanjur mengembang dalam kurun waktu dua tahun terakhir. Sebuah bara yang membuat semangatnya dan juga teman-temannya bersikeras menghunus optimisme yang tetap saja terselubung pesimisme. Namun itu dulu, semangat yang membara telah dimiliki. Saat itu begitu euforia penandatanganan 26 Juni 2006 terlaksana di sebuah resort mewah, yang harus disulap menjadi “istana” dengan berlapis paspampres, langsung saja bagaikan gunung meletus ekspektasi itu begitu saja muncul. Waktu itu, jelas terekam di semua otak manusia yang hadir betapa janji-janji muluk kalangan pemerintah menjadi angin surga yang sangat menggairahkan, lebih merangsang daripada seonggok amoy-amoy yang berkeliaran di sekitar kawasan niaga Nagoya.
Tak heran jika satu per satu, semua orang bergerak untuk menyambut sebuah memoribilia yang sebenarnya sudah pahit pernah menimpa. Namun berkat dukungan lobi dan kalimat “kali ini adik sesaudara bersiap membantu sepenuh hati demi kemajuan bersama”, luluh juga dan hilang tak membekas aurora kegagalan seperti tahun 2004 silam.
Perlahan namun pasti waktu terus berjalan. Namun sayang, hanya waktu saja yang berjalan cepat. Selebihnya, nuansa pergerakan “indeks akumulatif” yang tinggi, bisa jadi langsung terjun bebas menjadi tak berharga sama sekali.
Bayangkan saja, dalam hitung-hitungan akal manusia dan logika, penyiapan sebuah rencana besar yang digadang-gadang menjadi barometer ekonomi di regional, bukan lagi nasional, harus terbengkelai dengan ketidakpastian.
Entah siapa dan langkah mana yang salah atau “fool”, tapi menyirat dari sebuah ungkapan, bisa jadi kini si keledai tersandung dan terjatuh di lubang yang sama. Sebuah ironi yang sangat mengharukan tentuunya, karena si isi keledai ini melibatkan banyak orang dan manusia yang kelasnya sudah di atas, tidak hanya sarjana strata 1 semata, namun lebih dari itu level doktoral bahkan profesor pun berada di dalamnya. Bahkan saking seriusnya proyek ini, pengambil keputusan setingkat Presiden dan Wapres pun harus turun tangan. Namun apa hasilnya?
Ternyata nyaris tidak saja membekaskan luka kembali, tapi sikap apatis sepertinya menyerubungi setiap langkah pengusaha yang ada di kawasan Batam, Bintan dan Karimun (BBK).
Yup, produk yang diharapkan berupa implikasi nyata di lapangan mengenai kawasna perdagangan bebas dan pelabuhan bebas BBk seolah hanya menjadi bayangan semu dan asap rokok yang mudah tersebar dan terbang bersama angin kosong. Bukannya mampu menyehatkan iklim investasi dan perekonomian tapi sebaliknya, angin itu justru menyebabkan sebuah penyakit masuk angin yang entah kapan bakal kembali lagi menjadi sebuah asa syurga.

Banyak Calo, Taksi Lakukan Monopoli

TERPILIHNYA Bandara Internasional Hang Nadim Otorita Batam sebagai bandara berlabel terbaik di Indonesia memang sungguh membanggakan. Paling tidak nilai jual kawasan Batam masih berada di titik bargaining lumayan. Setidaknya pemerintah pusat masih memiliki “mata” untuk melihat secara seksama kapabilitas Batam sebagai kota yang terus berkembang, bahkan secara revolusioner sekalipun.
Dari sisi teknis memang sangat menjanjikan jika bandara selevel Hang Nadim saja mampu mengalahkan beberapa bandara berkelas “internasional” di kawasan Indonesia. Terutama terkait kebijakan pemerintah yang sampai saat ini belum berjalan sesuai janji yang sudah dilontarkan kepada pihak “ekonomi”.
Panjang bandara yang mencapai 4 kilometer tentu menjadi keunggulan tersendiri dibanding bandara lainnya di Indonesia bahkan di kawasan Asia Tenggara sekalipun. Lokasi ini mampu didarati pesawat berbadan besar, bahkan Air Bus seri terbaru sekalipun. Dengan kelonggaran area pengereman membuat setiap pesawat yang turun bakal merasa diliputi keamanan dan kenyamanan. Terutama bagi pilot yang belum berpengalaman, menjadi sangat enak ketika harus turun di Hang Nadim. Jika tidak karena kebodohan si pilot sendiri, tentu area panjang pengereman menjadi kekuatan tersendiri yang menyebabkan bandara ini menjadi satu di antara wilayah teraman di Indonesia.
Sistem navigasi satelit juga menjadi satu keunggulan tersendiri bandara milik Otorita Batam ini. Penggunaan bersama Badan Meteorologi dan Geofisika membuat keterpaduan fasilitas semakin nyata dan memudahkan setiap koordinasi jika terjadi sesuatu akibat perubahan cuaca yang memang biasanya sangat mendadak di kawasan kepulauan seperti Batam.
Namun seapik-apik sebuah barang, tentu memiliki sebuah kekurangan meski jelas tak akan terlihat dengan kasat mata. Paling tidak ungkapan tiada gading yang tak retak masih tetap harus disematkan di bandara Hang Nadim. Paling mencolok tentu sistem pengeluaran barang dari terminal kargo. Bayangkan, di posisi ini konsumen justru semakin dipersulit.
Pengalaman teman-teman menunjukkan, banyak petugas yang menarik biaya ilegal hanya untuk mengambil sebuah barang. Padahal sudah jelas petugas di lokasi tersebut seharusnya membantu konsumen untuk mencari dan menyerahkan barang sesuai yang ada di dokumen.
Ini malah sebaliknya, banyak kolega dan teman saya yang harus mengeluarkan biaya lebih hanya untuk segera meminta si petugas mengeluarkan barang yang ia terima dari pihak luar. Meski terbilang sedikit uangnya, namun bisa dibayangkan jika ia mempraktikkan itu pada semua konsumen. Tentu hasil akumulasinya tidak sedikit dan ini menjadi ladang korupsi bersama petugas di home grounding terminal kargo.
Selain itu, sisi percaloan juga masih sering terjadi. Meski sudah berjanji bakal mengurangi keberadaan calo, namun tetap saja kongkalikong antar petugas dengan si calo tetap terjadi dengan sebebas-bebasnya. Apalagi menjelang perayaan hari besar agama dan libur panjang. Bisa dipastikan si calon penumpang bakal kehilangan momen untuk memperoleh tiket pesawat.
Satu hal lagi yang sampai kini menjadi masalah pelik adalah dominasi dan monopoli koperasi taksi untuk menyelenggarakan jasa angkutan dan transportasi dari bandara menuju ke tempat tujuan si penumpang pesawat.
Sesuai dengan peraturan perundangan antimonopoli, apa yang dilakukan para sopir taksi bandara saat ini tersebut tentu melanggar hukum dan merugikan konsumen. Namun ternyata meski kasus ini sudah masuk ke KPPU Batam, tidak serta merta bisa terhenti. Tetap saja penyedia jasa taksi di bandara dikuasai satu pihak saja, tanpa ada kesempatan pihak lain untuk masuk dan melayani para penumpang pesawat yang baru sampai di Hang Nadim.
Pernah suatu hari ada rencana untuk memberikan satu atau dua perusahaan lagi yang diijinkan untuk melayani taksi di bandara. Namun apa yang terjadi, protes keras mendadak keluar dari para sopir taksi yang lama. Tentu ini tidak adil bagi konsumen, karena mereka praktis tidak diberi kesempatan untuk memilih layanan lain. Entah kenapa faktor ini mungkin tidak dimasukkan ke dalam agenda penilaian dari tim Departemen Perhubungan.
Terlepas dari itu semua, penghargaan yang diberikan terhadap Bandara Hang Nadim Batam sebagai bandara terbaik tentu memberi nilai positif tersendiri. Perlu dicatat, jangan sampai ini malah memberi stigma ke pihak luar jika ada muatan politis di balik itu semua. Sebagai pengguna, tentu berharap bandara ini bisa semakin baik dalam melayani calon penumpang pesawat. Mampu memberikan rasa aman, nyaman dan sejuk apapun aktifitas yang dilakukan oleh penumpang.

Soehartonomics

"SAYA meminta kepada pimpinan Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia, agar memikirkan penjabaran yang lebih luas dan lengkap mengenai demokrasi ekonomi yang kita kembangkan berdasarkan Pancasila. Kita semua berharap agar pemikirpemikir kita di bidang ekonomi dapat mengembangkan pemikiran mengenai demokrasi ekonomi itu; yang di satu pihak memiliki integritas ilmiah secara universal,dan di lain pihak dikaitkan dengan pengamalan semua sila dalam Pancasila selaku kesatuan...." (Presiden Soeharto dalam Pidato Kenegaraan 16 Agustus 1989).
Sungguh tidak mudah menjawab harapan Presiden Soeharto saat itu. Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI) di bawah kepemimpinan Prof JB Sumarlin kemudian menyerahkan sumbangan pemikirannya pada Agustus 1990. Setelah melalui perdebatan seru sesudah itu, akhirnya muncul semacam kesepakatan bahwa yang dimaksudkan dengan demokrasi ekonomi khas Indonesia adalah sistem ekonomi pasar terkelola.
Menyimak kesan dan kenangan atas wafatnya Soeharto, banyak kalangan kembali menyinggung tentang keberhasilan pembangunan ekonomi era Soeharto,seperti pertumbuhan ekonomi yang tinggi, pengendalian inflasi yang efektif, ketahanan pangan yang meningkat, dan pendapatan per kapita yang naik berlipat-lipat. Bahkan muncul istilah Soehartonomics untuk menandai paradigma pembangunan ekonomi periode tersebut. Tentu saja tidak mudah menjabarkan apa itu Soehartonomics karena Pak Harto sendiri - yang tampaknya terus bergumul dengan tarik-menarik (trade-off) antara pertumbuhan dan pemerataan, antara liberalisasi dan intervensi negara-justru meminta ISEI untuk menjabarkannya.
Konsep demokrasi ekonomi yang digagas Bung Hatta kemudian dikembangkan ekonom seperti Sarbini Sumawinata, Mubyarto, Kwik Kian Gie, Emil Salim, dan Sri Edi Swasono,memang terus-menerus mengundang polemik. Terkait erat dengan Soehartonomics adalah istilah Mafia Berkeley. Istilah ini muncul pada forum "Indonesian Investment Conference" yang diselenggarakan di Jenewa, November 1967, antara delegasi Indonesia dan para pebisnis global yang disponsori James A Linen,Presiden Time Inc.
Hadir dalam konferensi itu nama-nama beken seperti David Rockefeller (Chase) dan Robert Hills (Freeport). Konon istilah tersebut dilontarkan oleh David Rockefeller karena begitu terkesan dengan sejumlah ekonom muda lulusan Universitas California, Berkeley, yang begitu fasih berbicara dalam bahasa yang dimengerti para pebisnis global tersebut.
Itu sebabnya,para ekonom yang membantu Soeharto sejak awal, yang telah mengundang kembali Dana Moneter Internasional (IMF) sejak Juli 1966 dan Bank Dunia sejak Agustus 1966,seperti Widjojo Nitisastro,Ali Wardhana,MohammadSadli, danEmilSalim, sering dijuluki sebagai Mafia Berkeley generasi pertama.
Tentu tidak mudah menemukan benang merah pemikiran ekonomi Widjojo dan kawan-kawan atau yang juga pernah diistilahkan sebagai Widjojonomics.Penyederhanaan berlebihan terhadap pemikiran mereka bisa membawa kesimpulan seakanakan mereka tidak memiliki nasionalisme ekonomi, percaya membabi-buta kepada ekonomi pasar dan modal asing.
Dalam berbagai forum mereka sendiri selalu menyatakan sebagai ekonom kubu Keynesian yang percaya bahwa ekonomi pasar bekerja dengan baik apabila dikawal oleh perangkat regulasi pemerintah yang kuat. Prestasi para ekonom yang mendampingi Pak Harto memang cukup mencengangkan.
Namun, tak sedikit pula kalangan yang menyatakan sesungguhnya tugas memulihkan perekonomian Indonesia pasca-Orde Lama tergolong cukup ringan.Jika diibaratkan dengan kapal dan nakhoda, para ekonom tersebut seperti berlayar di atas kapal dengan bahan baku penuh, geladak yang tidak gaduh, dan suasana lautan yang tenang. Selain, tentu saja, pemulihan tersebut sejalan dengan kepentingan Amerika Serikat (AS) dan proyek besar kapitalisme internasional (Jeffrey Winters, 1999; Revrisond Baswir,2006).
Krisis hebat yang melanda Indonesia 1997/1998 menyadarkan kita ternyata pembangunan Orde Baru amat mengandalkan pada utang luar negeri dan dilakukan pada tingkat efisiensi yang rendah. Efisiensi rendah ini merupakan akibat dari maraknya praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN).
Tentu kita menyesal mengapa Soehartonomics atau Widjojonomics yang dipraktikkan saat itu tidak disertai dengan pemerintahan yang bersih (clean government), sehingga kita bisa benar-benar menjadi salah satu Macan Asia.Padahal, secara universal telah muncul pemikiran bahwa kesejahteraan masyarakat dalam sistem ekonomi pasar mensyaratkan tiga pilar.
Pasar yang efisien, pemerintahan yang bersih, dan modal sosial yang kuat. Dengan demikian, dalam menimbang jasa Soeharto,kita tetap harus bersikap objektif, mengemukakan keberhasilan, tetapi juga kekurangannya. Hanya dengan sikap seperti ini kita bisa belajar dari masa lalu dan tetap terbuka untuk melakukan perbaikan terus-menerus di masa depan.
Sikap menonjol-nonjolkan keberhasilan tanpa mau mengakui kekurangan akan membuat kita dungu, romantis, dan melodramatik. Sebaliknya, sikap mencela sematamata membuat kita lupa,bahwa sebagai bangsa kita pernah belajar secara kolektif untuk waktu yang lama dengan biaya belajar yang sangat besar. Selamat jalan,Pak Harto. Sebagai bangsa kami akan mengenangmu dengan segala kelebihan dan kekurangan. Yang baik akan terus kami pupuk,yang buruk akan kami buat menjadi lapuk. (*)

PROF HENDRAWAN SUPRATIKNO PhD
Direktur Program Pascasarjana dan Program Doktor IBII
Ketua ISEI Salatiga

Sekelumit Flexi di Tengah Konsumen (2-habis)


Sekelumit Flexi di Tengah Konsumen (2-habis)
Dicinta si Muda, Disayang Orang Tua, Digemari Eksekutif Muda
PAMEO kesetiaan dan cinta sepertinya tidak melulu dominan di dunia kasmaran. Nyaris di semua sendi bisa jadi sebuah inspirasi tersendiri. Itulah latar yang dikemas apik Telkom melalui produk TelkomFlexi. Artinya komunikasi ke segala arah bisa terjalin dengan manis dan baik. Tidak hanya sekedar menenteng sebuah genre unit bisnis haruslah menghasilkan keuntungan besar, Flexi mampu mentasbihkan diri menjadi sebuah produk yang inovatif, mengena langsung ke sasaran dan lebih penting lagi mampu menempatkannya menjadi bagian tak terpisahkan dari sasaran tersebut. Sebuah langkah yang hanya bisa dilakukan kalangan terbatas semata. Flexi pun menghasilkan sebuah fenomena tersendiri. Sebuah sifat produk yang tidak mengenal stigma apapun dan kelas apapun. Yang ada hanyalah komitmen untuk memberi layanan terbaik, meskipun tetap ada saja yang kurang dari sebuah produk yang sudah dipersiapkan lama tersebut. Namun itu semua mampu tertutup dengan konsistensi dan komitmen yang terus konstan.
Paling tidak ini dibuktikan dengan kontinyuitan inovasi sehingga produk ini bisa terus berada di sisi konsumen masyarakat Kepri dan Batam khususnya. Bisa dilihat secara kasat mata, pengguna layanan CDMA di provinsi yang kaya akan hasil laut ini sebagian besar berasal dari sumbangan Flexi. Sebuah kemajuan sekaligus sebuah tantangan bagi manajemen tentunya untuk semakin meningkatkan kapasitas layanan sehingga mampu memberikan sesuatu nilai lebih di sepanjang keseharian konsumennya.
Menyelaras segmen konsumen, Flexi berhasil membidik level yang heterogen. Meskipun masih didominasi kalangan usia produktif dan remaja, namun bukan berarti segmen orang tua tidak cukup banyak. Khusus di segmen remaja dan usia produktif, Flexi di Batam memiliki keunggulan komparatif cukup banyak dibanding pesaing di level CDMA. Praktis, dalam keseharian kita bisa melihat dna memerhatikan sendiri bagaimana tingkah laku pengguna ponsel CDMA dalam menerapkan budget komunikasinya.
Kedekatan Flexi dengan kehidupan di level remaja dan usia produktif jelas menjadi nilai lebih tersendiri. Pasalnya, saat ini telah terjadi pergeseran stigma di masyarakat. Jika dulu menggunakan kartu GSM adalah sebuah kebanggaan, namun jelas hal itu telah mulai bergeser.
Akibatnya, saat ini penggunaan nomor CDMA juga memiliki kelas tersendiri. Keberhasilan Flexi menempati kelas tersendiri dibuktikan dengan semakin banyaknya frekuensi penggunaan dari kalangan remaja dan usia produktif, khususnya di level eksekutif muda.
Tak heran jika eksmud kini tak lagi sungkan untuk berkomunikasi menggunakan layanan Flexi. Nomor cantik yang biasanya menjadi padanan sebuah eksklusifitas pun sudah dimiliki Flexi. Harga yang relatif lebih tinggi sudah tidak lagi menjadi kendala bagi konsumen.
Bayangkan hanya nntuk nomor cantik, seorang konsumen TelkomFlexi rela untuk membayar angka tersebut dengan Rp9 juta. Sebuah angka yang cukup fantastis untuk kelas CDMA dan itu hanya bisa dilakukan produk Flexi.
Kedekatan dari sisi anak muda sebagai segmen yang sebenarnya dibidik sejak awal juga semakin terlihat dengan fitur-fitur dan layanan yang ada di Flexi. Nyaris semuanya mendukung kegiatan dan aktifitas yang dilakukan kalangan anak muda dan usia produktif.
Bahkan beranjak dari itu, Telkom Kandatel Rikep justru sudah mulai mengoperasikan awal sebuah komunitas pengguna Flexi se-Batam bertajuk Flexter. Sebuah terobosan nyata dan brilian memang untuk menggabungkan pengguna CDMA Flexi dalam satu jalinan komunikasi yang bukan tidak mungkin bakal menjadi nilai positif dan interaksi tersendiri bagi para anggotanya.
Ini sekaligus juga memperlihatkan jika Flexi mampu menggandeng konsumen dan mitranya untuk selalu berkomunikasi guna beraksi nyata dalam konsistensi layanan secara optimal.
Segmen lain yang juga telah merasakan manfaatnya adalah kalangan orang tua yang sudah beranjak di level usia 50 tahun ke atas. Penggunaan Flexi dan kedekatan dengan produk CDMA andalan Telkom tersebut lebih dikarenakan kemudahan penggunaan dan akses untuk saling berinteraksi dengan seluruh anggota keluarga.
Tak heran jika banyak keluarga yang “mewajibkan” seluruh anggota keluarganya untuk menggunakan jasa layanan Flexi ini. “Sungguh enak, simpel, sederhana, murah dan tak ada halangan di sektor sinyal,”ucap Agus Nugroho, seorang Pimpinan Perusahaan pada sebuah perusahaan penerbitan yang memiliki keluarga yang cukup jauh dari tempatnya tinggal kini.
Ia, dan mungkin juga dilakukan kalangan lain, menularkan aksi penggunaan Flexi ke seluruh anak buahnya. Langkah ini tentu menjadi sebuah penghematan luar biasa, baik dari sisi pengeluaran telpon kantor maupun dari kantong pribadi untuk mengisi pulsa di level GSM. Meski tidak meninggalkan nomor GSM, kehadiran Flexi jelas menjadi keuntungan tersendiri di kalangan konsumen. Tak heran jika Fkexi mampu tertambat di hati setiap orang. Produk ini pun patut mendapat apresiasi tersendiri, dicinta si muda, disayang orang tua, digemari eksekutif muda. (tribunbatam.co.id/nurfahmi budi)



Eksistensi Flexi Melayani Semua Level Masyarakat (1)

Eksistensi Flexi Melayani Semua Level Masyarakat (1)
Perang Tarif tak Menjadi Masalah
PASAR dan bisnis layanan komunikasi di Indonesia secara umum terus bertambah. Nilai investasi yang ditanamkan untuk sekedar melayani sebuah daerah diyakini bakal kembali dalam waktu yang realtif singkat. Itulah kenapa saat ini hampir seluruh operator seluler saling berlomba untuk memenangkan hati para pengguna komunikasi di Indonesia. Catatan sementara mengemukakan jika nyaris 90 persen masyarakat Indonesia menggunakan saluran teknologi komunikasi sebagai bagian dari hidupnya. Bagi mereka tanpa komunikasi jelas menjadi sebuah kematian yang sangat menyakitkan.
Paling deskriptif yang bisa kita lihat dalam fenomena saat ini adalah pengembangan dan perebutan pasar yang menggunakan genre apapun demi menarik konsumen sebanyak-banyaknya. Fenomena menariknya, meskipun tarif seluler di Indonesia menjadi satu di antara yang termahal di dunia, namun tetap saja konsumen komunikasi di Indonesia terus memburu.
Pada akhirnya, masing-masing perusahaan operator seluler dibuat terpacu untuk memberikan yang terbaik, tidak hanya dari sisi layanan Based Tranceiver Statiton (BTS) saja, tapi lebih dari itu tarif dan fitur layanan juga menjadi perhatian utama yang diharapkan bisa menjadi daya tarik tersendiri bagi konsumen.
Tak heran jika aplikasi di lapangan menunjukkan perang tarif dan layanan sudah menjadi komponen utama industri komunikasi seluler di Indonesia. Bukan berarti mengecilkan peran komunikasi kabel, namun jelas sistem wireless communication technology ini memberikan efek kontinyuitas dan efisiensi bagi si pemakai. Karena itulah, setiap apapun produk yang diluncurkan operator seluler tetap memiliki daya tarik sendiri. Di lain sisi jelas bakal terjadi tarik menarik dan bisa jadi tergambar sebuah disparitas konsumsi yang sangat mencolok.
Perang tarif secara nasional sendiri sudah terjadi sejak tahun 2000 lalu. Memasuki milenia baru, saat pemerintah membuka selebar-lebarnya akses untuk mendirikan bisnis komunikasi, mulai saat itulah iklim bisnis komunikasi di Indonesia benar-benar terbuka. Tidak lagi sekedar PT Telkom dengan layanan komunikasi kabelnya, namun berturut-turut muncul produk SIM Card yang beragam.
Pada akhirnya, perang tarif memang tidak akan terelakkan. Meski terkadang korban berjatuhan akibat kanibalisme itu sendiri, namun di sisi lain pergerakan impulsif dari bisnis ini membuat konsumen dan operator harus bekerja keras. Di satu sisi bekerja kerasa untuk lebih inovatif di level company, konsumen pun harus bekerja keras untuk memberikan yang terbaik buat dirinya. Meski tidak bisa mengabaikan peran distributor, namun tetap saja sektor hulu dan akhir hilir ini menjadi kunci tersendiri di bisnis komunikasi seluler ini.
Konklusi dari perkembangan dan persaingan bisnis komunikasi nirkabel ini adalah semakin banyaknya pilihan yang harus ”dimakan” konsumen itu. Tak heran, sebagai objek dari industri telekomunikasi, konsumen di satu sisi tetap menjadi pemegang haluan, di lain pihak pengguna juga bakal dibuat semakin bingung. Istilahnya, konsumen pun tak terasa dibawa arus yang semakin untung sekaligus bingung.
Menguntungkan, karena dengan adanya perang tarif jelas memberikan efek benefit yang lebih besar. Apalagi kekuatan ekonomi masyarakat saat ini, jelas sisi tarif menjadi barang yang pertama kali dilihat. Sistem ini memang sudah terjadi di level produk konsumsi lainnya. Tentu orang akan melihat harga terlebih dulu sebelum memutuskan untuk membeli dan atau menggunakan sebuah barang.
Begitupun dengan perang tarif di segmen komunikasi, konsumen juga semakin untung dengan kondisi pelbagai kebijakan tarif yang semakin lama semakin menjurus pada nilai terendah. Otomatis pengeluaran untuk berkomunikasi dalam keseharian semakin murah dan rendah.
Namun di sisi lain, jelas terlihat konsumen komunikasi nirkabel bakal semakin bingung dengan kenyataan semakin cepatnya frekuensi perubahan tarif di masing-masing operator. Akibatnya jelas, konsumen yang tidak memiliki basis data solid bakal mengalami goncangan tiap kali ada program baru sebuah perusahaan operator seluler. Terkadang perang batin pun bisa terjadi sebagai akibat semakin seringnya sebuah produk mengeluarkan segmentasi tarif yang berbeda. Beberapa perusahaan komunikasi seluler seperti Indosat, Telkomsel, Excelcomindo Pratama, Sinar Mas Telecommunication, Bakrie Telecom, Mobile-8, Sampoerna Telecommunication dan beberapa operator luar negeri, menjadi sebuah gurita persaingan seluler. Nah, perang tarif kini seolah sudah menjadi kewajiban untuk memberikan ”vitamin dan penambah rasa” terhadap sebuah produk sehingga konsumen pun bakal melirik produk tersebut.
Yang menarik, dari beberapa produk telekomunikasi di pasaran, hanya ada beberapa saja yang tidak terpengaruh terhadap anomali persaingan tarif tersebut. Biasanya kekuatan produk tersebut terletak pada kompetensi nama penyedia jasa layanan dan piranti infrastruktur yang mumpuni.
Nah, untuk yang satu ini jelas produk TelkomFlexi bisa menjadi acuan tersendiri. Perintis produk layanan CDMA massal ini telah terbukti tidak terpengaruh dengan akumulasi dan differensiasi pergolakan tarif layanan ponsel.
Nyaris basic data pengguna cenderung tidak bisa berpindah ke lain hati, bahkan dari tahun ke tahun pecintanya semakin banyak. Tak heran jika saat ini bisa dibilang konsumen produk Flexi nyaris tidak terpengaruh dengan komponen lain. Meski terkadang agak terasa dengan kehadiran produk pesaing, namun perang tarif yang ada tidak berhasil menggugat eksistensi TelkomFLexi.
Meski nyaris tidak selalu jor-joran dalam mengeluarkan paket kebijakan tarif ke pelanggan, namun tetap saja faktor pengalaman dan basis pelayanan menjadi kekuatan tersendiri. Dalam perjalanan sejarah, basic atau dasar yang kuat jelas menjadi tenaga raksasa yang sangat penting guna menopang perjalanan bisnis komunikasi.
Inilah yang dimiliki Flexi. Fakta membuktikan jika tidak setiap enam bulan sekali Telkom mengeluarkan harga khusus terhadap layanan Flexi. Sistem bertahap yang diterapkan dan kesan tidak tergesa-gesa jelas menjadi faktor di balik itu semua. Perang tarif antar sesama operator CDMA maupun GSM tidak dilayani dengan frontal. Sebaliknya, dengan faktor sumber daya manusia yang berpengalaman puluhan tahun dalam melayani pelanggan, Flexi secara perlahan namun pasti berhasil merebut ”tarif” itu sendiri. Embel-embel tanpa syarat menjadi daya rangsang dan daya tarik tersendiri bagi konsumen untuk tetap mematok dan menambatkan hatinya di layanan Flexi.
Yang lebih penting lagi, ”kekecewaan” dan gangguan terhadap layanan itu sendiri menjadi big power yang tak terbantahkan dan tidak akan mampu menggoyahkan data base pengguna konsumen tentunya. (tribunbatam.co.id/nurfahmi)